Menolak Lupa Tragedi Biak Berdarah, Luka
Mendalam yang Dilakukan oleh OPM
Papeda.com- Dua
dekade lebih telah berlalu, namun tragedi "Biak Berdarah" tetap
meninggalkan luka yang belum sembuh bagi masyarakat Papua, khususnya warga
Kabupaten Biak Numfor. Peristiwa kelam yang kuat dilakukan oleh kelompok
separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tersebut menjadi catatan sejarah yang
tak boleh dilupakan, terutama karena menyasar masyarakat sipil secara brutal
dan membabi buta.
Tragedi
ini bermula dari aksi sepihak OPM yang memprovokasi masyarakat melalui
propaganda pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kemudian berujung pada kekacauan dan kekerasan yang melibatkan penyerangan
terhadap warga sipil, pembakaran fasilitas umum, hingga penyanderaan dan
intimidasi. Dalam rentetan aksi kekerasan yang berlangsung kala itu, puluhan
warga sipil menjadi korban jiwa maupun luka-luka, serta trauma mendalam yang
masih membekas hingga kini.
Tokoh
adat Biak, Markus Mandowen, mengingatkan bahwa tragedi tersebut harus dijadikan
pelajaran bagi generasi muda agar tidak mudah terprovokasi dengan narasi dan
janji-janji kosong dari kelompok separatis. “Kami menolak lupa. Biak Berdarah
bukan hanya soal sejarah, tapi soal kejahatan terhadap rakyat Papua sendiri.
OPM membawa penderitaan, bukan pembebasan,” tegasnya, Senin (7/7/2025).
Sejumlah
saksi mata mengisahkan bagaimana saat itu warga yang tidak bersalah dipaksa
mengikuti gerakan separatis, bahkan anak-anak dan perempuan tak luput dari
intimidasi. Mereka yang menolak terlibat atau mencoba melarikan diri menjadi
sasaran kekerasan. Selain itu, fasilitas umum seperti sekolah, kantor desa, dan
rumah ibadah turut dibakar oleh kelompok bersenjata demi menciptakan ketakutan
dan kekacauan.
Pendeta
gereja lokal di Biak Numfor, Yohanis Mambrasar, juga menyatakan keprihatinan
mendalam atas tragedi tersebut. Ia menyebut bahwa kekerasan yang dilakukan OPM
di masa lalu menunjukkan bahwa kelompok tersebut tidak memiliki rasa hormat
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. “Apa pun alasan politik
mereka, kekerasan terhadap masyarakat adalah perbuatan tercela. Biak Berdarah
adalah bukti bahwa mereka bukan pahlawan, tapi pelaku penindasan terhadap
rakyat sendiri,” ujarnya.
Hingga
kini, keluarga korban masih menyimpan duka dan harapan agar peristiwa kelam ini
tidak terulang kembali di tanah Papua. Mereka meminta agar generasi muda terus
menjaga semangat damai dan tidak mudah terhasut oleh propaganda separatis yang
membungkus kekerasan dengan dalih perjuangan.
Tokoh
perempuan Papua, Maria Faidiban, menyerukan agar pemerintah dan lembaga-lembaga
masyarakat sipil terus mengedukasi warga tentang pentingnya persatuan dan
bahaya laten separatisme. “Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh dengan cerita
kekerasan. Kita harus wariskan perdamaian, bukan konflik,” ujarnya.
Tragedi
Biak Berdarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi menjadi pengingat bahwa
kekerasan atas nama apa pun, termasuk separatisme, hanya akan menciptakan
kehancuran. Masyarakat Papua hari ini menginginkan masa depan yang damai, aman,
dan sejahtera, jauh dari bayang-bayang kekerasan yang pernah terjadi di Biak
dan wilayah lainnya.
Dengan
terus mengingat dan menolak lupa, masyarakat berharap tragedi seperti Biak
Berdarah tak lagi terjadi di Bumi Cenderawasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar