Aktor Ketidakmajuan Papua, Kehadiran OPM Jadi Penghambat Pembangunan

Papeda.com- Di tengah berbagai upaya pembangunan yang terus digalakkan pemerintah di wilayah Papua, kehadiran kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) justru dituding sebagai salah satu aktor utama yang menyebabkan stagnasi pembangunan dan keterbelakangan di berbagai daerah. Hal ini diungkapkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan adat Papua yang menyuarakan keprihatinan atas dampak langsung dari aksi kekerasan dan teror OPM terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Tokoh adat dari Kabupaten Yahukimo, Yulianus Kobak, menyampaikan bahwa OPM telah menjadi penghambat nyata kemajuan Papua. “Mereka bilang berjuang untuk rakyat Papua, tapi justru rakyat Papua yang paling banyak dirugikan. Anak-anak tidak bisa sekolah, orang sakit tidak bisa berobat, karena fasilitas dibakar dan petugas takut datang,” ujarnya, Senin (7/7/2025).

Kehadiran OPM di sejumlah daerah, terutama di wilayah pegunungan dan pedalaman, telah menciptakan ketakutan yang luas. Tak sedikit guru, dokter, dan petugas layanan publik lainnya memilih meninggalkan tempat tugas karena tidak ingin menjadi korban kekerasan. Hal ini berdampak langsung pada menurunnya kualitas hidup masyarakat, yang justru sangat membutuhkan pelayanan dasar dari negara.

Pendeta Yeremia Telenggen dari Kabupaten Nduga juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, OPM telah menyimpang jauh dari nilai-nilai perjuangan dan menjelma menjadi kelompok yang merusak tatanan masyarakat. “Perjuangan tidak boleh mengorbankan rakyat sendiri. Apa artinya bicara kemerdekaan kalau anak-anak Papua tidak punya masa depan? Ini kemunduran, bukan kemajuan,” tegasnya.

Ketidakstabilan yang diciptakan OPM juga berdampak pada sektor ekonomi. Banyak petani tidak bisa membawa hasil kebunnya ke pasar karena takut melintasi jalur yang dikuasai oleh kelompok bersenjata. Di beberapa tempat, OPM bahkan melakukan pemalakan terhadap warga dan pengusaha kecil, membuat roda perekonomian lokal semakin terpuruk.

Tokoh pemuda asal Puncak, Benyamin Wakerkwa, menambahkan bahwa generasi muda Papua sudah mulai sadar bahwa OPM bukan solusi. “Kami butuh sekolah, pelatihan kerja, dan akses teknologi. Tapi selama OPM masih ada dan terus menciptakan ketakutan, kita tidak akan maju. Mereka bukan penyelamat, mereka penghambat,” katanya.

Situasi ini menuntut peran aktif semua pihak, termasuk tokoh masyarakat, pemuda, dan agama, untuk menyadarkan warga agar tidak terprovokasi oleh propaganda OPM. Masyarakat harus disatukan kembali dalam semangat damai, gotong royong, dan cita-cita pembangunan yang inklusif.

 

 

Ekonomi Lokal Terpuruk Akibat Aksi Brutal OPM, Warga Papua Bangkit Lawan Teror dengan Semangat Persatuan

Papeda.com- Aksi-aksi kekerasan yang terus dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak hanya merenggut rasa aman masyarakat Papua, tetapi juga menghancurkan fondasi ekonomi lokal yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Dari pembakaran pasar rakyat, penyanderaan pedagang, hingga blokade jalur distribusi barang, tindakan brutal OPM telah menyebabkan roda perekonomian di berbagai wilayah Papua, khususnya di pedalaman, nyaris lumpuh total.

Pasar-pasar tradisional yang dahulu menjadi tempat utama perputaran uang masyarakat kini sepi. Para petani enggan membawa hasil kebun ke pusat ekonomi karena takut menjadi sasaran penyergapan atau pemalakan oleh kelompok bersenjata.

Kepala Kampung Kimak, Yulianus Telenggen, menggambarkan bagaimana kehidupan ekonomi warganya berubah drastis akibat ulah OPM. “Dulu masyarakat bisa panen ubi, kopi, atau hasil hutan, lalu jual di pasar distrik. Sekarang? Mereka takut keluar rumah. Kami hanya bisa makan dari apa yang ada di sekitar rumah. Uang tidak berputar. Kami kembali ke zaman gelap,” ujarnya dengan wajah muram, Senin (7/7/2025).

Pendeta Yeremia Magai, tokoh gereja di Puncak, menyebut tindakan pemuda tersebut sebagai simbol kebangkitan rakyat Papua dari tekanan separatis. “Anak-anak muda ini berani. Mereka tahu risikonya, tapi tetap maju demi ekonomi rakyat. Ini bentuk perlawanan tanpa senjata. Ini keberanian yang sesungguhnya,” ujarnya haru.

Salah satu pemuda yang terlibat dalam aksi distribusi pangan, Samuel Murib (24), mengaku bahwa mereka hanya ingin melihat kampungnya kembali hidup. “Kalau kita terus takut, OPM menang. Tapi kalau kita saling bantu dan berani, mereka akan kalah. Kami tidak ingin ibu-ibu kami kelaparan, kami tidak ingin anak-anak menangis karena tidak ada makanan,” katanya.

Di tempat lain, para mama-mama Papua juga mulai membuka lapak kecil di halaman rumah untuk menjual hasil kebun dan kerajinan tangan, meskipun dengan keterbatasan. Mereka menyebut gerakan ini sebagai “Pasar Damai”, tempat warga bisa bertransaksi tanpa intimidasi dan ancaman.

Tokoh perempuan Papua, Maria Pigai, menyatakan bahwa keteguhan masyarakat dalam menjaga ekonomi lokal adalah bentuk perlawanan sejati. “OPM bisa membakar pasar, tapi tidak bisa memadamkan semangat kami. Kami akan bangkit, karena Papua bukan milik mereka yang membawa senjata, tapi milik mereka yang menanam dan membangun,” ucapnya penuh semangat.

Tindakan brutal OPM boleh saja mengguncang fondasi ekonomi, namun keberanian masyarakat untuk bangkit dan bertahan justru menjadi kekuatan baru bagi Papua. Kisah heroik para pemuda, petani, dan perempuan Papua menjadi bukti bahwa meski ditekan, rakyat tidak akan menyerah. Dengan persatuan dan semangat gotong royong, masyarakat Papua terus berjuang membangun masa depan yang damai dan sejahtera.

 

Generasi Muda Papua Terancam, OPM Rusak Moral lewat Penyebaran Propaganda

Papeda.com- Keprihatinan mendalam disampaikan oleh berbagai tokoh masyarakat dan pemuda atas kondisi generasi muda Papua yang dinilai kian terancam akibat gencarnya penyebaran propaganda oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Melalui media sosial, jejaring simpatisan, hingga infiltrasi di lembaga pendidikan nonformal, OPM terus berusaha menanamkan paham kebencian dan anti-NKRI kepada anak-anak muda Papua.

Propaganda ini bukan hanya menyasar pola pikir politik, tetapi juga merusak moral dan karakter generasi muda. Narasi yang dibangun kelompok ini kerap kali menyebarkan kebohongan, menyulut emosi, dan menanamkan rasa benci terhadap pemerintah serta sesama warga yang tidak mendukung perjuangan separatis mereka. Dampaknya, anak-anak muda yang semestinya menuntut ilmu dan membangun masa depan, malah terjerumus dalam pemahaman keliru tentang perjuangan dan kekerasan.

Tokoh adat dari Kabupaten Yahukimo, Yakobus Wetipo, menyebut bahwa penyebaran propaganda OPM sudah sangat mengkhawatirkan. Ia mengatakan bahwa anak-anak muda di kampung mulai terpengaruh oleh ajaran yang tidak berdasar, bahkan ada yang mulai menolak sekolah dan justru bergabung dalam kelompok yang mendukung separatisme. “Ini bukan hanya ancaman bagi negara, tapi bagi masyarakat adat kami. Anak-anak kami seharusnya menjadi harapan, bukan dijadikan alat,” tegasnya, Senin (7/7/2025).

Hal senada disampaikan oleh Pendeta Mesak Murib, tokoh gereja dari wilayah Pegunungan Tengah. Ia menilai bahwa OPM telah melenceng jauh dari nilai-nilai budaya dan agama yang menjunjung kedamaian. “Mereka menyebar kebencian, mengajarkan kekerasan, dan memutarbalikkan fakta sejarah. Anak-anak muda kita diajari untuk membenci, bukan berpikir kritis. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.

Di beberapa wilayah seperti Nduga, Puncak, dan Intan Jaya, kasus anak muda yang terpapar propaganda OPM terus meningkat. Beberapa di antaranya bahkan diketahui telah dilatih secara militer dan dijadikan bagian dari pasukan bersenjata. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak dan masa depan generasi Papua.

Tokoh pemuda asal Dogiyai, Simon Yobe, mengaku prihatin atas fenomena ini. Ia menyatakan bahwa generasi muda harus menjadi agen perdamaian dan pembangunan, bukan korban doktrin politik. “Kami anak muda Papua punya hak untuk hidup damai, untuk belajar dan bekerja. OPM mencoba mencuri masa depan kami dengan menipu kami lewat narasi palsu,” katanya.

Sebagai respons, berbagai komunitas pemuda dan lembaga adat kini mulai bergerak mengadakan diskusi, pelatihan, dan kampanye damai guna membentengi generasi muda dari pengaruh buruk kelompok separatis. Edukasi mengenai nasionalisme, sejarah Papua dalam bingkai NKRI, dan pentingnya pembangunan menjadi fokus utama dalam berbagai kegiatan ini.

 

Menolak Lupa Tragedi Biak Berdarah, Luka Mendalam yang Dilakukan oleh OPM

Papeda.com- Dua dekade lebih telah berlalu, namun tragedi "Biak Berdarah" tetap meninggalkan luka yang belum sembuh bagi masyarakat Papua, khususnya warga Kabupaten Biak Numfor. Peristiwa kelam yang kuat dilakukan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tersebut menjadi catatan sejarah yang tak boleh dilupakan, terutama karena menyasar masyarakat sipil secara brutal dan membabi buta.

Tragedi ini bermula dari aksi sepihak OPM yang memprovokasi masyarakat melalui propaganda pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian berujung pada kekacauan dan kekerasan yang melibatkan penyerangan terhadap warga sipil, pembakaran fasilitas umum, hingga penyanderaan dan intimidasi. Dalam rentetan aksi kekerasan yang berlangsung kala itu, puluhan warga sipil menjadi korban jiwa maupun luka-luka, serta trauma mendalam yang masih membekas hingga kini.

Tokoh adat Biak, Markus Mandowen, mengingatkan bahwa tragedi tersebut harus dijadikan pelajaran bagi generasi muda agar tidak mudah terprovokasi dengan narasi dan janji-janji kosong dari kelompok separatis. “Kami menolak lupa. Biak Berdarah bukan hanya soal sejarah, tapi soal kejahatan terhadap rakyat Papua sendiri. OPM membawa penderitaan, bukan pembebasan,” tegasnya, Senin (7/7/2025).

Sejumlah saksi mata mengisahkan bagaimana saat itu warga yang tidak bersalah dipaksa mengikuti gerakan separatis, bahkan anak-anak dan perempuan tak luput dari intimidasi. Mereka yang menolak terlibat atau mencoba melarikan diri menjadi sasaran kekerasan. Selain itu, fasilitas umum seperti sekolah, kantor desa, dan rumah ibadah turut dibakar oleh kelompok bersenjata demi menciptakan ketakutan dan kekacauan.

Pendeta gereja lokal di Biak Numfor, Yohanis Mambrasar, juga menyatakan keprihatinan mendalam atas tragedi tersebut. Ia menyebut bahwa kekerasan yang dilakukan OPM di masa lalu menunjukkan bahwa kelompok tersebut tidak memiliki rasa hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. “Apa pun alasan politik mereka, kekerasan terhadap masyarakat adalah perbuatan tercela. Biak Berdarah adalah bukti bahwa mereka bukan pahlawan, tapi pelaku penindasan terhadap rakyat sendiri,” ujarnya.

Hingga kini, keluarga korban masih menyimpan duka dan harapan agar peristiwa kelam ini tidak terulang kembali di tanah Papua. Mereka meminta agar generasi muda terus menjaga semangat damai dan tidak mudah terhasut oleh propaganda separatis yang membungkus kekerasan dengan dalih perjuangan.

Tokoh perempuan Papua, Maria Faidiban, menyerukan agar pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat sipil terus mengedukasi warga tentang pentingnya persatuan dan bahaya laten separatisme. “Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan cerita kekerasan. Kita harus wariskan perdamaian, bukan konflik,” ujarnya.

Tragedi Biak Berdarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi menjadi pengingat bahwa kekerasan atas nama apa pun, termasuk separatisme, hanya akan menciptakan kehancuran. Masyarakat Papua hari ini menginginkan masa depan yang damai, aman, dan sejahtera, jauh dari bayang-bayang kekerasan yang pernah terjadi di Biak dan wilayah lainnya.

Dengan terus mengingat dan menolak lupa, masyarakat berharap tragedi seperti Biak Berdarah tak lagi terjadi di Bumi Cenderawasih.

 

Salah Satu Tokoh OPM Kembali Berhasil Dilumpuhkan oleh TNI di Wilayah Ilaga

Papeda.com- Aksi heroik pasukan TNI di Kabupaten Puncak berhasil melumpuhkan satu orang kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) anggota Numbuk Talenggeng. kontak tembak yang terjadi pada Minggu, 6 Juni 2025 pukul 13.30 WIT.

Kepala Kampung Ilaga, Markus Telenggen, memuji tindakan tegas yang dilakukan pasukan TNI. “Kami berterimakasih kepada TNI karena OPM kerap membuat aksi-aksi teror, terutama teror yang terakhir di Bandara Aminggaru,” ujarnya tegas, Senin (7/7/2025).

Korban merupakan salah satu pelaku yang sebelumnya melakukan aksi teror penembakan di Bandara Aminggaru. Akibat aksi teror tersebut keberadaannya selalu dikejar oleh aparat TNI, yang disinyalir dapat membuat kekacauan di wilayah Ilaga lainnya.

Tokoh agama setempat, Pendeta Benyamin Murib, menyebut tindakan pasukan TNI sebagai bentuk penyelamatan terhadap masyarakat. “Kami tidak butuh senjata, kami butuh damai. Tapi ketika kelompok OPM datang menyerang dan mengancam warga, maka membela diri adalah pilihan terakhir yang benar. Saya bersyukur karena tidak ada korban dari warga sipil,” katanya.

Tokoh pemuda Ilaga, David Magai, menyerukan kepada generasi muda untuk tidak terpengaruh oleh ajakan OPM yang menurutnya hanya membawa kehancuran. “Hari ini kita lihat sendiri bagaimana mereka dikejar oleh TNI karena sudah banyak meresahkan masyarakat di wilayah Ilaga. Ini bukan perjuangan, ini teror. Kita harus berdiri bersama untuk melindungi kampung kita dari orang-orang yang ingin menghancurkannya,” ujarnya lantang.

Tindakan heroik pasukan TNI tidak hanya menyelamatkan warga sipil dari bahaya, tetapi juga memberi pesan tegas bahwa keamanan masyarakat dan fasilitas umum adalah harga mati yang harus dijaga. Di tengah bayang-bayang teror OPM, keberanian dan ketegasan aparat kembali menjadi cahaya harapan bagi rakyat Papua.

 

Kepala Kampung Mayuberi Harapkan Kehadiran Aparat Keamanan dan Tenaga Kesehatan di Wilayahnya

Papeda.com- Kepala Kampung Mayuberi, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, menyampaikan harapan besar agar kehadiran aparat keamanan (Apkam) dan tenaga kesehatan (Nakes) dapat ditingkatkan di wilayahnya. Pernyataan ini disampaikan dalam forum musyawarah kampung yang digelar awal pekan ini, menyusul meningkatnya rasa tidak aman dan keterbatasan layanan kesehatan yang dialami warga.

Kepala Kampung Mayuberi, Yonas Telenggen, menyatakan bahwa kehadiran Apkam bukan dimaksudkan untuk menekan warga, melainkan untuk memberikan perlindungan dari gangguan kelompok bersenjata yang selama ini telah membuat masyarakat hidup dalam ketakutan. “Kami butuh rasa aman agar anak-anak bisa sekolah, orang tua bisa berkebun, dan petugas kesehatan bisa bekerja. Kehadiran aparat adalah bentuk perlindungan bagi rakyat kecil seperti kami,” ujarnya, Minggu (6/7/2025).

Menurut Yonas, sejak beberapa tahun terakhir, banyak warga Mayuberi mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan akibat ancaman dari OPM yang tidak segan-segan menyerang atau menculik tenaga medis yang dianggap bekerja sama dengan pemerintah. Akibatnya, warga harus berjalan kaki puluhan kilometer ke kampung lain yang lebih aman untuk mendapatkan pengobatan.

Tokoh agama di wilayah Ilaga, Pendeta Barnabas Kogoya, juga menyatakan dukungannya terhadap permintaan Kepala Kampung. Menurutnya, kehadiran Apkam yang humanis dan bersinergi dengan tokoh masyarakat justru dapat memperkuat hubungan sosial dan mengurangi ketegangan. “Jika aparat hadir dengan hati, dan membantu masyarakat, maka mereka bukan ancaman, tetapi pelindung. Dan jika ada tenaga medis yang datang, itu adalah berkat bagi kami,” ucapnya.

Selain pelayanan kesehatan, kebutuhan akan keamanan juga sangat mendesak. Beberapa kali terjadi kasus penjarahan, pembakaran rumah warga, dan intimidasi terhadap tokoh masyarakat yang dianggap menolak keberadaan OPM. Hal ini menciptakan suasana teror yang membuat warga takut keluar rumah bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun.

Tokoh pemuda Mayuberi, Elieser Murib, menambahkan bahwa generasi muda sangat mendambakan perubahan. “Kami ingin kampung kami maju. Tapi bagaimana kami bisa maju jika setiap hari dihantui rasa takut? Kami butuh polisi dan dokter, bukan senjata dan propaganda,” katanya dengan penuh harap.

Permintaan dari masyarakat Mayuberi ini mencerminkan suara mayoritas warga Papua yang menginginkan kedamaian, pelayanan yang adil, dan kehidupan yang layak. Pemerintah daerah diharapkan dapat segera merespons dengan menempatkan personel keamanan secara proporsional serta menjamin keberadaan tenaga kesehatan di wilayah-wilayah rawan, guna memastikan bahwa masyarakat Papua mendapatkan hak-hak dasarnya tanpa rasa takut.

Dengan kolaborasi antara aparat, tokoh masyarakat, dan pemerintah, wilayah seperti Mayuberi dapat menjadi contoh keberhasilan dalam membangun Papua yang aman, sehat, dan sejahtera.

 

Sadis, OPM Gunakan Anak-Anak untuk Angkat Senjata dan Membela Kelompok Separatis

 

Papeda.com- Kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai kecaman dari berbagai kalangan setelah terungkap bahwa mereka merekrut anak-anak untuk mengangkat senjata dan terlibat dalam aktivitas bersenjata. Praktik keji ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap hak anak dan hukum humaniter internasional, sekaligus mencederai nilai-nilai budaya masyarakat Papua yang menjunjung tinggi perlindungan terhadap generasi muda.

Informasi mengenai penggunaan anak-anak sebagai “tentara kecil” dalam barisan OPM pertama kali mencuat dari kesaksian warga dan tokoh adat yang melihat langsung bagaimana anak-anak dipaksa membawa senjata, mengikuti pelatihan militer, serta dijadikan tameng hidup dalam konfrontasi dengan aparat keamanan.

Tokoh masyarakat dari Kabupaten Intan Jaya, Andreas Wakerkwa, mengecam keras tindakan tidak manusiawi tersebut. “Anak-anak bukan alat perjuangan. Mereka harusnya berada di sekolah, bukan di hutan dengan senjata. OPM telah merusak masa depan Papua dengan menyeret anak-anak dalam konflik,” ujarnya dengan nada prihatin, Minggu (6/7/2025).

Dalam beberapa dokumentasi yang beredar di media sosial simpatisan OPM, terlihat jelas anak-anak usia belasan tahun mengenakan atribut militer dan membawa senjata laras panjang. Mereka tampak dilibatkan dalam barisan kelompok separatis, dan bahkan diajari meneriakkan propaganda politik. Hal ini menunjukkan bahwa OPM tidak hanya menggunakan anak-anak sebagai pelengkap visual perjuangan mereka, tetapi juga sebagai alat propaganda yang sistematis.

Pendeta Gereja Baptis di Lanny Jaya, Yeremia Murib, menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga nilai-nilai moral dan ajaran agama. “Dalam ajaran iman kami, anak adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga. Menjadikan mereka bagian dari kekerasan adalah bentuk kejahatan. Kami mengutuk keras tindakan ini dan meminta seluruh tokoh Papua bersatu menolaknya,” tegasnya.

Penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata termasuk dalam kategori pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Konvensi Internasional tentang Hak Anak, yang telah diratifikasi Indonesia, secara tegas melarang perekrutan dan penggunaan anak-anak di bawah usia 18 tahun dalam kegiatan militer.

Ketua Dewan Adat Wilayah Meepago, Elias Dogopia, turut angkat bicara. Ia mengatakan bahwa masyarakat Papua sudah sangat jenuh dengan konflik bersenjata yang terus memakan korban, dan kini malah menyeret anak-anak ke dalamnya. “Ini bukan perjuangan, ini penghancuran masa depan Papua. Kalau anak-anak sudah diajari kekerasan sejak kecil, siapa yang akan membangun tanah ini ke depan?” katanya.

Masyarakat Papua menginginkan kedamaian dan kemajuan, bukan generasi yang tumbuh dalam ketakutan dan kekerasan. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu untuk menyelamatkan anak-anak Papua dari jeratan kekerasan OPM dan mengembalikan mereka ke pelukan pendidikan, keluarga, dan masa depan yang lebih cerah.

 

OPM Kembali Lakukan Pembunuhan Keji terhadap Warga Sipil di Yahukimo

Papeda.com- Aksi kekerasan kembali terjadi di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, setelah kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilaporkan melakukan pembunuhan keji terhadap seorang warga sipil tak bersalah. Insiden ini menambah daftar panjang aksi brutal OPM yang terus meresahkan masyarakat dan merusak tatanan kehidupan damai yang selama ini diupayakan bersama. Korban, yang diketahui bernama Joy Jonathan Boroh, dengan luka-luka pada tubuh seperti di ketiak, dada, punggung dan telapak tangan.

Tokoh masyarakat Yahukimo, Yulianus Kobak, mengecam keras tindakan pembunuhan ini. Menurutnya, pembunuhan terhadap warga sipil sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam alasan apa pun. “Ini tindakan biadab. OPM sudah berkali-kali menyasar warga biasa. Kami hidup dalam ketakutan, seolah nyawa masyarakat tidak ada harganya di mata mereka,” ujarnya dengan nada geram, Minggu (6/7/2025).

Aksi pembunuhan terhadap warga sipil oleh OPM bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat beberapa insiden serupa juga terjadi di daerah pegunungan tengah, termasuk pembakaran rumah warga, fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, serta penyanderaan terhadap tenaga kesehatan dan guru.

Pendeta Gereja GIDI wilayah Yahukimo, Melianus Wanimbo, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menilai bahwa kekerasan demi kekerasan yang dilakukan OPM hanya menimbulkan luka dan ketakutan, bukan pembebasan seperti yang selalu mereka gaungkan. “Jika mereka mengklaim berjuang untuk rakyat Papua, mengapa justru rakyat Papua sendiri yang menjadi korban kekejaman mereka? Ini bukan perjuangan, ini penghancuran,” tegasnya.

Warga Yahukimo kini kembali dihantui rasa was-was. Banyak di antara mereka yang enggan bepergian jauh atau menghindari aktivitas di ladang karena khawatir akan menjadi korban berikutnya. Beberapa kampung bahkan dilaporkan mulai mengungsikan warganya ke wilayah yang lebih aman.

Kepala Suku Holomama, Andreas Kogoya, mengungkapkan bahwa masyarakat sudah lelah dengan ketegangan yang terus diciptakan oleh OPM. “Kami sudah cukup menderita. Anak-anak takut sekolah, orang tua takut ke kebun. Kami hanya ingin hidup tenang, bukan terus-menerus dikejar oleh bayang-bayang kematian,” katanya.

Sejumlah tokoh adat dan gereja telah menggelar pertemuan darurat untuk merespons situasi yang semakin mencekam. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat menyerukan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh propaganda OPM dan tetap bersatu menjaga kedamaian serta saling melindungi antar sesama.

Tragedi di Yahukimo ini kembali mempertegas bahwa OPM tidak lagi memikirkan nasib rakyat Papua secara luas. Tindakan mereka yang menyasar warga sipil menjadi bukti nyata bahwa kelompok tersebut hanya membawa penderitaan dan ketakutan. Kini, suara masyarakat semakin lantang menyatakan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan dan mendambakan kedamaian sejati di Tanah Papua.

Komandan Kodap VIII Soanggama, Enos Tipagau, Tewas dalam Operasi Aparat Gabungan

Papeda.com- Enos Tipagau, Komandan Batalyon Kodap VIII Soanggama dari kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), dilaporkan tewas dalam sebuah operasi gabungan aparat keamanan di wilayah pegunungan Papua. Kematian Enos menjadi babak baru dalam upaya penegakan hukum dan keamanan di wilayah yang selama ini kerap menjadi sasaran kekerasan bersenjata oleh kelompok tersebut.

Enos Tipagau diketahui sebagai salah satu pimpinan lapangan OPM yang paling aktif dalam melakukan berbagai aksi kekerasan di wilayah Papua Tengah, khususnya di Distrik Mapenduma dan sekitarnya. Selama kepemimpinannya, serangkaian aksi kejam dan brutal telah dilakukan kelompoknya, mulai dari penyerangan terhadap warga sipil, pembakaran fasilitas umum, hingga serangan terhadap pos aparat keamanan.

Tokoh masyarakat Papua, Theodorus Murib, menyatakan bahwa tewasnya Enos Tipagau memberikan sedikit kelegaan bagi masyarakat yang selama ini hidup dalam teror. “Selama ini, warga kampung kami tidak pernah tidur nyenyak. Malam-malam ada suara tembakan, siang hari ada penyanderaan, kadang rumah dibakar. Kami menderita karena ulah mereka. Tewasnya Enos adalah jawaban atas doa banyak warga yang menginginkan kedamaian,” ujarnya, Minggu (6/7/2025).

Enos dan kelompoknya juga tidak bertanggung jawab atas pembakaran rumah-rumah warga, sekolah, dan puskesmas di beberapa kampung, yang mengakibatkan ratusan warga terpaksa mengungsi ke hutan dan daerah yang lebih aman. Selain itu, aksi penyanderaan terhadap guru, tenaga medis, dan warga sipil lainnya sering dijadikan alat tawar oleh kelompok ini untuk mendesak kepentingan mereka.

Pendeta Yeremias Wonda, tokoh agama dari wilayah Nduga, menilai bahwa tindakan Enos selama ini telah menyimpang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. “Mengatasnamakan perjuangan, tapi yang dilakukan adalah pembunuhan, penyanderaan, dan pembakaran rumah rakyat sendiri. Ini bukan lagi perlawanan, ini kejahatan kemanusiaan,” tegasnya.

Selain kekerasan fisik, Enos Tipagau juga dikenal aktif menyebarkan propaganda provokatif melalui saluran radio komunitas ilegal dan media sosial simpatisan OPM. Narasi-narasi penuh kebencian terhadap pemerintah dan aparat keamanan disebarkan secara masif, menciptakan kebingungan dan ketakutan di tengah masyarakat.

Tewasnya Enos Tipagau diyakini akan melemahkan struktur komando Kodap VIII Soanggama dan menjadi pukulan berat bagi moral OPM. Di sisi lain, ini juga memperkuat harapan masyarakat akan hadirnya masa depan yang lebih aman, sejahtera, dan bebas dari kekerasan di Tanah Papua.

 

OPM Terus Ancam Masyarakat Papua, Sebabkan Keresahan dan Ketakutan Warga

Papeda.com- Aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus menerus mengancam masyarakat sipil di berbagai wilayah Papua kembali menimbulkan keresahan mendalam. Kelompok separatis bersenjata tersebut kerap melakukan intimidasi, pemerasan, bahkan kekerasan terhadap warga, yang berdampak pada terganggunya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Papua, khususnya di daerah pedalaman.

Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh OPM tidak hanya menyasar aparat keamanan, tetapi juga masyarakat sipil yang tidak bersalah. Warga yang tinggal di Distrik Gome, Intan Jaya, dan daerah Pegunungan Tengah lainnya, melaporkan bahwa mereka hidup dalam ketakutan akibat teror yang terus berlangsung. OPM diketahui sering menggunakan taktik intimidasi agar warga patuh terhadap kehendak mereka, termasuk larangan berinteraksi dengan aparat negara serta keharusan memberikan logistik secara paksa.

Tokoh masyarakat Papua, Yulianus Nawipa, menyatakan bahwa situasi ini telah menekan kebebasan masyarakat untuk menjalani kehidupan sehari-hari. "Kami hanya ingin hidup damai, membangun masa depan anak-anak kami. Namun, ancaman dari kelompok OPM membuat semua harapan itu seperti mimpi yang jauh," ujarnya dengan nada prihatin, Sabtu (5/7/2025).

Tidak hanya itu, kegiatan pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan pemerintah untuk membuka akses wilayah-wilayah terpencil pun menjadi terganggu akibat ulah kelompok ini. Pekerja proyek sering menjadi sasaran penembakan atau penculikan. Dalam beberapa kasus, honai dan fasilitas umum seperti sekolah serta puskesmas bahkan dibakar karena dianggap sebagai simbol keterlibatan pemerintah.

Pendeta Paulus Tabuni, salah satu tokoh agama di wilayah Puncak, menyesalkan kekerasan yang terus dilakukan oleh OPM atas nama perjuangan. “Jika benar mereka memperjuangkan rakyat Papua, mengapa justru rakyat sendiri yang menjadi korban? Ini bukan perjuangan, ini penindasan,” tegasnya.

Pihak keamanan yang bertugas di Papua juga membenarkan adanya peningkatan laporan dari warga terkait ancaman yang mereka terima. Komandan Distrik Militer di wilayah Pegunungan Bintang menyampaikan bahwa pihaknya telah meningkatkan patroli dan pengamanan untuk menjamin keselamatan warga sipil. “Kami hadir untuk melindungi rakyat. Keamanan masyarakat adalah prioritas utama,” ungkapnya.

Seiring dengan meningkatnya aksi brutal OPM, masyarakat pun mulai menunjukkan penolakan terhadap kelompok tersebut. Sayangnya, aksi balas dendam dan kekerasan yang dilakukan oleh OPM terus berlangsung. Banyak warga akhirnya memilih mengungsi ke daerah yang lebih aman, meninggalkan ladang dan rumah mereka. Hal ini menyebabkan gangguan ketahanan pangan serta meningkatnya beban sosial di wilayah yang menjadi tempat pengungsian.

Keresahan warga Papua akan terus berlanjut jika aksi kekerasan tidak segera dihentikan. Harapan masyarakat kini tertumpu pada kehadiran negara yang tidak hanya menjamin keamanan, tetapi juga mendengarkan suara dan kebutuhan masyarakat asli Papua secara berkelanjutan.

 

Propaganda OPM Dinilai Sengaja untuk Goyang Stabilitas Papua

Papeda.com- Aksi propaganda yang terus digencarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dinilai sebagai upaya sistematis untuk menggoyang stabilitas Papua dan mengacaukan kehidupan masyarakat. Berbagai narasi yang disebar melalui media sosial, selebaran, serta jaringan simpatisan di lapangan kerap kali mengandung informasi palsu (hoaks), ujaran kebencian, dan ajakan makar yang merusak ketenangan masyarakat.

Kelompok separatis ini tidak hanya menyasar aparat keamanan atau pemerintah, tetapi juga membidik masyarakat sipil dengan tujuan menciptakan ketakutan, membenturkan antarwarga, dan menimbulkan keresahan sosial. Propaganda mereka dikemas seolah-olah memperjuangkan hak rakyat Papua, padahal substansi pesan yang dibawa justru mengandung provokasi dan ajakan untuk memisahkan diri dari NKRI.

Tokoh masyarakat Papua asal Kabupaten Paniai, Daniel Nawipa, menyampaikan bahwa warga telah mulai menyadari pola propaganda yang dimainkan oleh OPM. “Mereka menyebarkan hoaks seolah-olah ada pelanggaran HAM oleh negara, padahal kenyataannya mereka sendiri yang menebar teror dan kekerasan. Ini sangat merugikan masyarakat,” ujarnya, Sabtu (5/7/2025).

Salah satu propaganda terbaru yang beredar adalah tudingan terhadap aparat keamanan atas insiden yang justru dilakukan oleh OPM sendiri. Mereka mengaburkan fakta lapangan dan menuduh negara sebagai pelaku, dengan harapan menciptakan kebencian masyarakat terhadap pemerintah. Praktik manipulatif seperti ini dinilai sangat berbahaya karena bisa memicu konflik horizontal.

Tokoh agama dari Kabupaten Lanny Jaya, Pendeta Stefanus Gwijangge, mengajak masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita bohong yang disebarkan oleh OPM. “Kalau kita percaya pada kebohongan, maka kita sedang memberi kekuatan kepada mereka yang ingin merusak kedamaian. Kita harus bijak dan berpikir kritis,” tegasnya.

Dampak dari propaganda ini tidak hanya menyasar psikologis masyarakat, tetapi juga berdampak langsung terhadap proses pembangunan di Papua. Sejumlah proyek infrastruktur, layanan publik, dan kegiatan pendidikan menjadi terganggu akibat kekacauan yang sengaja diciptakan melalui penyebaran isu-isu yang menyesatkan.

Melalui sinergi antara tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan, dan generasi muda, diharapkan propaganda yang disebarkan OPM tidak lagi memiliki celah untuk memecah belah rakyat Papua. Kesadaran kolektif akan pentingnya kedamaian dan stabilitas wilayah menjadi kunci untuk menolak setiap bentuk agitasi dan provokasi yang mengganggu kehidupan bermasyarakat di Bumi Cenderawasih.

 

Tolak OPM, Provokasi yang Timbulkan Ketegangan Antarwarga yang Dulunya Hidup Rukun dan Damai

Papeda.com- Aksi provokatif Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali memicu ketegangan sosial di berbagai wilayah Papua. Kelompok separatis bersenjata ini dinilai telah merusak keharmonisan antarwarga yang selama ini hidup rukun dan damai, melalui penyebaran propaganda, ancaman, dan kekerasan bersenjata yang tidak mengenal batas.

Sejumlah insiden terbaru memperlihatkan bagaimana OPM berusaha menciptakan perpecahan di antara masyarakat, terutama dengan memanfaatkan isu suku, agama, dan pandangan politik. Di beberapa wilayah seperti Intan Jaya, Nduga, dan Yahukimo, masyarakat yang semula hidup dalam kerukunan kini mulai mengalami gesekan akibat adanya provokasi dari kelompok tersebut.

Tokoh adat asal Kabupaten Puncak, Dominikus Wenda, menyesalkan perilaku OPM yang dinilai hanya memperkeruh suasana dan tidak membawa manfaat apa pun bagi rakyat Papua. “Kami dulu hidup tenang, semua suku saling bantu. Tapi sejak OPM masuk dan menyebar kebencian, warga jadi curiga satu sama lain. Ini bukan jalan perjuangan, ini merusak,” ujarnya, Sabtu (5/7/2025).

OPM kerap menyebarkan narasi bahwa pemerintah Indonesia dan pendatang adalah ancaman bagi orang asli Papua. Narasi ini kemudian dijadikan alasan untuk menghasut masyarakat agar memusuhi sesama warga yang dianggap tidak sejalan. Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat dipaksa untuk mendukung aksi mereka atau dicap sebagai “pengkhianat” bila tidak menuruti kehendak kelompok tersebut.

Pendeta Markus Murib, tokoh gereja dari wilayah Lanny Jaya, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat yang semakin terpecah akibat hasutan OPM. “Tugas kami sebagai pemimpin rohani adalah menjaga perdamaian. Tapi bagaimana kami bisa lakukan itu kalau rakyat terus ditakut-takuti dan diadu domba?” tegasnya.

Pihak kepolisian pun menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan laporan terkait gesekan antarwarga di beberapa distrik. Kapolres Jayawijaya, AKBP Ruben Kayame, mengatakan bahwa faktor utama ketegangan tersebut berasal dari provokasi yang dilakukan oleh simpatisan OPM. “Kami sedang memperkuat pendekatan persuasif dan dialog antarwarga. Ini bukan hanya masalah keamanan, tapi masalah sosial yang harus segera ditangani,” jelasnya.

Masyarakat sipil pun mulai mengambil sikap tegas. Di beberapa kampung di wilayah Dogiyai dan Paniai, warga secara terbuka menolak keberadaan OPM dan meminta agar mereka tidak mencampuri urusan masyarakat. Penolakan ini disampaikan dalam forum-forum adat yang melibatkan tokoh suku, tokoh agama, dan aparat keamanan.

Pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat kini berupaya memperkuat kembali ikatan sosial antarwarga dengan menggelar dialog damai, kegiatan lintas budaya, serta pelatihan rekonsiliasi komunitas. Langkah ini diharapkan bisa meredam ketegangan dan menyatukan kembali masyarakat Papua dalam semangat persaudaraan.

 

 

Warga Turun ke Jalan Tolak Kehadiran OPM di Kabupaten Mapia Raya

Papeda.com- Masyarakat Kabupaten Mapia Raya tumpah ruah ke jalan dalam aksi damai menolak keberadaan dan aktivitas kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Aksi ini merupakan bentuk penolakan terbuka dari warga terhadap provokasi, kekerasan, dan teror yang selama ini dilakukan oleh OPM dan simpatisannya di wilayah tersebut.

Massa aksi yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, pemuda, ibu-ibu, pelajar, dan aparat kampung membawa spanduk serta poster bertuliskan penolakan terhadap OPM, seperti “Papua Cinta Damai, Bukan Kekerasan”, “OPM Bukan Wakil Kami”, dan “Mapia Raya Aman Tanpa OPM”. Aksi yang berlangsung tertib ini dimulai dari halaman kantor distrik hingga berakhir di halaman kantor bupati Dogiyai, dengan pengawalan aparat keamanan dari Polres Dogiyai dan Kodim setempat.

Ketua Korlap, Fredi Pigai, dalam orasinya menyampaikan bahwa kehadiran OPM di wilayah Mapia Raya hanya membawa ketakutan dan keterbelakangan. “Kami sudah cukup menderita dengan berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan. Mereka datang bukan membawa solusi, tetapi membawa senjata dan perpecahan. Kami tolak OPM karena kami cinta damai,” ujarnya disambut tepuk tangan massa, Sabtu (5/7/2025).

Aksi ini juga merupakan reaksi atas beberapa insiden gangguan keamanan yang diduga dilakukan oleh simpatisan OPM dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pembakaran fasilitas umum, intimidasi terhadap guru dan tenaga kesehatan, serta penyebaran hoaks yang meresahkan masyarakat.

Tokoh agama dari Gereja Kingmi di Mapia, Pendeta Yulius Dogopia, menegaskan bahwa kekerasan bukan jalan untuk memperjuangkan hak. “Ajaran iman kami mengedepankan kasih, bukan kebencian. OPM telah menjauhkan banyak warga dari ajaran damai. Mereka menodai nilai-nilai luhur orang Papua,” tegasnya.

Sementara itu, Ernesto Ferdinand, menyampaikan bahwa warga kampung kini hidup dalam rasa was-was akibat adanya ancaman dari kelompok separatis tersebut. Ia meminta pemerintah dan aparat keamanan untuk lebih serius menjaga wilayah Mapia Raya dari infiltrasi kelompok bersenjata. “Kami minta jaminan bahwa anak-anak kami bisa sekolah tanpa takut, petani bisa berkebun tanpa khawatir ditembak, dan warga bisa beribadah tanpa diintimidasi,” ungkapnya.

Aksi turun ke jalan ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat Papua, khususnya di Kabupaten Mapia Raya, semakin sadar dan berani menyuarakan penolakannya terhadap OPM yang selama ini hanya menebar teror dan menghambat kemajuan daerah. Warga kini bersatu demi Papua yang damai, sejahtera, dan bebas dari kekerasan.

 

Tokoh Papua Sebut OPM Sudah Banyak Melanggar HAM, Desak Dunia Internasional Tidak Lagi Tertipu Propaganda

Papeda.com- Sejumlah tokoh masyarakat Papua dengan tegas menyatakan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap warga sipil di Tanah Papua. Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk keprihatinan atas semakin maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang mengatasnamakan perjuangan Papua merdeka.

Tokoh adat Papua dari wilayah Meepago, Yonas Kobepa, menegaskan bahwa OPM telah melenceng jauh dari apa yang mereka klaim sebagai "perjuangan kemerdekaan." Ia menyebut bahwa kekerasan terhadap warga sipil, pemalakan di jalan raya, pembakaran fasilitas umum, hingga penembakan terhadap guru dan tenaga kesehatan adalah tindakan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.

“Kalau benar mereka memperjuangkan hak rakyat Papua, mengapa justru rakyat yang menjadi korban? Anak-anak tidak bisa sekolah, warga takut ke ladang, dan pelayanan kesehatan lumpuh karena ulah mereka. Itu bukan perjuangan, itu pelanggaran HAM,” ujar Yonas Kobepa, Jumat (4/7/2025).

Kecaman senada juga disampaikan oleh tokoh gereja di Papua, Pdt. Samuel Duwitau. Ia menyampaikan bahwa gereja mencatat banyak laporan dari jemaat di daerah pedalaman yang mengalami ancaman dari kelompok separatis, mulai dari pemerasan hingga intimidasi. Bahkan, ada sejumlah laporan mengenai pemaksaan rekrutmen anak-anak muda untuk bergabung dengan kelompok bersenjata.

“Kami di gereja hanya ingin membina kedamaian dan kasih. Tapi ketika anak-anak muda ditarik paksa, ketika guru ditodong senjata, itu jelas pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Dunia internasional perlu membuka mata dan tidak lagi tertipu oleh narasi yang dibangun OPM,” tutur Pdt. Samuel.

Salah satu aktivis perempuan Papua, Maria Wonda, juga turut angkat bicara. Ia menyoroti dampak aksi OPM terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam beberapa kasus, perempuan menjadi korban ketika kelompok OPM melakukan pembakaran rumah-rumah warga atau ketika terjadi kontak senjata di wilayah pemukiman.

“Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Ketika sekolah dibakar, mereka kehilangan masa depan. Ketika kampung diserang, mereka kehilangan tempat tinggal. Apakah ini bentuk perjuangan? Ini jelas bentuk pelanggaran HAM yang nyata,” ungkap Maria Wonda dengan nada tegas.

Pernyataan tegas dari para tokoh Papua ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat sudah tidak lagi percaya pada perjuangan yang dilakukan OPM. Aksi kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara terus-menerus oleh kelompok tersebut telah merusak kehidupan masyarakat Papua. Kini, tokoh-tokoh lokal mendesak dunia internasional untuk tidak lagi terpaku pada narasi propaganda OPM, tetapi mulai melihat fakta nyata bahwa kelompok inilah yang justru menjadi ancaman terbesar bagi hak asasi manusia di Tanah Papua.

 

Masyarakat Papua Ramai-Ramai Tolak Provokasi dan Berita Hoaks yang Digaungkan OPM

Papeda.com- Gelombang penolakan terhadap provokasi dan penyebaran berita hoaks yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meluas di kalangan masyarakat Papua. Kesadaran kolektif warga akan pentingnya menjaga perdamaian dan menolak manipulasi informasi, menjadi bukti bahwa masyarakat sudah semakin dewasa dalam menyikapi dinamika sosial dan politik di tanah Papua.

Masyarakat menyadari bahwa hoaks yang disebarluaskan oleh OPM selama ini hanya bertujuan untuk menciptakan ketegangan dan menumbuhkan rasa benci terhadap pemerintah. Namun, narasi-narasi tersebut justru menyesatkan, bahkan mengakibatkan keresahan di tengah kehidupan masyarakat yang ingin damai dan tenteram.

Tokoh masyarakat Papua dari Kabupaten Jayawijaya, Markus Wetipo, menyampaikan bahwa sebagian besar masyarakat kini sudah mulai cerdas dalam memilah informasi yang beredar, khususnya yang berasal dari media-media pro separatis. Ia menekankan bahwa berita-berita hoaks yang diluncurkan OPM biasanya sengaja dibuat untuk menimbulkan kekacauan, bukan untuk memperjuangkan hak rakyat.

“Banyak informasi yang diklaim OPM itu ternyata tidak benar. Mereka mengedit foto, menyebar video lama, dan membuat narasi seolah-olah Papua dalam keadaan darurat, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Masyarakat kita sudah semakin pintar, dan mereka tidak mau lagi dijadikan alat,” tegas Markus Wetipo, Jumat (4/7/2025).

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yeremias Kobak, menilai bahwa OPM menggunakan hoaks sebagai strategi untuk merekrut simpatisan, khususnya generasi muda. Mereka memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan kebohongan yang menggiring opini negatif terhadap pembangunan dan aparat keamanan.

“Anak-anak muda yang tidak mendapat literasi digital dengan baik bisa saja termakan hoaks. Tapi sekarang sudah banyak pemuda yang sadar bahwa semua itu hanya taktik OPM untuk mencari pengaruh. Kami ingin membangun Papua, bukan merusaknya dengan kebohongan,” ujar Yeremias.

Tokoh agama dari wilayah Pegunungan Tengah, Pdt. Johanes Sondegau, mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum tentu kebenarannya. Ia mengajak umat untuk tetap menjaga persatuan dan tidak memberi ruang bagi pihak-pihak yang mencoba menciptakan konflik lewat penyebaran fitnah.

“Tugas kita adalah menjaga kedamaian dan kasih di tengah masyarakat. Jangan sampai kita ikut menyebarkan atau mempercayai berita-berita palsu yang hanya memecah belah. Jika kita bersatu, maka provokasi dari kelompok separatis tidak akan mempan,” kata Pdt. Johanes.

Penolakan yang semakin meluas dari masyarakat Papua terhadap provokasi dan hoaks yang digaungkan OPM menunjukkan bahwa rakyat semakin memahami pentingnya persatuan dan kedamaian. Tokoh masyarakat, pemuda, agamawan, hingga akademisi telah menyuarakan seruan bersama untuk tidak memberi ruang bagi penyebaran kebohongan. Kini, saatnya semua elemen masyarakat bergandengan tangan untuk menjaga Papua dari ancaman disinformasi dan terus bergerak menuju masa depan yang damai dan sejahtera.

 

Egianus Kogoya Serang Sebby Sambom: Penegasan Kepemimpinan Kodap III Disetujui Pimpinan OPM

Papeda.com- Perselisihan internal di tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan keras dilontarkan oleh Egianus Kogoya, pimpinan Kodap III Ndugama-Derakma, terhadap Sebby Sambom, yang selama ini mengklaim diri sebagai juru bicara TPNPB-OPM. Dalam pernyataannya, Egianus secara terbuka menuding Sebby telah menyebarkan informasi palsu, menyimpang dari garis perjuangan, dan tidak memiliki kewenangan untuk mengatasnamakan seluruh struktur OPM.

Egianus menegaskan bahwa dirinya diangkat menjadi pimpinan Kodap III bukan secara sepihak, melainkan berdasarkan keputusan bersama dan melalui persetujuan resmi dari pimpinan pusat OPM. “Saya dipilih dan disetujui oleh pimpinan OPM sebagai Komandan Kodap III karena komitmen saya terhadap perjuangan bersenjata. Tidak ada yang bisa membatalkan atau menyangkal hal ini, termasuk Sebby Sambom,” tegas Egianus melalui rekaman video yang beredar di kanal simpatisan mereka, Jumat (4/7/2025).

Pernyataan Egianus tersebut menjadi respons atas berbagai klaim dari Sebby Sambom yang sering mengeluarkan pernyataan mengatasnamakan TPNPB-OPM secara keseluruhan, termasuk menyangkut strategi politik dan langkah-langkah diplomasi. Namun, sebagian besar komandan lapangan, termasuk Egianus, menganggap bahwa Sebby telah keluar dari jalur komando karena kerap berbicara tanpa koordinasi.

Konflik antara dua figur ini memperlihatkan adanya ketegangan serius dalam struktur internal OPM, khususnya antara pihak lapangan dan pihak yang berada di luar Papua. Banyak kalangan menilai bahwa perpecahan ini membuktikan lemahnya soliditas gerakan separatis tersebut dalam memperjuangkan agenda mereka.

Tokoh masyarakat Papua, Pendeta Albert Yikwa, menanggapi perseteruan ini dengan mengatakan bahwa pertikaian antar elit OPM semakin memperburuk citra perjuangan mereka sendiri. “Bukannya memberikan kejelasan kepada masyarakat, justru mereka membuat kebingungan. Rakyat Papua bukan butuh konflik internal elit, tetapi butuh kedamaian dan pembangunan,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh perempuan Papua, Maria Tebai, menyayangkan sikap Sebby Sambom yang dianggap tidak memiliki basis kekuatan di lapangan namun tetap mengklaim posisi sebagai juru bicara seluruh OPM. “Sebby tidak berada di medan konflik, tapi selalu berbicara seolah dia yang paling berkuasa. Ini memperlihatkan bahwa ada ketimpangan dalam tubuh OPM itu sendiri,” ujar Maria.

Serangan pernyataan dari Egianus Kogoya terhadap Sebby Sambom semakin memperjelas adanya perpecahan internal dalam tubuh OPM. Meskipun Egianus mengklaim telah diangkat secara sah oleh pimpinan OPM, keabsahan klaim tersebut terus dipertanyakan karena minimnya koordinasi antar elit. Tokoh masyarakat dan akademisi menilai bahwa konflik ini menunjukkan lemahnya fondasi organisasi separatis tersebut dan menjadi isyarat bahwa perjuangan mereka sudah tidak relevan dengan kebutuhan rakyat Papua yang sesungguhnya: hidup damai, aman, dan sejahtera.

 

Memanasnya Hubungan Sebby Sambom dan Demianus Magai: Siapa yang Mengangkat Sebby Sambom sebagai Juru Bicara OPM?

Papeda.com- Ketegangan internal dalam tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, perseteruan terjadi antara dua tokoh yang selama ini dikenal sebagai representasi kelompok tersebut, yakni Sebby Sambom yang mengklaim diri sebagai juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), dan Demianus Magai yang merupakan salah satu pimpinan wilayah dalam struktur OPM.

Perselisihan antara keduanya menyeruak setelah Demianus Magai mempertanyakan legitimasi Sebby Sambom sebagai juru bicara resmi OPM. Dalam sebuah pernyataan yang beredar luas di media sosial simpatisan separatis, Demianus secara terang-terangan menyebut bahwa penunjukan Sebby tidak melalui mekanisme yang sah dan tidak melibatkan seluruh pimpinan wilayah.

"Sebby Sambom hanya mewakili kelompok tertentu. Ia tidak pernah dipilih secara kolektif oleh semua komandan lapangan OPM. Klaimnya sebagai juru bicara seluruh organisasi justru menimbulkan kebingungan di kalangan anggota," ujar Demianus dalam pernyataannya, Jumat (4/7/2025).

Sebaliknya, Sebby Sambom tetap bersikukuh bahwa dirinya adalah juru bicara sah OPM berdasarkan penunjukan oleh pimpinan tertinggi dalam eksil. Ia juga menyebut bahwa suara yang mempertanyakan legitimasinya berasal dari kelompok yang sudah terpecah dan tidak lagi satu visi dengan perjuangan awal.

“Sejak 2018, saya ditugaskan oleh Dewan Pimpinan TPNPB-OPM untuk menyampaikan seluruh sikap politik dan militer kami ke dunia internasional. Kalau ada yang tidak sepakat, silakan ajukan dalam forum resmi organisasi, bukan lewat media sosial,” ujar Sebby.

Situasi ini semakin memperlihatkan fragmentasi internal yang selama ini coba disembunyikan oleh kelompok separatis tersebut. Banyak pihak menilai bahwa perpecahan ini hanya menegaskan ketidakmampuan OPM dalam membangun struktur organisasi yang solid dan kompak.

Tokoh masyarakat Papua, Yance Wonda, menanggapi polemik ini dengan keprihatinan. Ia menyebut bahwa rakyat Papua semakin jenuh dengan pertikaian elit OPM yang hanya memperjuangkan ego masing-masing.

“Yang mereka pertontonkan hanyalah konflik internal yang jauh dari nilai-nilai perjuangan. Sementara rakyat Papua tetap hidup dalam ketakutan, kekurangan, dan tidak mendapatkan kesejahteraan. Ini bukti bahwa OPM hanya peduli pada kekuasaan, bukan rakyat,” ujar Yance.

