Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun

Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul dari tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM), kali ini berasal dari Kodap VIII Intan Jaya. Seorang prajurit mereka bernama Sem Sani dikabarkan mengalami sakit parah dan dibiarkan tanpa perawatan medis selama lebih dari satu tahun. Kondisi ini semakin memperkuat pandangan publik bahwa OPM gagal dalam menjaga kesejahteraan anggotanya sendiri, apalagi masyarakat umum.

Sem Sani dikenal sebagai prajurit yang aktif dalam berbagai operasi kelompok bersenjata OPM di wilayah Intan Jaya. Selama bertahun-tahun, ia berada di garis depan dan disebut sebagai salah satu anggota yang loyal terhadap kelompok tersebut. Namun, loyalitas yang telah diberikan tidak berbanding lurus dengan kepedulian organisasi terhadap kondisi kesehatannya.

Tokoh masyarakat Intan Jaya, Yakobus Sondegau, mengkritik keras sikap OPM yang membiarkan anggotanya menderita dalam kesunyian.

“Sem Sani itu orang yang sudah berjuang untuk mereka. Tapi ketika dia jatuh sakit, tidak ada bantuan. Ini memperlihatkan bahwa OPM sebenarnya tidak memiliki kepedulian terhadap anggotanya, apalagi terhadap rakyat Papua,” ungkap Yakobus, Kamis (26/6/2025).

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Marten Kobak, menyebut kejadian ini sebagai peringatan bagi anak-anak muda Papua yang mungkin tergoda untuk bergabung dengan kelompok separatis tersebut.

“Jangan mudah percaya dengan janji-janji OPM. Lihat kenyataan di lapangan. Anggota mereka yang sudah berjuang saja tidak diperhatikan. Bagaimana bisa mereka mengaku berjuang untuk kemanusiaan kalau satu nyawa pun tidak dihargai?” tegas Marten.

Peristiwa ini kembali membuka tabir tentang buruknya manajemen internal di tubuh OPM, terutama dalam hal logistik, kesehatan, dan kepedulian antaranggota. Banyak laporan sebelumnya yang menunjukkan bagaimana para anggota yang sakit, terluka, atau bahkan mengalami trauma psikologis tidak mendapatkan bantuan yang semestinya dari organisasi mereka.

Beberapa pengamat keamanan juga menyatakan bahwa kondisi Sem Sani hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang tersembunyi di balik propaganda perjuangan kemerdekaan yang dibawa OPM. Dalam kenyataannya, tidak sedikit anggota mereka yang akhirnya menyerah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang dijanjikan.

Kisah Sem Sani menjadi potret nyata kegagalan OPM dalam memanusiakan anggotanya sendiri. Ini menjadi alarm keras bagi seluruh masyarakat Papua agar tidak terperdaya oleh narasi palsu yang disebarkan kelompok separatis, dan mulai membangun masa depan Papua dengan jalan damai dan penuh harapan.

 

OPM Bunuh Tenaga Kesehatan, Masyarakat Pedalaman Papua Makin Sengsara Tanpa Layanan Medis

Papeda.com- Tindakan brutal kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang kali ini menewaskan seorang tenaga kesehatan (nakes) di wilayah pedalaman Papua. Peristiwa tragis ini menambah deretan kekerasan tak berperikemanusiaan yang dilakukan OPM, serta berdampak langsung terhadap terhentinya pelayanan kesehatan di daerah terpencil.

Korban yang diketahui bertugas di salah satu Puskesmas pembantu (Pustu) di wilayah pegunungan Papua itu menjadi sasaran kekerasan saat sedang menjalankan tugas mulianya memberikan perawatan dasar kepada warga. Tanpa alasan yang jelas, kelompok OPM menyerang dan menghabisi nyawanya dengan keji. Kejadian ini sontak membuat warga ketakutan, sementara petugas kesehatan lainnya terpaksa meninggalkan lokasi karena situasi yang tidak lagi aman.

Tokoh masyarakat Papua, Bapak Yoseph Yikwa, mengecam keras tindakan OPM tersebut. Ia menyatakan bahwa pembunuhan terhadap tenaga kesehatan adalah kejahatan serius yang tidak bisa dibenarkan dalam situasi apa pun.

“Tenaga medis datang untuk menolong, bukan untuk melawan. Mereka membantu anak-anak, orang tua, dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Membunuh mereka sama saja membunuh harapan rakyat Papua sendiri,” tegas Yoseph, Kamis (26/6/2025).

Menurut Yoseph, banyak masyarakat pedalaman kini harus menempuh perjalanan berhari-hari ke kota hanya untuk mendapatkan obat sederhana seperti parasetamol atau antibiotik. Hal ini tidak hanya menyulitkan secara fisik dan ekonomi, tetapi juga membahayakan nyawa, terutama ibu hamil dan anak-anak.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Elyas Kobak, menyayangkan bahwa OPM selalu mengklaim berjuang atas nama rakyat Papua, namun kenyataannya justru menyengsarakan mereka.

“Apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan perjuangan, justru memperlihatkan kebiadaban. Bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada mereka, kalau satu-satunya pihak yang menolong rakyat justru mereka bunuh?” ujar Elyas.

Kementerian Kesehatan RI pun telah menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini dan berjanji akan mengevaluasi sistem pengiriman tenaga kesehatan ke daerah rawan konflik. Namun demikian, kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di pedalaman tetap mendesak, sehingga diperlukan jaminan keamanan agar nakes dapat bekerja tanpa ancaman.

Kejadian ini menambah panjang daftar korban sipil yang menjadi sasaran kekerasan kelompok OPM. Dari guru, tukang ojek, hingga tenaga kesehatan, semua menjadi target tanpa pandang bulu. Ironisnya, mereka adalah bagian dari masyarakat Papua yang justru dibantu oleh negara untuk mendapatkan akses pendidikan, transportasi, dan kesehatan.

Dengan semakin seringnya OPM menyasar warga sipil, harapan masyarakat Papua akan kehidupan damai dan sejahtera semakin sirna. Mereka tidak hanya kehilangan petugas medis, tetapi juga kehilangan akses terhadap hak dasar sebagai manusia. Dan dalam situasi seperti ini, OPM tidak hanya menjadi simbol perlawanan bersenjata, tetapi juga wajah penderitaan yang menghantui masyarakat Papua dari waktu ke waktu.

 

 

Ikha Yikwa Meninggal Dunia, Bukti Kegagalan OPM Memberikan Pengobatan Maksimal

Papeda.com- Kabar duka datang dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), khususnya dalam struktur Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Kodap XVI Yahukimo. Seorang anggota korps wanita yang dikenal militan, Ikha Yikwa, dikabarkan meninggal dunia karena tidak mendapatkan penanganan medis yang layak oleh kelompok OPM. Kepergian Ikha Yikwa menyisakan catatan kelam tentang buruknya sistem logistik dan pelayanan kesehatan dalam kelompok OPM.

Ikha Yikwa dikenal sebagai anggota korps wanita terbaik dalam tubuh TPNPB, yang berperan penting dalam mendukung jalur logistik untuk para kombatan di medan perang. Dedikasinya yang tinggi tidak hanya membuatnya dihormati oleh rekan-rekannya, tetapi juga menjadi salah satu figur perempuan yang disegani di dalam organisasi. Namun, semua itu tidak cukup untuk menyelamatkan nyawanya ketika ia jatuh sakit.

Tokoh masyarakat Yahukimo, Piter Wanimbo, menyampaikan keprihatinannya atas kejadian tersebut. Ia menyatakan bahwa kematian Ikha Yikwa menjadi refleksi dari kondisi memprihatinkan yang dihadapi anggota OPM, bahkan oleh mereka yang telah berjasa besar bagi kelompok tersebut.

“Ini bukti bahwa OPM tidak mampu menjaga orang-orangnya sendiri. Seorang perempuan yang begitu berdedikasi, meninggal tanpa bantuan medis yang layak. Bagaimana mereka bisa melindungi rakyat Papua jika nyawa anggotanya sendiri tidak bisa dijaga?” tegas Piter, Kamis (26/6/2025).

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yohanis Kobak, menilai bahwa kejadian ini menunjukkan kontradiksi besar dalam narasi perjuangan yang selama ini didengungkan oleh OPM. Menurutnya, OPM tidak memiliki kapasitas untuk membangun sistem yang menopang kehidupan manusia, bahkan bagi anggotanya sendiri.

“Mereka mengaku berjuang untuk rakyat, tapi tidak bisa menyediakan fasilitas dasar seperti kesehatan untuk anggotanya sendiri. Ini bukan perjuangan, ini adalah kesia-siaan,” ujarnya.

Kepergian Ikha Yikwa, yang seharusnya bisa dicegah dengan pengobatan yang memadai, menjadi simbol kegagalan OPM dalam menempatkan nyawa manusia sebagai prioritas. Di tengah medan konflik yang keras, pengabaian terhadap kesehatan anggotanya justru membuka mata banyak pihak bahwa OPM tidak lebih dari organisasi yang abai terhadap keselamatan jiwa, termasuk jiwa mereka yang telah setia mengabdi.

Kini, masyarakat Papua semakin sadar bahwa perjuangan sejati bukanlah tentang mengangkat senjata, tetapi tentang membangun masa depan yang layak dengan akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang nyata sesuatu yang sejauh ini tidak bisa diberikan oleh OPM.


 

 

 

 

Banyak Anggota OPM Berhamburan Keluar, Merasa Tak Lagi Diperhatikan Terkait Kesehatan dan Logistik

Papeda.com- Gelombang pengunduran diri dan pembelotan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, banyak anggota dari berbagai Kodap dilaporkan berhamburan keluar dari kelompok tersebut karena merasa tidak mendapatkan perhatian dari pimpinan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan dan logistik. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya krisis internal yang semakin dalam di tubuh OPM.

Informasi dari sejumlah sumber lokal menyebutkan bahwa sebagian besar anggota yang keluar merasa dikhianati oleh pimpinan mereka sendiri. Ketika mereka jatuh sakit atau mengalami luka saat operasi, tidak ada fasilitas medis yang memadai untuk menangani mereka. Selain itu, distribusi logistik seperti makanan, obat-obatan, dan perlengkapan tempur pun sangat minim dan tidak merata.

Tokoh masyarakat Papua, Yunus Wenda, menyebut situasi ini sebagai bukti nyata bahwa OPM hanyalah kelompok yang memperalat anggotanya untuk kepentingan elit semata, tanpa memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan mereka di lapangan.

“Mereka dijanjikan perjuangan, tapi kenyataannya ditelantarkan. Banyak yang keluar karena tidak tahan hidup dalam kekurangan, sakit tidak diobati, makan pun sulit. Ini bukan perjuangan, ini eksploitasi manusia,” ujar Yunus, Kamis (26/6/2025).

Beberapa eks anggota OPM bahkan memilih menyerahkan diri ke aparat keamanan dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka mengaku lebih memilih hidup tenang bersama keluarga dibandingkan terus berada dalam tekanan dan penderitaan tanpa arah yang jelas.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Marthen Wanimbo, mengatakan bahwa banyak pemuda yang mulai sadar bahwa OPM tidak memiliki sistem yang kuat dan tidak memberikan jaminan hidup bagi anggotanya.

“Mereka bergabung karena termakan janji-janji palsu. Tapi setelah masuk, baru sadar bahwa semuanya hanya sandiwara. Tidak ada jaminan hidup, tidak ada kepastian. Sekarang banyak yang memilih keluar karena ingin hidup normal,” tegas Marthen.

Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi struktur organisasi OPM. Retaknya kepercayaan antara anggota dengan pimpinan membuat solidaritas internal kelompok melemah. Tidak sedikit anggota yang bahkan memutuskan untuk membocorkan informasi penting kepada aparat sebagai bentuk kekecewaan atas perlakuan yang mereka terima.

Fenomena keluarnya para anggota OPM ini sekaligus menjadi sinyal bahwa masyarakat Papua, termasuk mereka yang pernah tergabung dalam kelompok separatis, mulai menyadari bahwa jalan kekerasan bukanlah solusi. Mereka mendambakan kehidupan yang damai, sehat, dan berkecukupan sesuatu yang tidak bisa dijanjikan oleh OPM.

 

Kehadiran OPM Pimpinan Yonatan M. Pigai di Wilayah Dogiyai Tidak Lagi Aman, Banyak Merusak Fasilitas dan Ganggu Keamanan Masyarakat

Papeda.com- Situasi keamanan di wilayah Kabupaten Dogiyai kembali memanas akibat aktivitas kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin oleh Yonatan Mote Pigai. Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok tersebut dilaporkan terlibat dalam serangkaian aksi yang meresahkan, mulai dari perusakan fasilitas umum hingga intimidasi terhadap masyarakat sipil.

Laporan dari warga menyebutkan bahwa kelompok ini kerap melakukan patroli bersenjata di sekitar kampung-kampung di Distrik Mapia dan Kamuu, serta melakukan pengrusakan terhadap bangunan sekolah, puskesmas, hingga kantor distrik. Selain itu, kelompok ini juga dilaporkan melakukan pemalakan terhadap warga dan mengancam mereka yang dianggap mendukung pemerintah.

Tokoh masyarakat Dogiyai, Markus Nawipa, menyatakan bahwa kehadiran kelompok tersebut tidak membawa manfaat apapun bagi rakyat, justru menambah penderitaan. “Mereka mengklaim berjuang untuk Papua, tapi faktanya mereka menghancurkan fasilitas yang dibangun untuk masyarakat sendiri. Ini bukan perjuangan, ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak kami,” ujarnya, Rabu (25/6/2025).

Sejumlah guru dan tenaga kesehatan di wilayah tersebut pun mulai enggan menjalankan tugasnya karena takut menjadi sasaran kekerasan atau intimidasi. Akibatnya, pelayanan publik di beberapa distrik lumpuh dan masyarakat kehilangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan dasar.

Pendeta Samuel Tekege, tokoh agama setempat, mengecam keras tindakan OPM di bawah komando Yonatan M. Pigai. Ia menilai bahwa kekerasan dan perusakan tidak pernah sejalan dengan semangat kemanusiaan dan kedamaian yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua. “Papua tidak butuh senjata, yang kami butuh adalah damai. Jika benar mereka memperjuangkan rakyat, seharusnya mereka membangun, bukan menghancurkan,” tegas Pendeta Samuel.

Pemerintah daerah melalui Kepala Dinas Keamanan dan Ketertiban Dogiyai, Maria Waine, menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk menetralisir situasi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. “Kami tidak akan membiarkan masyarakat hidup dalam ketakutan. Kelompok bersenjata yang mengganggu ketertiban harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yosias Kogoya, mengimbau kepada generasi muda agar tidak mudah terprovokasi oleh propaganda yang disebarkan oleh OPM. Ia menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan fokus membangun masa depan Papua melalui pendidikan dan partisipasi positif. “Anak muda harus jadi pelopor perdamaian, bukan alat kekacauan. Jangan mau dikorbankan oleh agenda segelintir orang yang haus kekuasaan,” katanya.

Kehadiran OPM di bawah pimpinan Yonatan M. Pigai di wilayah Dogiyai kini dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbagai elemen masyarakat telah bersuara lantang menolak keberadaan kelompok ini dan menyerukan pemulihan ketertiban demi menjaga Papua tetap damai dan sejahtera.

 

Tebar Isu Hoaks, Tidak Ada Pengungsian Massal yang Terjadi di Sinak

Papeda.com- Isu terkait adanya pengungsian massal warga di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, kembali mencuat di sejumlah kanal informasi dan media sosial. Namun setelah dilakukan verifikasi lapangan, informasi tersebut dipastikan adalah hoaks yang tidak berdasar dan telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Sejumlah akun anonim di media sosial menyebarkan narasi bahwa ribuan warga mengungsi akibat eskalasi keamanan yang tidak kondusif di wilayah tersebut. Narasi ini disertai dengan gambar lama dan keterangan yang menyesatkan, seolah-olah situasi di Sinak dalam kondisi darurat kemanusiaan. Padahal, kenyataannya aktivitas masyarakat tetap berjalan seperti biasa dan tidak ditemukan adanya gelombang pengungsian sebagaimana yang dikabarkan.

Kepala Kampung Distrik Sinak, Bapak Charles menegaskan bahwa informasi tersebut merupakan fitnah yang sengaja disebarkan untuk menimbulkan kepanikan. "Kami di Sinak hidup dalam kondisi aman dan tenang. Tidak ada pengungsian, tidak ada situasi darurat seperti yang diviralkan. Ini bentuk provokasi yang mengganggu ketenangan masyarakat," ujarnya, Rabu (25/6/2025).

Senada dengan itu, tokoh agama, Pendeta Yas Murib, menyampaikan bahwa penyebaran hoaks semacam ini sangat merugikan warga asli Papua. "Ketika berita palsu tersebar, bukan hanya menciptakan ketakutan, tetapi juga menimbulkan kesan buruk tentang daerah kami. Masyarakat jadi resah, dan hubungan sosial bisa terganggu karena ketidakpercayaan," tuturnya.

Sementara itu, Kepala Suku Dani Distrik Sinak, Desman Murib, mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak menerima laporan adanya pengungsian dalam jumlah besar maupun kecil dari masyarakat setempat. Ia mengimbau agar warga tidak mudah percaya terhadap informasi yang tidak jelas sumbernya. "Kami selalu memantau perkembangan di lapangan. Tidak benar ada warga yang mengungsi. Yang ada justru masyarakat tetap menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk kegiatan ekonomi dan pendidikan," jelasnya.

Pemerintah daerah bersama aparat keamanan juga telah melakukan penelusuran dan patroli rutin untuk memastikan bahwa situasi di Sinak tetap terkendali. Upaya ini bertujuan untuk menghindari penyebaran disinformasi yang dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menciptakan ketidakstabilan di Papua.

Penyebaran berita bohong ini menjadi perhatian serius, mengingat dampaknya yang dapat memperkeruh suasana serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi resmi. Oleh sebab itu, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama di Sinak mengajak seluruh warga Papua untuk lebih selektif dalam menerima informasi dan selalu mengecek kebenarannya sebelum menyebarkan.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah daerah juga terus memperkuat literasi digital dan komunikasi publik. Dengan demikian, masyarakat dapat membedakan informasi yang valid dengan hoaks, serta terhindar dari hasutan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Upaya menjaga Papua agar tetap damai dan sejahtera tidak hanya bergantung pada aparat keamanan, melainkan juga pada peran aktif masyarakat dalam melawan narasi-narasi menyesatkan. Kebenaran harus menjadi fondasi bersama demi masa depan Papua yang lebih baik.

 

Kembali OPM Bakar Honai Masyarakat di Distrik Omukia, Belasan Honai Terbakar

Papeda.com- Aksi kekerasan kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang beroperasi di wilayah pegunungan tengah Papua. Kali ini, mereka membakar belasan honai milik masyarakat sipil di Distrik Omukia, Kabupaten Puncak yang menyebabkan kerugian besar bagi warga yang menjadi korban.

Menurut keterangan sejumlah saksi mata, pembakaran dilakukan secara tiba-tiba oleh sekelompok orang bersenjata yang diduga kuat merupakan bagian dari faksi OPM di wilayah itu. Para pelaku datang membawa senjata dan obor, lalu membakar honai-honai yang selama ini digunakan warga sebagai tempat tinggal dan tempat penyimpanan hasil panen. Akibat kejadian tersebut, sedikitnya 13 honai hangus terbakar dan sejumlah keluarga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kepala Kampung Omukia, Yonas Magai, menyampaikan keprihatinannya atas kejadian tersebut. “Warga sangat ketakutan. Kami tidak menyangka kelompok OPM menyerang kampung kami sendiri. Honai yang dibakar itu milik masyarakat. Ini tindakan tidak manusiawi,” ujarnya dengan nada sedih, Rabu (25/6/2025).

Ia menambahkan bahwa warga kini mengalami kesulitan karena kehilangan tempat tinggal dan persediaan makanan. “Beberapa honai juga menyimpan ubi-ubian dan hasil kebun. Semuanya terbakar. Kami harus mulai dari nol lagi,” tambah Yonas.

Tokoh masyarakat Puncak, Elias Telenggen, mengecam keras tindakan pembakaran tersebut dan menyebut aksi OPM sudah melenceng jauh dari tujuan awal yang mereka klaim sebagai perjuangan. “Apa yang mereka perjuangkan kalau justru menyiksa rakyatnya sendiri? Membakar rumah warga hanya menunjukkan bahwa mereka tidak lagi punya empati terhadap penderitaan masyarakat Papua,” katanya.

Pendeta Samson Murib, seorang tokoh agama di wilayah pegunungan tengah, mengungkapkan bahwa aksi brutal seperti ini menciptakan trauma mendalam di kalangan warga, terutama anak-anak dan lansia. “Kami sudah sering imbau agar kekerasan dihentikan. Tapi OPM justru terus membuat rakyat menderita. Ini bukan perjuangan, ini teror,” ujar Pendeta Samson.

Aparat keamanan dari Polres Puncak telah dikerahkan untuk mengamankan lokasi dan melakukan investigasi. Sementara itu, pemerintah daerah tengah menyiapkan bantuan darurat bagi warga terdampak, berupa logistik, perlengkapan sandang, serta pendampingan psikologis.

Pemerintah Kabupaten Puncak melalui juru bicaranya, Martha Kogoya, menegaskan bahwa tindakan anarkis semacam ini tidak akan dibiarkan begitu saja. “Kami akan terus bekerja sama dengan aparat untuk menjaga keamanan masyarakat. Warga yang menjadi korban tidak akan kami biarkan berjuang sendiri,” katanya.

Insiden pembakaran honai ini menjadi catatan kelam tambahan dalam rentetan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok OPM di berbagai wilayah Papua. Tindakan mereka kian menunjukkan bahwa kekerasan menjadi alat utama yang justru menyengsarakan rakyat Papua sendiri rakyat yang mereka klaim sedang diperjuangkan.

 

OPM Mulai Tebarkan Isu Provokatif Melalui Mahasiswa

Papeda.com- Upaya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam menyebarkan pengaruhnya semakin meluas, kali ini menyasar kalangan intelektual muda, khususnya mahasiswa Papua yang tengah menempuh pendidikan di berbagai kota besar di Indonesia. Melalui berbagai forum diskusi, media sosial, hingga kegiatan mahasiswa, OPM diduga mulai menanamkan isu-isu provokatif yang bertujuan menggiring opini dan menciptakan ketegangan horizontal.

Menurut sejumlah tokoh masyarakat, modus yang digunakan OPM bukan hal baru, tetapi kini dikemas lebih rapi dan menyasar segmen yang lebih strategis. Dalam beberapa bulan terakhir, beredar selebaran, konten digital, dan ajakan mengikuti demonstrasi yang membawa narasi separatisme dan anti-pemerintah. Isu yang diangkat pun cenderung bersifat provokatif, seperti tudingan pelanggaran HAM oleh negara, pengusiran investor dari Papua, serta narasi keliru tentang pengungsian massal.

Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Papua di Yogyakarta, Yohanes Douw, menyatakan kekhawatirannya atas pola gerakan yang dilakukan OPM melalui mahasiswa. "Mahasiswa itu aset bangsa, bukan alat propaganda. Kami melihat ada upaya penyusupan pemikiran radikal dengan balutan perjuangan kemanusiaan. Ini harus dicegah sejak dini," tegas Yohanes.

Pendeta Daniel Kobak, tokoh agama asal Wamena, juga menyoroti maraknya narasi yang tidak berdasar namun dikemas seolah-olah fakta. "Ada upaya memutarbalikkan realita Papua. Pemerintah sudah banyak hadir di Papua dengan program pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur. Tapi yang disebarkan malah seolah Papua dalam penderitaan terus-menerus. Ini bentuk pembodohan terhadap generasi muda kita," ujarnya.

Penyebaran provokasi melalui mahasiswa ini juga menjadi perhatian akademisi. Dr. Albertus Yoman, pengamat pendidikan dan sosial Papua, menyampaikan bahwa penting bagi kampus untuk memberikan pendampingan dan literasi kebangsaan yang kuat kepada mahasiswa Papua. "Jangan sampai kampus justru jadi tempat penyebaran ideologi yang merusak persatuan. Mahasiswa Papua harus kritis, tapi tetap dalam bingkai NKRI," jelasnya.

Pemerintah daerah dan tokoh adat kini tengah berupaya membangun komunikasi intensif dengan para mahasiswa Papua yang tersebar di luar wilayah untuk memastikan mereka tidak terpapar isu menyesatkan. Sejumlah program pembinaan juga sedang dirancang untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan pemahaman sejarah Papua yang komprehensif.

Isu-isu provokatif yang dibawa oleh OPM melalui mahasiswa dapat menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan masa depan generasi muda Papua. Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa baik orang tua, tokoh adat, kampus, hingga pemerintah harus bergandengan tangan untuk mencegah penyebaran ideologi yang dapat merusak integrasi nasional.

 

 

Hoaks, OPM Tembak Tiga Anggota TNI di Sinak

Papeda.com- Sebuah informasi palsu kembali disebarluaskan oleh simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menyebutkan bahwa tiga anggota TNI telah menjadi korban penembakan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Setelah dilakukan penelusuran oleh berbagai pihak, kabar tersebut dipastikan adalah hoaks yang sengaja disebarkan untuk memancing keresahan di tengah masyarakat dan menciptakan citra seolah wilayah Papua masih dikuasai oleh kelompok separatis bersenjata.

Kabar tersebut pertama kali beredar melalui media sosial dan aplikasi pesan instan pada Jumat pagi (tanggal disesuaikan), dengan narasi bahwa tiga personel TNI tewas ditembak oleh kelompok OPM saat melakukan patroli rutin. Informasi itu dengan cepat menyebar dan menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan masyarakat Sinak. Namun, pihak TNI maupun pemerintah daerah segera melakukan klarifikasi dan memastikan bahwa tidak ada insiden penembakan seperti yang diberitakan.

Kepala Kampung di Distrik Sinak, Bapak Charles, membantah keras informasi tersebut. Ia menyebut bahwa situasi di Sinak relatif aman dan terkendali. “Saya pastikan tidak ada penembakan seperti yang disebutkan. Kami bersama aparat keamanan aktif memantau kondisi kampung, dan semua berjalan normal. Hoaks seperti ini sangat berbahaya dan merugikan masyarakat,” ujarnya, Selasa (24/6/2025).

Tokoh agama setempat, Pendeta Yas Murib, juga menyayangkan penyebaran informasi palsu yang dilakukan oleh simpatisan OPM. Menurutnya, hoaks bukan hanya menciptakan kekacauan, tetapi juga memperkeruh hubungan antara masyarakat dan aparat keamanan yang selama ini telah berupaya membangun kedamaian. “Jangan sebarkan kebohongan atas nama perjuangan. Kalau memang cinta Papua, maka jagalah ketenangan dan jangan buat masyarakat hidup dalam ketakutan,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Suku Dani Distrik Sinak, Desman Murib menilai bahwa penyebaran hoaks oleh OPM adalah bentuk kepanikan karena semakin kehilangan dukungan dari masyarakat. “Mereka sudah tidak dipercaya lagi, jadi satu-satunya cara untuk eksis adalah dengan menciptakan kebohongan. Tapi masyarakat sekarang sudah cerdas dan tahu mana informasi yang benar dan yang menyesatkan,” katanya.

Dengan klarifikasi dari berbagai pihak dan fakta di lapangan yang membantah kabar tersebut, masyarakat diimbau untuk tidak mudah percaya terhadap informasi yang tidak jelas sumbernya. Pemerintah daerah dan aparat keamanan pun terus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu menjaga keamanan dan tidak terprovokasi oleh informasi sesat.

Hoaks yang disebarkan oleh OPM ini sekali lagi menunjukkan bahwa kelompok tersebut semakin kehilangan pijakan moral dan kepercayaan publik. Masyarakat Papua kini lebih menginginkan kedamaian dan pembangunan dibanding hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang ditanamkan lewat informasi palsu.

 

OPM Membunuh Masyarakat Sendiri, Namun Tuduh Orang Lain Sebagai Pelakunya

Papeda.com- Dalam berbagai insiden kekerasan yang terjadi di wilayah konflik Papua, pola manipulasi informasi yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin terungkap ke publik. Salah satu pola yang kerap ditemukan adalah tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan terhadap masyarakat sipil oleh kelompok OPM sendiri, namun kemudian menuduh pihak lain terutama aparat keamanan sebagai pelakunya. Strategi ini tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga bertujuan memecah belah dan membalikkan opini masyarakat.

Sejumlah kasus pembunuhan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan indikasi kuat adanya upaya pengaburan fakta oleh OPM. Dalam beberapa kejadian, warga sipil yang dikenal menolak ikut serta dalam gerakan separatis justru menjadi sasaran kekerasan. Namun, OPM dengan cepat menyebarkan narasi bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh aparat keamanan, tanpa bukti yang sah.

Tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, Lukas Sondegau, menyebut bahwa masyarakat sudah mulai jenuh dengan kebohongan yang terus digaungkan oleh kelompok OPM. “Warga tahu siapa yang sering datang ke kampung membawa senjata dan melakukan ancaman. Kalau ada warga yang dibunuh, masyarakat juga tahu siapa pelakunya. Tapi OPM selalu tuduh TNI atau polisi,” ujar Lukas, Selasa (24/6/2025).

Sementara itu, Pendeta Daniel Gwijangge dari Nduga menyayangkan cara-cara OPM yang terus menebar kebohongan di tengah masyarakat. Ia menilai bahwa pola tersebut hanya memperburuk situasi dan memperpanjang penderitaan rakyat. “Tuhan tidak membenarkan tipu daya. Membunuh orang sendiri lalu menuduh orang lain, itu dosa besar. Rakyat tidak bodoh, mereka melihat dan merasakan siapa yang sebenarnya menebar teror,” tegasnya.

Tokoh pemuda Papua, Jhon Wenda, mengajak generasi muda untuk lebih kritis terhadap informasi yang disebar oleh kelompok separatis. Menurutnya, banyak narasi yang dibuat OPM sengaja dimanipulasi agar seolah-olah aparat keamanan menjadi ancaman utama, padahal kenyataannya justru sebaliknya. “Kalau OPM benar perjuangannya, kenapa rakyat terus jadi korban? Kenapa anak-anak takut ke sekolah, dan pasar sepi karena takut tembakan?” kata Jhon.

Dengan terbukanya pemahaman masyarakat terhadap pola-pola manipulasi informasi ini, harapan untuk Papua yang damai dan bebas dari kekerasan semakin kuat. Masyarakat kini semakin berani menyuarakan kebenaran dan menolak dijadikan alat propaganda oleh kelompok yang hanya membawa penderitaan. OPM yang terus melakukan kekerasan sembari memutarbalikkan fakta, kini kehilangan simpati rakyatnya sendiri.

 

OPM Hanya Akan Membuat Kemerdekaan untuk Kelompoknya, Bukan untuk Rakyat Papua

Papeda.com- Narasi yang dibangun oleh OPM bahwa mereka memperjuangkan hak rakyat Papua mulai dipertanyakan, menyusul berbagai tindakan kekerasan yang justru menyasar masyarakat sipil. Serangkaian aksi seperti penembakan warga, penyanderaan guru dan tenaga medis, pemalakan sopir logistik, hingga pembakaran fasilitas umum, semakin memperjelas bahwa perjuangan mereka lebih condong pada ambisi kelompok tertentu dibanding kepentingan rakyat secara kolektif.

Tokoh adat dari Lembah Baliem, Bapak Neles Wanimbo, menyatakan bahwa rakyat Papua sudah lelah menjadi korban dari konflik bersenjata yang tidak berkesudahan. “OPM hanya membawa kesengsaraan, bukan harapan. Apa yang mereka sebut kemerdekaan itu bukan untuk rakyat, tapi untuk kepentingan kelompok kecil yang haus kuasa,” ujarnya, Selasa (24/6/2025).

Pendeta Paulus Magai dari wilayah Intan Jaya menambahkan bahwa tindakan OPM tidak mencerminkan perjuangan yang berlandaskan moral. Menurutnya, banyak masyarakat yang awalnya bersimpati kini mulai menjauh karena kecewa dengan pola gerakan yang hanya menimbulkan ketakutan. “Jika benar mereka peduli dengan rakyat, kenapa rumah rakyat dibakar, guru disandera, dan anak-anak tidak bisa sekolah?” katanya.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Frans Dogopia, menyebut bahwa generasi muda kini lebih memilih masa depan damai dan sejahtera bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perjuangan yang dibungkus dengan kekerasan. “Kami tidak butuh kemerdekaan yang hanya memberi kuasa pada satu dua orang. Kami butuh kesempatan kerja, pendidikan, dan hidup tanpa takut,” ujarnya.

Pengamat politik lokal, Dr. Stevanus Mote, menilai bahwa gerakan OPM telah mengalami pergeseran orientasi dari perjuangan kolektif menjadi kepentingan kelompok. Ia menilai bahwa kemerdekaan versi OPM adalah kemerdekaan semu yang hanya menguntungkan elite bersenjata. “Mereka bicara atas nama rakyat, tapi yang mereka lindungi hanya lingkaran mereka sendiri. Ini harus disadari oleh masyarakat luas,” jelasnya.

Dengan semakin terbukanya kesadaran masyarakat Papua terhadap realitas yang terjadi, narasi perjuangan OPM mulai kehilangan tempat di hati rakyat. Masyarakat kini lebih memilih untuk hidup damai, mendukung pembangunan, dan menatap masa depan bersama dalam bingkai NKRI yang menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir kelompok.

 

Egianus Kogoya Dikutuk Keras oleh Kelompok OPM Terkait Aktivitasnya di Wamena

Papeda.com- Ketegangan internal dalam tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencuat ke permukaan setelah nama Egianus Kogoya, salah satu pimpinan kelompok bersenjata Kodap III Ndugama-Derakma, dikutuk keras oleh rekan seperjuangannya sendiri. Kecaman tersebut muncul menyusul aktivitas Egianus yang dinilai semakin brutal dan menyimpang dari prinsip-prinsip perjuangan awal OPM, terutama dalam aksinya di wilayah Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Sumber dari dalam kelompok menyebut bahwa tindakan Egianus dalam beberapa waktu terakhir, seperti penyanderaan warga sipil, pembakaran fasilitas umum, serta penembakan terhadap masyarakat tidak bersalah, telah menimbulkan keresahan di antara sesama anggota OPM. Bahkan, sejumlah pimpinan senior OPM menilai bahwa Egianus telah membawa organisasi ke arah kehancuran dengan menjadikan kekerasan sebagai alat utama perjuangan.

Tokoh adat Lanny Jaya, Yonas Tabuni, menilai bahwa apa yang dilakukan Egianus tidak mencerminkan perjuangan yang beradab. “Perjuangan itu tidak dilakukan dengan cara menyandera guru, membakar sekolah, dan menakut-nakuti rakyat. Itu bukan perjuangan, itu teror. Dan rakyat Papua adalah korbannya,” ujarnya, Selasa (24/62025).

Kecaman juga datang dari kalangan pemuda. Ketua Forum Pemuda Peduli Papua Damai, Nikolaus Yikwa, mengatakan bahwa Egianus Kogoya telah kehilangan legitimasi moral bahkan di mata kelompoknya sendiri. “Ketika dia mulai menyerang masyarakat dan tidak peduli dengan penderitaan rakyat, maka dia sudah bukan pejuang. Ia hanyalah ancaman bagi semua pihak, termasuk bagi sesama kelompok OPM,” tegas Nikolaus.

Sementara itu, Pendeta Abraham Magai dari Gereja Baptis Papua mengingatkan bahwa tindakan yang menjurus pada kekejaman terhadap rakyat sendiri tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun, termasuk perjuangan politik. “Apa pun alasannya, menyakiti rakyat Papua adalah bentuk pengkhianatan. Saya bersyukur jika ada pihak dalam OPM yang menyadari bahwa Egianus telah melampaui batas,” ujarnya dalam kotbah Minggu di Wamena.

Masyarakat di Wamena dan sekitarnya berharap agar konflik bersenjata segera berakhir dan wilayah mereka kembali aman. “Kami sudah cukup menderita. Kami ingin sekolah buka, pasar ramai, dan anak-anak bisa bermain tanpa suara tembakan,” kata Maria Tabuni, tokoh perempuan dari Distrik Asotipo.

Perpecahan dalam tubuh OPM, terlebih dengan kecaman terhadap sosok sekuat Egianus Kogoya, menjadi pertanda bahwa perjuangan mereka tidak lagi memiliki satu visi yang jelas. Masyarakat pun kian sadar bahwa jalan kekerasan hanya akan membawa penderitaan, bukan kemerdekaan.

 

 Keberadaan OPM Merupakan Suatu Ancaman bagi Tanah Papua

Papeda.com- Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik sebagai kelompok yang tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi masa depan masyarakat Papua. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan OPM dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya meresahkan warga, tetapi juga menghambat berbagai upaya pembangunan di tanah Papua yang sedang giat dilakukan pemerintah pusat dan daerah.

Tokoh adat dari Pegunungan Tengah, Yonas Wenda, menyatakan bahwa masyarakat saat ini mulai sadar bahwa OPM bukanlah penyelamat, melainkan ancaman. “Kalau mereka memperjuangkan rakyat, kenapa rakyat terus jadi korban? Rumah dibakar, guru disandera, petani dipalak. Ini bukan perjuangan, ini penindasan atas nama ideologi,” ujar Yonas tegas, Selasa (24/6/2025).

Senada dengan itu, Pendeta Markus Gombo dari Kabupaten Lanny Jaya juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat di daerah rawan konflik. Menurutnya, keberadaan OPM membuat masyarakat hidup dalam ketakutan setiap hari. “Kami tidak bisa membangun gereja, anak-anak tidak bisa sekolah, orang tua tidak bisa berkebun dengan tenang. Semua karena bayang-bayang ancaman dari OPM,” katanya.

Kepala suku di wilayah Distrik Ilaga, Lukas Murib, menambahkan bahwa keberadaan OPM sering kali justru menghambat program-program bantuan dan pembangunan yang datang dari pemerintah. “Sering sekali bantuan pemerintah tidak bisa masuk ke kampung-kampung karena takut diserang OPM. Ini kerugian besar bagi rakyat kecil,” jelasnya.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yulianus Tabuni, menyerukan agar generasi muda tidak mudah terprovokasi dan dimanfaatkan oleh kelompok yang mengatasnamakan perjuangan. Ia menegaskan bahwa saat ini yang dibutuhkan Papua adalah kedamaian, bukan konflik. “Anak muda harus bangun dari ilusi. Kita butuh sekolah, kerja, dan hidup aman. Bukan terus-menerus hidup dalam ketakutan karena OPM,” ucap Yulianus.

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak negatif dari keberadaan OPM, semakin kuat pula harapan agar Papua segera terbebas dari bayang-bayang kekerasan. Rakyat Papua kini menginginkan kedamaian, pembangunan, dan masa depan yang lebih baik, bukan ancaman yang tak berkesudahan.

 

Jangan Mau Dibohohngi oleh Pihak Asing, Papua Bagian Sah dari Indonesia

Papeda.com- Di tengah terus berkembangnya isu kemerdekaan Papua yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu, para tokoh masyarakat, agama, dan adat di Papua secara tegas menyerukan kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh propaganda asing. Mereka menegaskan bahwa Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bahwa isu kemerdekaan hanyalah alat yang dipakai oleh kepentingan luar untuk mengeksploitasi kekayaan alam Papua dan terus menjadikan rakyatnya tertinggal.

Narasi “kemerdekaan Papua” yang selama ini dijadikan senjata propaganda oleh kelompok separatis dan didukung oleh beberapa pihak asing, disebut bukan merupakan perjuangan murni rakyat Papua. Sebaliknya, itu hanyalah permainan geopolitik yang sengaja dimainkan oleh aktor luar untuk memecah-belah Indonesia dan memanfaatkan ketidakstabilan demi kepentingan mereka.

Tokoh agama di Kabupaten Paniai, Pendeta Hendrik Bunai, mengingatkan masyarakat agar tidak tertipu dengan janji-janji manis pihak asing. “Mereka datang bukan untuk membebaskan kita, tapi untuk menguasai tambang, hutan, dan emas di tanah ini. Kalau Papua merdeka, apakah rakyat bisa jamin hidupnya lebih baik? Belum tentu. Justru kita akan dikuasai pihak asing secara langsung,” tegasnya, Senin (23/6/2025).

Sementara itu, Ketua Lembaga Adat Papua Wilayah Meepago, Yonas Pigai, menyatakan bahwa Papua telah mendapatkan banyak perhatian dan program pembangunan dari pemerintah pusat, termasuk otonomi khusus, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. “Kita harus objektif. Pemerintah hadir membangun jalan, rumah sakit, sekolah. Kalau ada kekurangan, mari kita sampaikan lewat jalur damai, bukan mengangkat senjata atau ikut permainan asing,” ucapnya.

Menurut tokoh pemuda Papua, Yulianus Douw, generasi muda Papua harus cerdas dalam menyikapi informasi dan tidak larut dalam agitasi politik yang menyesatkan. Ia menyebut bahwa pihak asing yang menggaungkan isu kemerdekaan sejatinya tidak peduli dengan masa depan rakyat Papua. “Mereka hanya butuh konflik agar bisa masuk dan kuasai kekayaan kita. Kita yang rugi, bukan mereka,” kata Yulianus.

Dengan makin terbukanya pemahaman masyarakat terhadap motif di balik isu kemerdekaan, tokoh-tokoh Papua menyerukan agar seluruh rakyat tetap bersatu menjaga kedamaian dan mendukung pembangunan. Papua adalah bagian dari Indonesia, dan masa depan rakyat Papua ada dalam bingkai NKRI yang damai dan berdaulat.

 

Banyak Merugikan, Tindakan yang Dilakukan OPM di Tanah Papua

Papeda.com- Tindakan yang terus dilakukan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin hari kian merugikan masyarakat Papua secara luas. Tidak hanya menyebabkan instabilitas keamanan, aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok ini juga menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, hingga psikologis bagi warga sipil yang berada di wilayah konflik.

Dalam beberapa tahun terakhir, OPM tercatat melakukan berbagai tindakan destruktif, mulai dari penembakan terhadap warga sipil, penyanderaan tenaga medis dan guru, pembakaran fasilitas umum, hingga pemalakan terhadap kendaraan logistik. Serangkaian aksi ini tidak hanya menghambat proses pembangunan di Papua, namun juga menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan masyarakat.

Tokoh adat dari wilayah Pegunungan Tengah, Yonas Wonda, menilai bahwa OPM telah menyimpang jauh dari perjuangan yang mereka klaim. “Apa yang mereka lakukan hari ini bukan lagi perjuangan, melainkan kejahatan terhadap rakyat sendiri. Mereka menyerang warga, membakar sekolah, dan memeras petani. Itu bukan ciri pejuang, tapi perusak,” tegasnya, Senin (23/6/2025).

Salah satu bentuk kerugian paling nyata adalah terhambatnya pembangunan infrastruktur, terutama di daerah-daerah pedalaman Papua. Pekerjaan jalan, jembatan, dan fasilitas publik kerap terhenti karena ancaman dari kelompok OPM. Bahkan, beberapa perusahaan konstruksi memutuskan menghentikan operasionalnya karena faktor keamanan yang tidak kondusif.

Pendeta Abraham Korwa dari wilayah pesisir Papua menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi yang dialami masyarakat akibat aksi OPM. “Saya melihat sendiri bagaimana masyarakat trauma. Mereka takut ke ladang, takut anaknya sekolah, karena sewaktu-waktu bisa saja terdengar tembakan. Ini bukan cara membela rakyat, ini menyiksa rakyat,” ucapnya.

Selain itu, kelompok OPM juga diketahui kerap melakukan pemalakan terhadap masyarakat yang melintasi jalan-jalan utama seperti Trans Papua. Pengendara, sopir angkutan, bahkan warga biasa dipaksa menyetor uang demi kepentingan kelompok bersenjata tersebut. Hal ini membuat beban ekonomi masyarakat semakin berat, terutama bagi mereka yang hidup dari usaha kecil dan sektor informal.

Tokoh pemuda Papua, Yulianus Mirin, menyampaikan bahwa generasi muda kini semakin sadar akan dampak negatif dari kehadiran OPM di tanah Papua. “Kami ingin damai, ingin belajar dan bekerja. Tindakan mereka hanya menghambat masa depan anak-anak muda Papua. Saatnya kita bangkit dan tolak kekerasan,” ujarnya.

Dengan semakin terbukanya suara-suara dari berbagai elemen masyarakat, semakin jelas bahwa tindakan OPM tidak hanya ilegal, tetapi juga secara moral tidak dapat dibenarkan. Rakyat Papua semakin menyadari bahwa kekerasan bukanlah jalan menuju kemerdekaan, melainkan jalan menuju kehancuran.

 

 

Anggota OPM Kelompok Tenius Kulua di Sinak berbondong-bondong ikrar setia kembali kepada NKRI

Papeda.com- Upaya deradikalisasi dan pendekatan humanis yang dilakukan oleh aparat keamanan (Apkam) kembali membuahkan hasil. Pada Minggu, 22 Juni 2025, pukul 15.30 hingga 16.20 WIT, tiga orang mantan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari Kodap III Sinak menyatakan ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam sebuah prosesi resmi yang dilaksanakan di halaman Kantor Koramil 1717-02/Sinak, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Ketiga mantan anggota OPM tersebut adalah Amus Tabuni, Amute Tabuni, dan Anis Tabuni, yang sebelumnya berada di bawah komando Tenius, salah satu tokoh bersenjata di wilayah Sinak. Ikrar mereka untuk kembali bergabung dengan NKRI menjadi simbol penting dari semakin melemahnya pengaruh kelompok separatis bersenjata di Papua.

Menurut keterangan yang diterima dari pihak Koramil, alasan ketiganya memilih menyerahkan diri adalah karena trauma dan ketakutan akibat insiden penembakan yang dilakukan oleh Kalenak Murib—salah satu pentolan OPM yang dikenal brutal—yang menyebabkan 11 honai (rumah tradisional) terbakar. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi mereka untuk meninggalkan kelompok dan memilih hidup damai bersama masyarakat.

Acara ikrar disaksikan oleh berbagai unsur, termasuk tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perwakilan keluarga. Dalam kesempatan tersebut, Tokoh Agama setempat, Bapak Yas, menyampaikan harapannya agar semua pihak di wilayah Sinak bersatu menjaga stabilitas keamanan. “Saya mengajak semua elemen Apkam, pemerintah daerah, para tokoh, dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama menciptakan ketertiban dan rasa aman. Masyarakat harus dapat beraktivitas tanpa rasa takut akibat teror dan ancaman OPM,” tegasnya, Senin (23/6/2025).

Hal senada disampaikan oleh Kepala Suku Distrik Sinak, Bapak Desman Murib, yang memberikan pesan khusus kepada para mantan anggota agar tidak kembali bergabung dengan kelompok OPM. Ia juga mengapresiasi kehadiran Apkam sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah daerah. “Acara ikrar hari ini harus menjadi awal perubahan. Apkam bukan hanya penjaga keamanan, tapi juga pelindung dan penyambung lidah masyarakat dengan Pemda Puncak,” katanya.

Sementara itu, pihak keluarga dari ketiga eks anggota OPM turut menyampaikan rasa terima kasih mereka kepada jajaran Apkam karena telah menyelamatkan saudara mereka dari keterlibatan dalam gerakan yang merugikan masyarakat. Mereka mengaku bersyukur karena para mantan anggota kini dapat kembali menjalani kehidupan normal bersama keluarga.

“Kami sungguh menyadari bahwa kehadiran Satgas dan Apkam di sini sangat berarti. Mereka menjaga, melindungi, dan mengayomi masyarakat dari ancaman kelompok OPM yang sering melakukan kekerasan, pemerasan, hingga pengancaman,” ungkap perwakilan keluarga dalam pernyataannya.

Kembalinya tiga anggota OPM ini menegaskan bahwa pendekatan persuasif dan kolaboratif antara masyarakat, tokoh lokal, dan aparat keamanan merupakan kunci dalam mewujudkan Papua yang damai dan aman. Pemerintah dan masyarakat berharap langkah ini akan diikuti oleh anggota lainnya yang masih berada dalam kelompok bersenjata untuk memilih jalan damai dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

 

OPM Peras Rakyat Papua untuk Beli Senjata, Jadikan Warga sebagai Tameng Hidup

Papeda.com- Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan akibat tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan terhadap masyarakat Papua. Selain terus melakukan aksi kekerasan bersenjata, OPM juga diketahui memeras masyarakat di berbagai wilayah untuk memperoleh dana pembelian senjata dan amunisi. Lebih miris lagi, dalam kondisi terdesak oleh aparat keamanan, mereka menjadikan rakyat sipil sebagai tameng hidup.

Praktik pemerasan ini banyak terjadi di wilayah pedalaman seperti Nduga, Intan Jaya, dan Puncak, di mana akses ekonomi terbatas dan aparat tidak selalu bisa hadir secara penuh. Warga dipaksa memberikan uang, hasil panen, atau logistik lainnya kepada kelompok bersenjata OPM dengan dalih sebagai bentuk dukungan terhadap “perjuangan kemerdekaan.” Namun kenyataannya, uang tersebut digunakan untuk membeli senjata dari jaringan gelap.

Ketua Lembaga Adat Kabupaten Puncak, Yakobus Wonda, mengecam tindakan tidak manusiawi tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerasan terhadap masyarakat sendiri adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan yang murni. “Kalau mereka benar memperjuangkan rakyat Papua, seharusnya mereka melindungi, bukan malah memeras dan menjadikan rakyat sebagai korban,” ujar Yakobus, Minggu (22/6/2025).

Senada dengan itu, Pendeta Daniel Magai dari wilayah Pegunungan Tengah menyebut bahwa kelompok OPM tidak lagi memiliki landasan moral dalam setiap aksinya. “Mereka tidak lagi membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Semua dijadikan sumber uang dan alat perlindungan. Rakyat dipaksa bayar, lalu dijadikan tameng agar mereka tidak tertembak. Ini jelas tindakan pengecut,” tegasnya.