Senada, tokoh pemuda Papua, Antonius Kobogau, menyatakan bahwa perseteruan ini adalah peluang bagi masyarakat untuk menyadari bahwa OPM bukan organisasi yang mampu memperjuangkan masa depan Papua secara terstruktur dan demokratis.

“Kalau memang ingin berjuang demi rakyat Papua, kenapa malah saling serang dan berebut posisi juru bicara? Rakyat tidak butuh itu. Rakyat butuh kedamaian, pendidikan, dan masa depan yang cerah, bukan konflik antar elit separatis,” kata Antonius.

Perseteruan antara Sebby Sambom dan Demianus Magai menyingkap konflik laten di dalam tubuh OPM yang selama ini tertutup rapat. Ketika masing-masing pihak sibuk mempertahankan ego dan posisi, masyarakat Papua kembali menjadi korban atas ketidakjelasan arah perjuangan kelompok tersebut. Suara dari tokoh masyarakat, pemuda, dan akademisi mempertegas bahwa sudah saatnya rakyat Papua meninggalkan konflik internal separatis dan memilih jalan damai menuju kesejahteraan.

 

Tokoh Agama, Warga Sipil, dan Anak Sekolah Kembali Jadi Sasaran Kekerasan OPM di Intan Jaya

Papeda.com- Situasi keamanan di Kabupaten Intan Jaya kembali memanas akibat aksi brutal yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam insiden terbaru, kelompok tersebut kembali menyasar tokoh agama, warga sipil, hingga anak-anak sekolah yang tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan konflik bersenjata. Aksi keji ini kembali mempertegas bahwa OPM tidak memiliki batas moral dalam menjalankan teror mereka.

Menurut laporan warga setempat, aksi kekerasan terjadi di beberapa titik di Distrik Sugapa dan sekitarnya. Salah satu korban yang menjadi sorotan adalah seorang pendeta yang diketahui aktif membimbing jemaat di wilayah pedalaman. Ia disergap dan dianiaya oleh sekelompok orang bersenjata saat dalam perjalanan menuju gereja.

“Pendeta kami tidak pernah terlibat dalam politik atau militer. Ia hanya mengajarkan kasih dan damai kepada masyarakat. Tapi mengapa dia yang menjadi korban? Ini sungguh biadab,” ujar Antonius Sondegau, tokoh masyarakat Sugapa, Kamis (3/72025).

Selain itu, dua warga sipil lainnya dilaporkan mengalami luka tembak ketika kelompok OPM melakukan penyerangan di sekitar pemukiman penduduk. Bahkan lebih mengerikan, sekelompok anak sekolah dilaporkan dipaksa untuk turun dari kendaraan yang membawa mereka ke sekolah, lalu diintimidasi dengan todongan senjata. Aksi ini tidak hanya mengganggu pendidikan, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi anak-anak tersebut.

Tokoh agama dari Intan Jaya, Pdt. Benius Wakey, mengecam keras aksi tersebut dan menyebut bahwa kelompok OPM telah kehilangan arah perjuangannya. “Kalau benar mereka berjuang untuk hak-hak Papua, seharusnya mereka lindungi rakyat, bukan justru membunuh dan meneror rakyatnya sendiri. Ini adalah bentuk penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan agama,” katanya.

Kekerasan yang menyasar warga sipil dan kelompok rentan seperti anak-anak dan pemuka agama memperlihatkan wajah asli dari gerakan separatis yang dipimpin OPM. Jauh dari semangat perjuangan, mereka justru bertindak seperti organisasi kriminal bersenjata yang memaksakan kehendak dengan teror.

Tokoh pemuda lokal, Yosep Murib, menyayangkan bahwa masih ada pihak-pihak yang memberi simpati kepada OPM dari luar Papua. “Mereka tidak tahu seperti apa penderitaan kami di sini. Anak-anak takut ke sekolah, orang tua takut berkebun, pendeta pun tak luput dari ancaman. Apa ini bentuk perjuangan? Ini adalah teror, dan harus dihentikan,” tegasnya.

Masyarakat berharap pemerintah dan aparat keamanan segera menindak tegas kelompok-kelompok separatis bersenjata yang terus merusak ketenangan warga Papua. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh OPM bukanlah bentuk perjuangan, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang nyata.

 

OPM Kodap XXVII Sinak Pimpinan Kalenak Murib Kembali Ganggu Keamanan Masyarakat Distrik Sinak

Papeda.com- Keamanan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, kembali terganggu akibat ulah kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap XXVII pimpinan Kalenak Murib. Kelompok ini diduga kembali melakukan tindakan provokatif yang meresahkan warga sipil dengan melakukan patroli bersenjata, intimidasi, hingga menembaki rumah-rumah warga sipil tanpa arah.

Aksi teror yang dilakukan kelompok ini bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat setempat telah melaporkan adanya gangguan berupa pemalakan, penghadangan di jalan kampung, hingga larangan melakukan aktivitas sehari-hari. Kondisi ini membuat masyarakat hidup dalam ketakutan dan membatasi ruang gerak mereka, terutama saat malam hari.

Perwakilan Distrik Sinak, Bapak Charles, menyatakan keprihatinannya terhadap tindakan Kalenak Murib dan kelompoknya. “Kami ingin hidup damai dan bekerja untuk keluarga kami. Tapi sekarang, bahkan untuk pergi ke kebun pun kami takut karena kelompok bersenjata itu sering mondar-mandir dengan senjata. Mereka bukan memperjuangkan hak rakyat, tetapi menakut-nakuti rakyat,” ujarnya tegas, Kamis (3/7/2025).

Kalenak Murib dikenal sebagai salah satu pimpinan OPM yang cenderung brutal dan tanpa kompromi. Dia dan kelompoknya sering kali menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyebarkan ideologinya, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat sipil. Ironisnya, mereka mengklaim berjuang untuk kepentingan rakyat Papua, namun kenyataannya justru menindas rakyatnya sendiri.

Tokoh agama, Pdt. Yas Murib, juga turut menyampaikan kecamannya. Ia menegaskan bahwa ajaran kekerasan yang dipertontonkan oleh OPM justru merusak nilai-nilai kemanusiaan dan kasih yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua. “Tuhan tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai jalan keluar. Yang dilakukan oleh Kalenak Murib dan kelompoknya itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kami minta mereka hentikan semua aksi keji ini,” katanya.

Beberapa laporan dari warga menyebutkan bahwa kelompok Kalenak Murib juga memaksa masyarakat untuk menyerahkan bahan makanan serta uang, dan bahkan melarang anak-anak untuk bersekolah. Situasi ini memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Distrik Sinak yang sebelumnya sudah cukup terbatas dalam akses pendidikan dan kesehatan.

“Jangan sampai generasi muda Papua terus-menerus dikorbankan karena ulah segelintir orang yang mengaku pejuang, padahal mereka justru penghancur,” ujar Desman Murib, Kepala Suku Dani Distrik Sinak. Ia menambahkan bahwa banyak pemuda Papua saat ini tidak lagi mendukung gerakan separatis karena dinilai hanya membawa penderitaan, bukan kemajuan.

Masyarakat kini berharap agar aparat keamanan dapat memperkuat kehadirannya di Distrik Sinak untuk menjamin keselamatan warga dan menghentikan teror yang dilakukan oleh OPM Kodap XXVII. Situasi di Sinak menjadi gambaran nyata bagaimana kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis seperti OPM tidak lagi mendapat simpati dari rakyat Papua

 

  Aktor Ketidakmajuan Papua, Kehadiran OPM Jadi Penghambat Pembangunan Papeda.com- Di tengah berbagai upaya pembangunan yang terus digalak...