Informasi dari warga juga menyebutkan bahwa beberapa kali OPM memblokir jalan Trans Papua dan memaksa para sopir angkutan umum serta pengendara pribadi untuk menyerahkan uang. Penolakan kerap berujung dengan ancaman kekerasan, bahkan penyanderaan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat hanya bisa pasrah karena keselamatannya dipertaruhkan.

Tokoh pemuda Papua, Marthen Yikwa, mengatakan bahwa generasi muda di Papua sudah mulai muak dengan kekejaman OPM. “Kami sudah tahu ke mana uang itu pergi. Mereka tidak beli buku, tidak bangun sekolah, tidak beli alat kesehatan. Mereka beli senjata untuk menakut-nakuti rakyat. Ini bukan perjuangan, ini pemerasan bersenjata,” katanya.

Dengan semakin banyaknya pengaduan dari masyarakat dan meningkatnya kesadaran publik terhadap kekejaman OPM, dukungan terhadap kelompok ini terus menyusut. Masyarakat Papua kini lebih memilih hidup damai bersama negara dan membangun masa depan tanpa tekanan dan ketakutan dari kelompok bersenjata.

 

OPM Hanya Bisa Memberikan Ancaman serta Menambah Panjang Penderitaan Rakyat Papua

Papeda.com- Kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus menunjukkan eksistensinya melalui berbagai aksi ancaman dan kekerasan yang menyasar masyarakat sipil di wilayah Papua. Namun, alih-alih memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat Papua, tindakan mereka justru dinilai memperpanjang penderitaan warga yang hidup dalam ketidakpastian, ketakutan, dan tekanan.

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat di berbagai daerah seperti Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, dan Nduga mengaku semakin resah dengan intensitas gangguan yang dilakukan oleh OPM. Selain penembakan terhadap warga sipil dan aparat, kelompok ini juga kerap menyebar ancaman kepada guru, tenaga kesehatan, hingga pengusaha lokal yang berkontribusi pada pembangunan wilayah.

Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Meepago, Yulius Pigai, menyayangkan sikap OPM yang terus meneror masyarakat dengan dalih perjuangan. Menurutnya, tindakan mereka telah jauh melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan dan hanya memperparah kesengsaraan rakyat Papua. “OPM hari ini tidak memperjuangkan rakyat, mereka memperjuangkan ketakutan. Mereka hanya bisa mengancam dan menyakiti masyarakat yang justru ingin hidup damai,” ujarnya di Nabire, Minggu (22/6/2025).

Hal senada disampaikan oleh Pendeta Lukas Mirin dari Lanny Jaya. Ia menilai OPM telah kehilangan arah dan tidak lagi memiliki legitimasi di mata masyarakat. “Setiap hari kami mendengar berita tentang penembakan, pemalakan, penyanderaan. Semua itu bukan bentuk perjuangan. Itu kejahatan atas nama perjuangan. Rakyat hanya semakin menderita,” tegas Pendeta Lukas.

Sejumlah tokoh pemuda Papua juga mulai angkat suara. Menurut John Wakerkwa, aktivis muda dari Jayawijaya, generasi muda Papua sudah muak dengan ancaman dan tekanan dari kelompok bersenjata. “Kami ingin sekolah, ingin bekerja, ingin berkontribusi bagi pembangunan. Tapi selama OPM terus membuat ancaman, kami tidak akan pernah maju. Mereka hanya menambah beban hidup kami,” ungkap John.

Aparat keamanan mencatat bahwa OPM tidak segan-segan menggunakan kekerasan terhadap warga yang tidak mau mendukung mereka. Dalam beberapa kasus, masyarakat dijadikan tameng hidup atau bahkan korban kekerasan apabila dianggap tidak sejalan. Selain itu, pemalakan terhadap kendaraan logistik dan penyanderaan warga sipil menjadi pola tindakan yang berulang dan sangat meresahkan.

Dengan semakin meluasnya penolakan masyarakat terhadap kekejaman OPM, harapan akan hadirnya kedamaian dan pembangunan di Bumi Cenderawasih semakin besar. Rakyat Papua mulai menyuarakan bahwa mereka ingin hidup tanpa ancaman, tanpa tekanan, dan tanpa kekerasan.

 

OPM Gunakan Jalur Pendidikan untuk Merusak Ideologi Pelajar

Papeda.com- Aksi kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kini memasuki babak baru yang sangat memprihatinkan. Tidak hanya melakukan kekerasan bersenjata, kelompok ini juga mulai menyusup ke dunia pendidikan dengan tujuan memengaruhi pola pikir dan ideologi para pelajar Papua. Upaya ini dinilai sangat membahayakan karena menyasar generasi muda, yang seharusnya mendapatkan pendidikan damai dan berorientasi pada pembangunan.

Sejumlah laporan dari masyarakat dan tokoh pendidikan di wilayah pegunungan menyebutkan bahwa OPM kerap memanfaatkan momen pertemuan masyarakat, bahkan kegiatan belajar di kampung, untuk menyebarkan narasi separatisme. Dalam beberapa kasus, anggota OPM bahkan menyamar sebagai pengajar atau tokoh masyarakat untuk mendekati pelajar dan menyisipkan ideologi anti-NKRI secara terselubung.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Intan Jaya, Markus Nawipa, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap infiltrasi OPM di lingkungan pendidikan. Ia mengatakan bahwa ada indikasi kuat bahwa kelompok tersebut memanfaatkan ketidakhadiran guru di daerah-daerah terpencil untuk mengambil alih ruang pendidikan. “Mereka mendekati anak-anak, bercerita soal perjuangan yang menyimpang, dan menanamkan rasa benci terhadap negara. Ini ancaman serius terhadap masa depan generasi Papua,” ujarnya, Minggu (22/6/2025).

Tokoh masyarakat Paniai, Yoseph Gobay, menyebut tindakan OPM tersebut sebagai bentuk perusakan moral dan masa depan pelajar Papua. Menurutnya, pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk mencerdaskan dan membangun karakter anak bangsa, bukan dijadikan alat untuk menyebar kebencian. “Apa jadinya jika anak-anak kita tumbuh dengan doktrin kekerasan? Itu bukan perjuangan, itu penghancuran masa depan,” tegas Yoseph.

Pendeta Abel Yikwa dari Kabupaten Nduga juga menyampaikan keprihatinan serupa. Ia menyebut bahwa gereja menerima laporan dari para orang tua yang resah karena anak-anak mereka mulai mengucapkan kata-kata provokatif dan menolak belajar sesuai kurikulum nasional. “Ada yang bilang sekolah buatan Jakarta adalah musuh, itu bukan ucapan anak-anak. Itu hasil doktrin. Kami tidak bisa diam terhadap ini,” ujarnya.

Dalam upaya melindungi pelajar dari pengaruh negatif tersebut, sejumlah tokoh agama dan tokoh adat menyerukan perlunya peningkatan kehadiran guru dan pengawasan dari pihak berwenang di wilayah rawan. Mereka juga mendorong sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat agar pendidikan tidak disalahgunakan sebagai alat politisasi.

Fenomena ini menjadi peringatan keras bahwa OPM tidak hanya merusak stabilitas keamanan, tetapi juga mencoba mencederai pikiran dan harapan generasi Papua. Maka, perlindungan terhadap dunia pendidikan harus menjadi prioritas bersama demi masa depan Papua yang damai dan sejahtera.

  Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul ...