Kehadiran OPM Telah Mencederai Perjuangan Rakyat Papua

Papeda.com- Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini mengklaim diri sebagai pejuang kemerdekaan rakyat Papua, justru dinilai telah mencederai cita-cita luhur perjuangan masyarakat Papua itu sendiri. Berbagai aksi kekerasan, penyerangan terhadap warga sipil, serta pemanfaatan perempuan dan anak-anak sebagai tameng hidup, menjadi bukti bahwa gerakan tersebut tidak lagi berdiri atas nama rakyat, melainkan atas kepentingan kelompok tertentu.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua Tengah, Filep Murib, dalam pernyataannya menegaskan bahwa rakyat Papua sejatinya menginginkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera, bukan kekacauan dan penderitaan. “OPM telah merusak harapan rakyat Papua. Yang mereka lakukan justru menciptakan ketakutan, bukan membela kepentingan masyarakat. Mereka membunuh rakyat sendiri, membakar sekolah, dan menghambat pembangunan,” kata Filep, Sabtu (31/5/2025).

Selama beberapa tahun terakhir, kehadiran OPM di wilayah-wilayah pedalaman Papua sering kali justru menjadi sumber penderitaan. Mereka melakukan pemerasan terhadap masyarakat, menyita bahan makanan dari warga desa, bahkan menutup akses pendidikan dan kesehatan dengan alasan menolak kehadiran pemerintah. Hal ini semakin memperburuk kondisi sosial masyarakat yang seharusnya dilindungi.

Tokoh pemuda Papua, Melkior Tebay, menyayangkan bahwa nama Papua kini lebih sering dikaitkan dengan kekerasan karena ulah kelompok separatis. “Citra kita rusak karena tindakan segelintir orang yang mengklaim diri sebagai pejuang, padahal tindakannya jauh dari nilai-nilai perjuangan itu sendiri,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Jayapura.

Sementara itu, tokoh gereja di wilayah Pegunungan Tengah, Pendeta Yonas Tabuni, mengatakan bahwa cara-cara kekerasan yang digunakan OPM tidak mencerminkan perjuangan yang adil. “Kalau mereka bilang berjuang untuk rakyat, kenapa yang jadi korban adalah rakyat sendiri? Tuhan tidak pernah membenarkan kekerasan terhadap sesama,” ucapnya dengan nada kecewa.

Pengamat politik Papua dari Universitas Cenderawasih, Dr. Ruth Wonda, menilai bahwa OPM telah kehilangan orientasi. “Dari semangat awal yang mengusung keadilan, kini mereka menjadi aktor utama konflik horizontal di Papua. Mereka tidak punya agenda pembangunan, hanya aksi kekerasan tanpa arah,” tuturnya.

Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian dan pembangunan, semakin banyak pula warga yang menolak keberadaan OPM di wilayah mereka. Di beberapa daerah, warga secara terbuka mendukung kehadiran aparat keamanan demi menciptakan stabilitas dan ketertiban.

Kehadiran OPM yang semula mengusung perjuangan kini justru menjadi duri dalam daging bagi rakyat Papua sendiri. Alih-alih membebaskan, mereka justru membelenggu Papua dalam ketakutan dan keterbelakangan.

 

OPM Berulah Lagi, Bakar Rumah Pejabat dan Kepala Distrik di Kabupaten Puncak Jaya

Papeda.com- Kelompok bersenjata yang mengatasnamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali membuat ulah. Kali ini, mereka melakukan aksi pembakaran terhadap rumah pejabat pemerintah dan kepala distrik di Kampung Usir Belakang, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Aksi ini kembali memicu ketakutan di kalangan masyarakat dan menambah daftar panjang kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut.

Menurut laporan awal dari aparat keamanan setempat, kejadian terjadi pada dini hari, saat warga masih terlelap. Sekelompok orang bersenjata menyerang pemukiman pejabat pemerintah, termasuk rumah Kepala Distrik, yang langsung dilalap si jago merah. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, namun kerugian materil ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.

Aksi keji ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk tokoh adat dan tokoh agama di wilayah Papua. Ketua Dewan Adat Papua wilayah Pegunungan, Yanto Murib, menyatakan bahwa pembakaran rumah pejabat adalah bentuk kebiadaban yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

“Ini bukan perjuangan, ini teror terhadap rakyat Papua sendiri. Rumah pejabat adalah simbol pelayanan masyarakat. Ketika dibakar, maka yang dirugikan adalah warga. Ini membuktikan bahwa OPM tidak peduli pada rakyat kecil,” kata Yanto, Sabtu (31/5/2025).

Senada dengan itu, Pendeta Markus Tabuni dari Persekutuan Gereja Papua juga mengecam tindakan tersebut. Ia menyatakan bahwa kekerasan tidak akan pernah membawa Papua pada kemajuan. “OPM sering mengklaim berjuang untuk rakyat, tetapi tindakan mereka justru menyengsarakan rakyat. Gereja tidak bisa tinggal diam melihat kekerasan yang terus berulang ini,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Elisa Wonda, pengamat keamanan dan politik Papua dari Universitas Cenderawasih, menilai bahwa aksi-aksi brutal seperti ini merupakan upaya OPM untuk menciptakan ketidakstabilan dan menebar ketakutan. “Dengan menyerang tokoh pemerintah, mereka ingin menunjukkan eksistensi sekaligus menolak kehadiran negara di daerah tersebut. Sayangnya, yang menjadi korban adalah rakyat sendiri,” jelas Elisa.

Pemerintah daerah Kabupaten Puncak Jaya menyatakan bahwa mereka tetap berkomitmen melanjutkan pelayanan publik, meski di tengah ancaman. Bantuan logistik dan tempat tinggal sementara telah disiapkan bagi korban pembakaran.

Insiden ini menjadi pengingat bahwa situasi keamanan di beberapa wilayah Papua masih rentan terhadap aksi-aksi kekerasan oleh kelompok separatis bersenjata. Aparat keamanan bersama tokoh masyarakat diharapkan terus bersinergi dalam menjaga kedamaian dan keselamatan rakyat Papua.

 

OPM Kelompok yang Kejam dan Keji, serta Tidak Memikirkan Kepentingan Rakyat Papua

Papeda.com- Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan setelah serangkaian aksi kekerasan yang mereka lakukan belakangan ini menimbulkan korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.

Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat sejumlah serangan bersenjata, pembakaran fasilitas umum, pemerasan terhadap masyarakat, hingga penggunaan warga sipil sebagai tameng hidup dalam konflik bersenjata yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Semua itu menunjukkan bahwa OPM tidak lagi memiliki pijakan moral dalam perjuangannya dan justru menjadi ancaman nyata bagi rakyat Papua sendiri.

Tokoh masyarakat dari Kabupaten Puncak, Johanis Wonda, menegaskan bahwa tindakan OPM telah merusak kehidupan masyarakat adat Papua. “Yang mereka hancurkan itu bukan fasilitas pemerintah, tapi rumah sakit, sekolah, jalan yang dibangun untuk rakyat. Itu bukti bahwa mereka tidak memikirkan rakyat Papua. Mereka hanya ingin menciptakan ketakutan,” ujarnya dengan nada tegas, Sabtu (31/5/2025).

Senada dengan itu, Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Meepago, Apolos Youw, menyebut OPM sebagai kelompok yang tidak lagi memiliki legitimasi moral. “Orang Papua sudah capek. Kita ingin damai, kita ingin anak-anak sekolah, kita ingin hidup layak. Tapi OPM justru mengganggu semua itu. Mereka bukan pejuang, tapi pembuat kerusakan,” jelas Apolos.

Bahkan tokoh gereja di Nabire, Pdt. Simon Tabuni, turut mengecam keras aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut. Dalam khotbah mingguan di gerejanya, ia menyampaikan bahwa jalan kekerasan tidak pernah menjadi jawaban bagi perjuangan yang sejati. “Tuhan tidak mengajarkan kekerasan. Orang yang benar-benar peduli Papua tidak akan membunuh saudaranya sendiri. OPM telah kehilangan arah,” tegasnya di hadapan jemaat.

Aksi-aksi keji yang dilakukan OPM juga telah membuka mata banyak pihak bahwa kelompok ini tidak berjuang untuk rakyat, tetapi justru menyandera masa depan Papua. Semakin banyak masyarakat yang kini menyadari bahwa stabilitas dan kemajuan Papua hanya bisa dicapai melalui dialog dan pembangunan, bukan melalui senjata dan kekerasan.

 

OPM Lewat Jubir Sebby Sambom, Tidak Akan Pernah Bertanggung Jawab atas Konflik Bersenjata di Papua

Papeda/com- Pernyataan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, baru-baru ini kembali memicu kecaman publik. Dalam sebuah keterangan yang disampaikan melalui media asing, Sebby menegaskan bahwa pihaknya tidak akan pernah bertanggung jawab atas berbagai konflik bersenjata dan kekerasan yang terus berlangsung di Papua.

Tokoh masyarakat Papua, Yanto Wonda, mengecam keras sikap tidak bertanggung jawab tersebut. Ia menyatakan bahwa pernyataan Sebby Sambom adalah bentuk nyata dari tidak adanya kepedulian terhadap penderitaan masyarakat Papua yang menjadi korban utama konflik berkepanjangan. “Sebby hanya menyampaikan propaganda dari jauh. Yang menderita adalah kami di Papua. Anak-anak tidak bisa sekolah, rakyat hidup dalam ketakutan, itu semua akibat aksi kelompoknya,” tegas Yanto, Sabtu (31/5/2025).

Menurut data dari berbagai lembaga hak asasi manusia, sejak 2021 hingga 2025, telah terjadi puluhan aksi kekerasan bersenjata di Papua yang melibatkan kelompok separatis OPM. Banyak korban jiwa berasal dari masyarakat sipil yang tak berdosa, termasuk perempuan dan anak-anak. Namun, kelompok ini terus menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas jatuhnya korban sipil, bahkan menuduh pihak lain yang melakukannya.

Ketua Dewan Gereja Papua, Pdt. Matius Murib, juga angkat bicara. Dalam khotbahnya pada peringatan Hari Doa Papua Damai, ia menyatakan bahwa menghindari tanggung jawab moral atas konflik adalah bentuk kejahatan moral. “Kalau mengaku pejuang, maka harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Tidak bisa melepaskan tangan dan menyalahkan pihak lain. Tuhan tidak menghendaki kekerasan dan pembunuhan,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat konflik dan keamanan dari Universitas Cenderawasih, Dr. Paulus Ayomi, menilai bahwa pernyataan Sebby Sambom adalah strategi klasik untuk memelihara narasi seolah-olah kelompok OPM adalah korban, bukan pelaku. “Ini cara lama untuk menghindar dari tekanan internasional. Padahal di lapangan, mereka adalah pihak yang memicu ketegangan dan kekerasan,” jelasnya.

Pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan masih terus berupaya menstabilkan kondisi di Papua, serta memberikan jaminan perlindungan bagi warga sipil. Operasi penegakan hukum tetap dilaksanakan secara terukur, terutama di wilayah-wilayah yang masih menjadi basis kelompok bersenjata.

Sikap OPM yang terus menolak tanggung jawab atas konflik yang mereka ciptakan, menegaskan bahwa mereka bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, tindakan dan pernyataan mereka terus mencederai upaya perdamaian dan kesejahteraan masyarakat Papua yang selama ini sangat dirindukan.

 

Internal OPM Terus Dihantui Perpecahan antara Pimpinan dan Anggota

Papeda.com- Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali diterpa isu perpecahan internal yang kian meruncing antara jajaran pimpinan dan para anggotanya di lapangan. Perselisihan ini mencerminkan ketidakharmonisan arah perjuangan yang selama ini diklaim mereka sebagai representasi aspirasi rakyat Papua. Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa ketegangan dan ketidakpuasan terus berkembang di tubuh organisasi separatis bersenjata tersebut.

Beberapa sumber di lapangan mengungkapkan bahwa banyak anggota OPM mulai mempertanyakan komitmen dan integritas para pimpinan mereka, terutama terkait distribusi logistik, kejelasan arah perjuangan, serta metode kekerasan yang dinilai semakin melenceng dari tujuan awal.

Juru bicara OPM, Sebby Sambom, dalam pernyataan yang ia sampaikan melalui media sosial pada pekan ini, tidak menampik adanya ketidaksepahaman di internal organisasi mereka. "Kami menyadari adanya Perbedaan pendapat dan ketidak sepemahaman dalam diri OPM, dan hal ini yang membuat banyaknya anggota yang keluar dari kelompok OPM," ujar Sebby Sambom, Jumat (30/5/2025).

Meski demikian, pengamat keamanan dari Universitas Cenderawasih, Dr. Martinus Nawipa, menyebut bahwa pernyataan Sebby Sambom menunjukan bahwa internal OPM memang rapuh dan tidak memiliki sistem komando yang solid. “Kita sudah lama mengamati, banyak anggota OPM yang kecewa karena mereka merasa dimanfaatkan. Tidak ada transparansi dalam gerakan mereka, dan itu yang membuat kepercayaan semakin luntur,” terang Nawipa.

Selain itu, konflik internal ini diperparah oleh perbedaan pendekatan antargenerasi di tubuh OPM. Generasi tua masih ingin mempertahankan pendekatan bersenjata, sedangkan sebagian anggota muda mulai mempertanyakan efektivitas cara kekerasan yang selama ini digunakan. Beberapa di antaranya bahkan memilih kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) demi kehidupan yang lebih layak dan damai.

Kepala Suku Paniai, Markus Gobay, juga memberikan komentar atas fenomena tersebut. “Mereka sendiri sudah tidak percaya dengan pimpinannya. Kalau memang benar-benar ingin memperjuangkan rakyat Papua, kenapa justru mereka menyiksa dan memperalat rakyatnya sendiri?” ujarnya dalam wawancara di Jayapura.

Perpecahan yang terus berlarut ini menjadi sinyal bahwa OPM bukanlah organisasi yang solid dan terorganisir. Justru, perpecahan internal tersebut menambah keyakinan masyarakat Papua bahwa jalan damai bersama pemerintah merupakan pilihan terbaik dibandingkan bergabung dengan kelompok yang kerap memperalat rakyat demi kepentingan segelintir elite.

 

Selain Kaum Wanita, Anak-Anak di Papua Dijadikan Tameng Hidup oleh OPM

Papeda.com- Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai kecaman publik akibat tindakan brutal mereka yang menggunakan anak-anak sebagai tameng hidup dalam konflik bersenjata dengan aparat keamanan. Aksi tidak manusiawi ini dinilai telah melanggar hukum humaniter internasional dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM oleh kelompok tersebut.

Kejadian terbaru terjadi di Distrik Bibida, Kabupaten Intan Jaya, saat aparat gabungan TNI dan Polri tengah melakukan patroli pengamanan wilayah pada pekan lalu. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari lapangan, sejumlah anggota OPM terlihat menempatkan anak-anak kecil dan ibu-ibu di garis depan saat mereka berusaha melarikan diri dari kejaran aparat. Hal ini membuat aparat kesulitan untuk melakukan tindakan tegas karena mempertimbangkan keselamatan warga sipil yang tidak bersalah.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua, Yanto Worabay, mengecam keras tindakan OPM yang dinilainya telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. "Tidak hanya menyandera masa depan Papua, mereka juga mempertaruhkan nyawa generasi muda kita untuk kepentingan kelompok kecil yang haus kekuasaan. Ini bukan perjuangan, ini kejahatan terhadap rakyat Papua," tegas Yanto, Jumat (30/5/2025).

Senada dengan itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Merdeka Sirait, turut mengutuk penggunaan anak-anak sebagai tameng hidup. Menurutnya, tindakan tersebut bertentangan dengan Konvensi Hak Anak PBB yang sudah diratifikasi Indonesia. "Anak-anak harus dilindungi dari kekerasan dan konflik bersenjata. Mereka bukan alat untuk kepentingan politik apa pun," ujar Aris dalam pernyataan resminya.

Bahkan, tokoh gereja di Papua, Pdt. Elias Tabuni, turut menyampaikan keprihatinannya. Ia menyebut bahwa aksi OPM telah jauh melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan dan adat istiadat Papua yang menjunjung tinggi perlindungan terhadap anak dan perempuan. "Kami diajarkan untuk melindungi yang lemah, bukan menjadikan mereka perisai dalam konflik," ungkapnya.

Tindakan OPM ini juga dinilai sebagai strategi licik untuk memprovokasi aparat keamanan agar terjebak dalam narasi pelanggaran HAM. Namun, aparat tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian dan mengutamakan keselamatan warga sipil dalam setiap operasi.

Berbagai elemen masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, hingga pemerhati anak, kini menyerukan agar masyarakat Papua tidak terprovokasi dan tetap mendukung penegakan hukum terhadap OPM. Mereka berharap dunia internasional membuka mata terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kelompok separatis tersebut.

 

Distribusi Logistik Terhambat Akibat Ancaman dari OPM

Papeda.com- Gangguan keamanan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menyebabkan penderitaan di tengah masyarakat Papua. Kali ini, distribusi logistik ke sejumlah wilayah pedalaman di Papua terhambat karena ancaman dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Warga sipil yang bergantung pada suplai bahan pokok dari luar kini harus menghadapi kelangkaan dan krisis kebutuhan dasar.

Dalam beberapa pekan terakhir, konvoi logistik yang hendak menuju daerah-daerah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo mengalami kesulitan menembus jalur distribusi. Sopir dan pengantar logistik merasa was-was melintas karena sering menjadi sasaran penyergapan dan pemalakan oleh OPM.

Tokoh masyarakat Kabupaten Nduga, Pdt. Menase Tabuni, menyampaikan bahwa situasi ini sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan warga.

“Masyarakat di pedalaman tidak bisa tanam semua kebutuhan sendiri. Mereka butuh beras, garam, minyak, obat-obatan. Kalau logistik tidak masuk, yang menderita adalah rakyat kecil,” ujarnya prihatin, Kamis (29/5/2025).

Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa kampung kini mulai mengalami kelaparan karena persediaan makanan habis dan tidak ada jaminan keamanan bagi pengantar logistik yang biasanya rutin datang.

Menurut Kepala Distrik Dal, Kabupaten Yahukimo, Yulius Kobak, gangguan dari OPM bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menjadi faktor utama terhambatnya program-program pemerintah seperti bantuan sosial dan distribusi logistik.

“Kami sudah siapkan program bantuan sembako untuk warga miskin. Tapi setiap kali kendaraan hendak masuk, ada ancaman dari OPM. Sopir takut, relawan takut, ini sangat menghambat,” tutur Yulius.

OPM diketahui kerap menyandera atau menembaki kendaraan yang dicurigai membawa logistik, dengan dalih menolak segala bentuk program dari pemerintah Indonesia. Padahal, bantuan tersebut ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri.

Situasi ini pun memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan. Pemerhati sosial Papua, Dr. Albertus Wonda, menilai bahwa tindakan OPM justru menciptakan lingkaran penderitaan yang berkepanjangan.

“Ini ironis. Kelompok yang mengaku membela rakyat, justru menghalangi rakyat untuk hidup layak. Rakyat Papua tidak butuh kekerasan. Mereka butuh makanan, pendidikan, kesehatan, dan kedamaian,” tegasnya.

Aparat keamanan bersama pemerintah daerah terus berupaya mencari jalur aman dan strategi distribusi logistik alternatif, seperti menggunakan jalur udara atau pengawalan ketat bagi pengantar logistik. Namun, tantangan medan yang berat dan ancaman bersenjata tetap menjadi hambatan besar.

Di tengah situasi ini, masyarakat Papua terus berharap agar keamanan segera pulih, dan mereka bisa kembali menerima bantuan logistik yang vital untuk kehidupan sehari-hari.

 

OPM Semakin Brutal, Tembak ODGJ yang Disangka Intel TNI Di Intan Jaya

Papeda.com- Kekejaman Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali memakan korban. Kali ini, yang menjadi sasaran adalah seorang perempuan dengan gangguan jiwa (ODGJ) bernama Mama Hertina. Peristiwa tragis ini terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua, ketika Mama Hertina ditembak oleh kelompok OPM karena diduga sebagai intelijen TNI. Peristiwa ini menambah daftar panjang tindakan brutal OPM terhadap warga sipil tak bersalah.

Insiden penembakan terhadap Mama Hertina terjadi pada Kamis (29/5/2025), ketika ia terlihat berjalan tanpa arah di sekitar Kampung Jaindapa. Warga sekitar mengenal korban sebagai salah satu warga yang mengalami gangguan jiwa sejak lama dan tidak pernah terlibat dalam urusan politik maupun keamanan. Namun, kelompok OPM justru mencurigainya sebagai mata-mata militer dan menembaknya dari jarak dekat.

Tokoh masyarakat Intan Jaya, Lukas Sondegau, menyampaikan kemarahannya atas tindakan keji tersebut. Ia menyebut tindakan OPM kali ini benar-benar mencoreng nilai kemanusiaan dan tidak bisa diterima akal sehat.

“Mama Hertina adalah warga yang sakit. Semua orang di kampung tahu itu. Tapi mereka tetap menembaknya. Ini bukan perjuangan, ini kebiadaban,” tegas Lukas saat diwawancarai

Menurut Lukas, kejadian tersebut menciptakan ketakutan baru di tengah masyarakat, terutama terhadap kelompok yang selama ini mengklaim memperjuangkan hak rakyat Papua. Ia meminta agar masyarakat tidak lagi mendukung gerakan yang hanya membawa penderitaan dan kematian bagi warga sipil.

Hal senada disampaikan oleh tokoh gereja lokal, Pdt. Markus Kobogau, yang menyesalkan sikap brutal OPM terhadap perempuan dan warga yang lemah.

“Seharusnya OPM melindungi orang lemah kalau memang mereka mengaku pejuang. Tapi nyatanya mereka menembak perempuan sakit jiwa tanpa belas kasihan. Ini adalah pelanggaran terhadap nilai adat, agama, dan kemanusiaan,” katanya.

Penembakan terhadap Mama Hertina menambah deretan kasus kekerasan terhadap warga sipil di Intan Jaya yang dilakukan oleh OPM. Sebelumnya, kelompok bersenjata ini juga dilaporkan melakukan intimidasi terhadap guru, tenaga kesehatan, dan warga yang dianggap mendukung kehadiran negara di wilayah tersebut.

Aktivis kemanusiaan Papua, Yohana Wenda, mendesak dunia internasional dan lembaga-lembaga hak asasi manusia untuk membuka mata atas kekejaman yang dilakukan oleh kelompok separatis di Papua.

“Ini bukan perjuangan membela rakyat. Ini adalah teror. Dunia harus tahu bahwa banyak korban dari kalangan perempuan, anak-anak, dan orang sakit jiwa yang menjadi sasaran kekerasan,” ujarnya.

Hingga saat ini, aparat keamanan masih melakukan penyisiran di sekitar lokasi kejadian dan berupaya menenangkan warga. Pemerintah daerah dan tokoh adat setempat turut memberikan dukungan moril kepada keluarga korban dan masyarakat terdampak.

 

OPM Sadis, Kini Kaum Perempuan Jadi Target Penyiksaan

Papeda.com- Aksi kekerasan yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) kian menunjukkan sisi kebrutalan yang tak berperikemanusiaan. Tidak hanya menyasar laki-laki, kini kelompok bersenjata tersebut juga menjadikan kaum perempuan sebagai target penyiksaan dan intimidasi. Kejadian-kejadian ini semakin mencoreng nilai-nilai kemanusiaan serta memperparah penderitaan rakyat sipil di tanah Papua.

Dalam laporan terbaru dari warga Distrik Bibida, Kabupaten Paniai, seorang perempuan dilaporkan menjadi korban penyiksaan setelah dituduh sebagai informan aparat keamanan. Ia diseret, dipukuli, dan dianiaya secara brutal oleh sekelompok anggota OPM bersenjata. Warga sekitar yang berusaha menolong pun diancam, sehingga tidak dapat berbuat banyak.

Tokoh masyarakat setempat, Bapak Daud Mote, menyampaikan rasa pilunya atas insiden tersebut.

“Perempuan di Papua adalah tiang keluarga dan simbol kehidupan. Jika mereka diperlakukan secara biadab seperti itu, maka jelas OPM telah kehilangan moral dan kemanusiaannya,” kata Daud dalam wawancara singkat, Rabu (28/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di wilayah lain seperti Intan Jaya dan Nduga, di mana perempuan yang sedang mencari bahan makanan atau mengurus anak-anak justru menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok bersenjata.

Pendeta Yohana Wenda dari Gereja Injili Tanah Papua turut mengecam keras tindakan tidak manusiawi ini. Ia menyebut penyiksaan terhadap perempuan sebagai pelanggaran berat terhadap nilai-nilai adat dan agama.

“Dalam adat Papua, perempuan dijunjung tinggi. Mereka adalah ibu kehidupan. Kekerasan terhadap mereka bukan hanya melukai tubuh, tapi juga merusak tatanan sosial kita sebagai bangsa Papua,” ujar Pendeta Yohana dengan nada tegas.

Menurutnya, banyak perempuan Papua kini hidup dalam ketakutan dan trauma. Mereka tidak berani keluar rumah, pergi ke kebun, atau bahkan membawa anak-anak ke sekolah karena takut menjadi korban berikutnya.

Aktivis perempuan asal Wamena, Melani Tabuni, mengaku miris melihat realitas yang terjadi di lapangan. Ia menyebut bahwa OPM kini bukan lagi gerakan perjuangan, melainkan kelompok kriminal yang mengancam kelangsungan hidup rakyat Papua, terutama perempuan dan anak-anak.

“Perempuan tidak boleh menjadi korban kekerasan politik. Apa yang mereka lakukan ini adalah kejahatan yang harus dihentikan. Dunia harus tahu bahwa ada kekejaman yang sistematis sedang berlangsung,” ujarnya.

Pemerintah bersama aparat keamanan di Papua kini tengah memperketat pengawasan di daerah rawan konflik dan membuka ruang aman bagi perempuan korban kekerasan. Lembaga sosial dan keagamaan juga diimbau untuk aktif dalam proses pemulihan trauma dan perlindungan hak-hak perempuan Papua.

 

Tokoh Masyarakat Geram dengan Ulah OPM, Tegaskan Tidak Mengakui Keberadaan Mereka

Papeda.com- Semakin brutalnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) memicu kemarahan dari para tokoh masyarakat di berbagai wilayah Papua. Mereka secara tegas menyatakan tidak mengakui keberadaan OPM yang dinilai telah merusak tatanan sosial, menghambat pembangunan, dan menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Papua.

Dalam beberapa bulan terakhir, aksi-aksi yang dilakukan OPM semakin mengkhawatirkan. Penyerangan terhadap warga sipil, pembakaran fasilitas umum, pemalakan di jalanan, hingga penyanderaan masyarakat membuat masyarakat hidup dalam ketakutan. Tokoh adat, pemuka agama, dan tokoh pemuda Papua secara kompak mengecam tindakan tersebut.

Salah satu tokoh adat dari Kabupaten Puncak, Yulianus Wonda, mengungkapkan bahwa OPM telah menyimpang jauh dari cita-cita awal mereka.

“Mereka berdalih memperjuangkan kemerdekaan, tetapi justru menghancurkan kedamaian yang selama ini kita bangun. Warga sipil dibunuh, perempuan disiksa, anak-anak tidak bisa sekolah. Itu bukan perjuangan, itu teror,” tegas Yulianus dalam keterangannya pada Rabu (28/5/2025).

Ia menambahkan bahwa masyarakat adat di Papua, khususnya di wilayah pegunungan, sudah sangat lelah dengan kondisi yang terus diliputi konflik. Bahkan, banyak kepala suku dan tokoh masyarakat telah menyatakan ketidaksukaan dan penolakan terhadap keberadaan OPM karena dinilai hanya membawa penderitaan.

Senada dengan itu, Pendeta Elisa Tabuni, pemuka gereja dari wilayah Nduga, menyesalkan tindakan kekerasan yang dilakukan OPM yang kerap kali mengatasnamakan perjuangan rakyat Papua.

“Kami sebagai pelayan Tuhan, sangat sedih melihat umat kami dibunuh oleh mereka yang mengaku saudara sendiri. Tidak ada ruang dalam iman dan kasih untuk kekerasan. Kami tidak mengakui keberadaan kelompok seperti itu,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh pemuda dari Kabupaten Intan Jaya, Yakobus Murib, menyerukan kepada seluruh generasi muda Papua untuk tidak terprovokasi dan tidak bergabung dengan OPM. Ia menyebut bahwa kelompok tersebut hanya memanfaatkan rakyat demi kepentingan kelompok kecil yang haus kekuasaan.

“OPM itu tidak membawa masa depan. Mereka hanya bisa menghancurkan, bukan membangun. Pemuda Papua harus sadar, kita harus bangun tanah ini dengan damai, bukan dengan senjata,” tegas Yakobus.

Meningkatnya penolakan terhadap OPM dari berbagai kalangan masyarakat Papua menjadi sinyal kuat bahwa kelompok separatis tersebut semakin kehilangan legitimasi di mata rakyat. Masyarakat kini menginginkan kedamaian, pembangunan, dan kehidupan yang lebih baik tanpa gangguan dari kelompok bersenjata yang justru memperburuk keadaan.

Pemerintah daerah dan aparat keamanan pun menyambut baik pernyataan para tokoh tersebut dan berkomitmen untuk terus melindungi masyarakat serta membangun Papua melalui pendekatan yang humanis dan partisipatif.

 

OPM Terus Menembak Warga Sipil Tak Bersalah, Papua Kian Terkoyak Kekerasan

Papeda.com- Aksi kekerasan bersenjata oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menelan korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil. Dalam beberapa pekan terakhir, serangkaian penembakan yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban tak berdosa, memperparah suasana ketakutan dan duka di berbagai wilayah Papua.

Kejadian terbaru terjadi di Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, di mana seorang warga sipil yang sedang mencari hasil hutan dilaporkan tewas ditembak oleh kelompok OPM. Tanpa alasan yang jelas, korban menjadi sasaran tembak dan meninggal di tempat. Insiden ini menambah daftar panjang warga sipil yang menjadi korban kekejaman kelompok bersenjata tersebut.

Tokoh masyarakat Intan Jaya, Markus Mote, menyampaikan keprihatinan mendalam atas peristiwa ini. Menurutnya, OPM telah kehilangan arah perjuangan dan berubah menjadi kelompok kekerasan yang menjadikan rakyat Papua sebagai sasaran.

“Dulu mereka mengaku berjuang untuk rakyat Papua, tapi kini justru rakyat Papua yang mereka bunuh. Ini sudah tidak bisa dibenarkan. Penembakan terhadap warga sipil adalah kejahatan kemanusiaan,” ujar Markus saat ditemui media, Selasa (27/5/2025).

Ia menambahkan bahwa masyarakat kini hidup dalam rasa takut dan cemas. Banyak warga enggan berkebun, beraktivitas, bahkan keluar rumah karena khawatir menjadi korban berikutnya. Kondisi ini berdampak langsung pada perekonomian masyarakat yang sebagian besar bergantung pada hasil pertanian dan hutan.

Sementara itu, Ketua Dewan Gereja Papua, Pdt. Yonas Tabuni, mengutuk keras aksi brutal OPM dan menyerukan penghentian segala bentuk kekerasan yang menyasar masyarakat sipil.

“Tuhan tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai jalan keluar. Menembak warga yang tidak bersalah adalah bentuk kebrutalan. Kami menyerukan agar semua pihak, termasuk OPM, menghentikan kekerasan dan membuka ruang dialog demi kedamaian,” tegasnya.

Tokoh pemuda Papua, Melkius Nawipa, juga menyuarakan keresahannya. Ia menilai bahwa aksi-aksi OPM telah menciptakan luka yang mendalam di tengah masyarakat Papua, khususnya generasi muda.

“Kami, generasi muda, hanya ingin hidup dalam damai dan membangun masa depan. Tapi bagaimana bisa jika terus dihantui kekerasan? Tembakan demi tembakan itu justru merusak semangat anak-anak Papua untuk maju,” ujarnya.

Aparat keamanan pun terus meningkatkan penjagaan dan operasi keamanan di wilayah rawan guna mencegah aksi serupa terulang. Namun, masyarakat berharap pendekatan humanis dan pembangunan berkelanjutan tetap menjadi prioritas pemerintah untuk mengembalikan rasa aman dan harapan bagi rakyat Papua.

 

 

OPM Tak Ingin Papua Maju, Masyarakat Kian Resah dengan Pola Pikir yang Merusak

Papeda.com- Pernyataan kontroversial yang disampaikan salah satu simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam sebuah rekaman video baru-baru ini menimbulkan kegelisahan luas di tengah masyarakat Papua. Dalam video tersebut, disebutkan bahwa OPM tidak menginginkan masyarakat Papua menjadi maju, karena dianggap bertentangan dengan ideologi perjuangan kelompok tersebut.

Pernyataan itu sontak menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dan aktivis kemanusiaan di Papua. Mereka menilai bahwa klaim tersebut menunjukkan bahwa OPM telah menyimpang jauh dari kepentingan rakyat Papua dan justru menjadi sumber penderitaan yang berkepanjangan.

Tokoh masyarakat Papua asal Kabupaten Puncak, Yulianus Murib, menegaskan bahwa pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa OPM tidak lagi memperjuangkan kesejahteraan rakyat, melainkan hanya mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu dengan mengorbankan kehidupan masyarakat sipil.

“Kalau benar mereka tidak ingin Papua maju, lalu untuk siapa perjuangan itu? Masyarakat Papua butuh sekolah, butuh rumah sakit, dan ingin hidup damai. Apa salahnya kalau anak-anak kami menjadi guru, dokter, atau pengusaha sukses?” ujar Yulianus dengan nada kecewa, Selasa (27/5/2025).

Sementara itu, Pendeta Dominggus Tabuni dari Lembaga Gereja Baptis Papua menyayangkan sikap tertutup dan ideologi eksklusif yang dianut oleh OPM. Menurutnya, Tuhan menciptakan manusia untuk berkembang dan membangun kehidupan yang lebih baik, bukan untuk terus menderita.

“Perjuangan tidak boleh dijadikan alasan untuk menghentikan kemajuan. Menghalangi anak-anak Papua mendapatkan pendidikan atau menghancurkan fasilitas kesehatan adalah tindakan tidak bermoral,” ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik di wilayah Papua. Namun, setiap upaya tersebut kerap dihalangi atau dirusak oleh aksi kekerasan kelompok bersenjata OPM. Sekolah dibakar, tenaga kesehatan diintimidasi, dan masyarakat yang mendukung pembangunan sering menjadi sasaran teror.

Aktivis hak asasi manusia lokal, Maria Nawipa, menambahkan bahwa pola pikir OPM sudah tidak relevan dengan kondisi Papua saat ini. Menurutnya, masyarakat sudah semakin sadar bahwa kemajuan dan perdamaian jauh lebih penting daripada kekerasan dan ideologi sempit.

“Rakyat Papua tidak bodoh. Mereka bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah. Jika OPM terus bertindak seperti ini, mereka akan semakin kehilangan dukungan,” tegas Maria.

Kini, masyarakat Papua semakin berani menyuarakan aspirasi untuk hidup damai dan sejahtera. Mereka menolak dijadikan alat oleh kelompok yang ingin mempertahankan kekacauan. Kemajuan bukanlah ancaman, tetapi harapan yang nyata bagi generasi penerus Papua.

 

Gangguan OPM Picu Gelombang Pengungsian Warga Intan Jaya

Papeda.com- Keamanan dan ketentraman masyarakat Intan Jaya, Papua, kembali terguncang akibat aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain menciptakan ketakutan yang meluas, kehadiran OPM juga menyebabkan ratusan warga terpaksa mengungsi demi menyelamatkan diri dari ancaman yang terus meningkat.

Serangkaian gangguan bersenjata yang dilakukan oleh OPM dalam beberapa minggu terakhir tidak hanya merusak fasilitas umum, tetapi juga merampas hak dasar masyarakat atas rasa aman. Aksi penembakan, intimidasi, dan penjarahan membuat warga kehilangan kepercayaan diri untuk tinggal di kampung halaman mereka.

Menurut laporan dari tokoh masyarakat Intan Jaya, Yonas Douw, situasi di beberapa kampung telah berubah drastis. Banyak keluarga yang meninggalkan rumah mereka dan memilih mengungsi ke Pos TNI yang lebih aman.

“Kami tidak tahu harus berbuat apa lagi. Setiap malam kami hidup dalam ketakutan, suara tembakan kerap terdengar. Anak-anak trauma, orang tua panik. Warga tidak bisa bekerja di kebun atau bersekolah. Ini bukan kehidupan yang layak,” ujar Yonas kepada media, Selasa (27/5/2025).

Ia menambahkan bahwa beberapa warga bahkan memilih berjalan kaki puluhan kilometer menuju daerah lain untuk mencari tempat yang lebih aman, karena tidak adanya akses transportasi yang aman di tengah ancaman bersenjata.

Hal ini turut dibenarkan oleh Kepala Distrik Sugapa, Silas Yogi, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 150 warga telah mengungsi ke kantor distrik dan Pos TNI yang dirasa lebih aman. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

“Kami berusaha semampunya memberikan tempat tinggal sementara dan bantuan makanan. Namun kemampuan kami terbatas. Yang dibutuhkan masyarakat sekarang adalah jaminan keamanan agar mereka bisa kembali ke rumah dan menjalani kehidupan normal,” kata Silas.

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Tokoh Adat Intan Jaya, Pius Kogoya, mengutuk keras aksi OPM yang dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat Papua, melainkan hanya menciptakan penderitaan baru.

“Mengusir rakyat dari tanah mereka sendiri adalah tindakan keji. Tidak ada satu pun alasan yang membenarkan tindakan tersebut. Jika mengaku membela rakyat Papua, seharusnya OPM melindungi, bukan menakut-nakuti,” tegas Pius.

Kondisi ini mendorong aparat keamanan untuk meningkatkan patroli dan pengamanan di titik-titik rawan. Namun di sisi lain, masyarakat berharap pendekatan dialog dan pembangunan dapat terus dilakukan secara intensif agar akar permasalahan bisa diselesaikan secara damai.

Gangguan yang terus dilakukan oleh OPM tidak hanya merusak stabilitas wilayah, tetapi juga memukul psikologis masyarakat lokal yang selama ini hanya ingin hidup damai di tanah kelahirannya. Kini, suara mereka semakin jelas: mereka menolak kekerasan, dan mendambakan perdamaian.

 

Anak-Anak Papua Butuh Guru dan Tenaga Kesehatan, Tetapi Dihalangi oleh Kelompok OPM

Papeda.com- Harapan anak-anak Papua untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan yang layak masih terus menghadapi tantangan besar. Salah satu kendala utama yang dihadapi adalah keberadaan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kerap menghalangi masuknya tenaga pengajar dan medis ke wilayah-wilayah pedalaman.

Di beberapa distrik seperti Nduga, Intan Jaya, dan Pegunungan Bintang, keluhan dari masyarakat terus bermunculan. Anak-anak yang seharusnya menikmati hak dasar atas pendidikan dan kesehatan justru terjebak dalam situasi sulit akibat gangguan dari kelompok separatis tersebut. OPM diketahui kerap menolak atau bahkan mengusir para guru dan tenaga medis dengan alasan yang tidak berdasar.

Salah seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, Pdt. Markus Yigibalom, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi ini.

“Kami sangat sedih melihat anak-anak kami tidak bisa sekolah atau mendapatkan pengobatan karena tenaga pengajar dan kesehatan takut masuk ke kampung-kampung. Hal ini terjadi karena ancaman dari kelompok OPM yang kerap menuding para guru dan petugas medis sebagai mata-mata pemerintah,” ujarnya, Senin (26/5/2025).

Menurutnya, masyarakat sebenarnya sangat menyambut baik kehadiran petugas yang ingin mengabdi. Namun, kelompok bersenjata justru memanfaatkan situasi tersebut untuk menanamkan rasa takut dan memperkuat pengaruh mereka.

Kondisi serupa juga diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga, Yulianus Mabel. Ia menyebutkan bahwa selama tiga tahun terakhir, puluhan guru terpaksa dipindahkan ke wilayah yang lebih aman karena kerap menjadi sasaran intimidasi.

“Kami ingin anak-anak di pedalaman bisa membaca, menulis, dan bermimpi besar. Tapi bagaimana bisa jika guru saja tidak diperbolehkan tinggal di sana? Ini adalah bentuk pelanggaran hak anak,” tegas Yulianus.

Dalam beberapa kasus, para petugas kesehatan yang hendak melakukan pelayanan rutin seperti imunisasi dan pemeriksaan ibu hamil pun mendapat perlakuan serupa. Mereka kerap dicegat di jalan atau dipaksa kembali dengan ancaman senjata.

OPM yang mengklaim berjuang untuk rakyat Papua, justru memperlihatkan tindakan yang kontradiktif dengan aspirasi masyarakat. Kelompok ini kerap menghalangi program-program kemanusiaan yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama anak-anak yang merupakan generasi penerus Papua.

Kondisi ini mendapat sorotan dari aktivis kemanusiaan lokal, Maria Duwitau. Ia menyampaikan bahwa tindakan OPM telah mencederai hak asasi anak-anak Papua.

“Anak-anak ini hanya ingin belajar dan sehat. Mengapa hal sesederhana itu harus mereka perjuangkan dengan ketakutan? Jika OPM benar membela rakyat, seharusnya mereka mendukung hadirnya guru dan petugas kesehatan, bukan mengusir mereka,” ujar Maria.

Pemerintah daerah bersama aparat keamanan terus berupaya menciptakan rasa aman agar pelayanan pendidikan dan kesehatan bisa berjalan kembali. Namun, selama OPM terus menggunakan kekerasan untuk menekan masyarakat, masa depan anak-anak Papua tetap terancam. Kehadiran OPM malah menambah daftar panjang penderitaan rakyat Papua khususnya rakyat Papua yang berada di pedalaman.

 

 

OPM Hanya Menambah Panjang Penderitaan Rakyat Papua

Papeda.com- Kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai sorotan publik setelah sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah Papua. Tindakan brutal yang dilakukan kelompok tersebut dinilai hanya memperpanjang penderitaan rakyat Papua yang selama ini menginginkan kehidupan damai dan sejahtera.

Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai laporan menunjukkan bahwa kelompok OPM terus melakukan penyerangan terhadap warga sipil, fasilitas umum, serta tenaga pendidikan dan kesehatan. Aksi-aksi tersebut menghambat program pembangunan dan pelayanan dasar di wilayah-wilayah terpencil Papua.

Tokoh masyarakat Papua, Pdt. Albertus Uamang, menyatakan bahwa klaim perjuangan OPM untuk kemerdekaan Papua sudah tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Menurutnya, kelompok tersebut kini lebih banyak merugikan rakyat Papua sendiri.

“Apa yang dilakukan OPM saat ini hanya menyisakan penderitaan bagi rakyat. Mereka menghambat guru, membakar sekolah, menyerang tenaga medis, bahkan membunuh warga sipil yang tidak bersalah yang sedang membuat infrastruktur di tanah Papua. Ini bukan perjuangan, ini adalah bentuk kekejaman,” ujar Albertus dalam wawancara di Wamena, Senin (26/5/2025).

Hal senada juga disampaikan oleh tokoh pemuda asal Yahukimo, Stefanus Wetipo. Ia menilai bahwa OPM telah kehilangan arah dan menjadikan rakyat sebagai tameng demi kepentingan kelompok kecil.

“Anak-anak kami tidak bisa sekolah, ibu-ibu takut pergi ke puskesmas, dan masyarakat trauma dengan suara tembakan. Apakah ini yang disebut perjuangan? Rakyat Papua tidak butuh perang, kami butuh kedamaian dan pembangunan,” tegas Stefanus.

Konflik bersenjata yang kerap terjadi di wilayah pegunungan seperti Nduga, Intan Jaya, dan Puncak telah membuat ribuan warga mengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman karena takut menjadi korban kekerasan. Akibatnya, anak-anak kehilangan akses pendidikan dan masyarakat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan serta bahan makanan.

Aktivis hak asasi manusia Papua, Maria Duwitay, juga mengkritik keras aksi OPM. Ia menilai bahwa kelompok tersebut telah menyalahgunakan nama Papua untuk melakukan tindakan kekerasan yang tidak manusiawi.

“Mengatasnamakan Papua lalu melakukan pembunuhan dan penjarahan terhadap rakyat Papua sendiri adalah ironi yang menyakitkan. Ini harus dihentikan,” tegas Maria.

Pemerintah bersama aparat keamanan terus berupaya merestorasi keamanan dan ketertiban di Papua. Meski demikian, tantangan besar tetap dihadapi, terutama karena OPM terus menyebar ketakutan melalui propaganda dan aksi bersenjata.

Sebagian besar rakyat Papua, terutama di pedalaman, kini justru berharap pada kehadiran negara dan aparat keamanan untuk memberikan perlindungan. Mereka ingin hidup dalam damai, tanpa teror dan intimidasi dari kelompok separatis.

 

Tragedi Kemanusiaan: Antonia Hilaria Wandagau Kehilangan Ibu Akibat Kebrutalan OPM

Papeda.com- Duka mendalam menyelimuti hati seorang anak perempuan Papua, Antonia Hilaria Wandagau (12), setelah kehilangan sang ibu atas nama Hetina Mirip dalam insiden keji yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Insiden memilukan itu terjadi di salah kampung Ku Jindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, ketika kelompok separatis tersebut menyerang permukiman warga sipil dengan senjata api dan aksi pembakaran, serta langsung dikubur tanpa ada upacara adat terlebih dahulu.

Peristiwa itu menewaskan beberapa orang, salah satunya adalah ibu kandung Antonia, yang menurut kesaksian warga, tewas setelah tertembak oleh anggota OPM sebelum rumahnya dibakar. Saat kejadian, Antonia selamat karena tengah berada di rumah tetangga yang berjarak beberapa ratus meter dari lokasi.

Antonia kini tinggal bersama kerabat jauhnya di rumah pengungsian sementara, dengan kondisi psikis yang masih terguncang. “Ia masih kerap menangis saat malam tiba dan selalu memeluk pakaian terakhir ibunya,” ungkap Maria Telenggen, relawan kemanusiaan yang kini mendampingi anak tersebut, Minggu (25/5/2025).

Tokoh masyarakat Papua, Yulianus Murib, menyampaikan keprihatinan dan kecaman keras terhadap tindakan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh OPM. “Perjuangan apa yang tega merenggut nyawa seorang ibu di depan anaknya? Ini bukan lagi soal ideologi. Ini adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa aksi-aksi kekerasan yang dilakukan OPM dalam beberapa tahun terakhir semakin menyasar warga sipil, tanpa pandang bulu. Banyak dari korban tersebut justru merupakan warga asli Papua yang tidak memiliki keterlibatan apa pun dengan konflik.

Berbagai pihak mendorong negara untuk memberikan perlindungan lebih besar bagi anak-anak korban konflik di Papua. Pendeta Benyamin Mote dari Lanny Jaya menyatakan bahwa negara harus hadir secara nyata dalam pemulihan trauma dan pemenuhan hak anak-anak seperti Antonia.

Antonia Hilaria Wandagau meminta kepada OPM, “jangan menyakiti kami apabila kelompok OPM tidak mampu memberikan kebahagiaan serta kesejahteraan bagi kami”, ujarnya

Ia menambahkan bahwa dirinya meminta perlindungan untuk keluarganya agar fijauhkan dari ancaman yang sadis dari kelompok OPM.

“Kami tidak ingin melihat Antonia tumbuh dalam kebencian. Ia harus mendapatkan kasih sayang, pendidikan, dan keamanan agar kelak menjadi generasi yang mencintai perdamaian,” ujarnya.

Pihak aparat keamanan juga telah mengutuk keras aksi kekerasan tersebut dan berjanji untuk menangkap pelaku penembakan dan pembakaran rumah warga. Proses investigasi telah dilakukan di wilayah kejadian, dengan pengamanan tambahan agar tidak terjadi insiden lanjutan.

Tragedi yang menimpa Antonia Hilaria Wandagau menjadi pengingat nyata bahwa konflik bersenjata di Papua telah menyisakan luka yang dalam bagi masyarakat sipil, terutama anak-anak. Negara dan semua elemen masyarakat dituntut untuk lebih sigap dan humanis dalam menangani dampak konflik ini. Papua butuh damai, bukan tangisan anak-anak yang kehilangan orang tua karena kekerasan.

 

 

Pasca Perpecahan Pimpinan, Banyak Anggota OPM Ingin Kembali ke Pangkuan NKRI

Papeda.com- Situasi internal dalam tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kian menunjukkan keretakan yang serius. Setelah munculnya ketegangan antara beberapa pimpinan faksi bersenjata, kini gelombang keinginan untuk kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai terlihat di kalangan para anggotanya.

Sumber dari tokoh masyarakat di wilayah pegunungan tengah Papua menyebutkan bahwa perpecahan di internal OPM, khususnya antara tokoh senior dan generasi muda, telah menimbulkan keresahan dan kebingungan di tingkat akar rumput. Ketidaksepahaman mengenai arah perjuangan dan konflik kepentingan antar elit OPM menjadi penyebab utama merosotnya kepercayaan para anggota terhadap kepemimpinan mereka.

Yance Wonda, seorang tokoh adat dari Kabupaten Puncak Jaya, menyampaikan bahwa pihaknya terus membuka ruang bagi siapa pun yang ingin kembali dan hidup damai bersama masyarakat. Ia menegaskan, “Kami melihat semakin banyak anak-anak muda yang dulu ikut bergabung dengan OPM, kini mulai sadar bahwa jalan kekerasan tidak membawa hasil. Mereka ingin hidup damai, bertani, dan bersekolah kembali”, Minggu (25/5/2025).

Senada dengan itu, Pendeta Benyamin Mote dari Lanny Jaya menyampaikan keprihatinannya atas kondisi generasi muda Papua yang terseret dalam konflik bersenjata. “Banyak dari mereka sebenarnya hanya ikut karena diajak, bukan karena benar-benar memahami apa yang diperjuangkan. Kini mereka melihat bahwa harapan hidup lebih baik justru ada bersama NKRI,” ujarnya.

Di sisi lain, masyarakat sipil berharap bahwa perpecahan di tubuh OPM ini menjadi momentum untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap negara. Kepala Kampung Kobakma, Thomas Telenggen, menyebut bahwa masyarakat di daerahnya mendukung penuh para mantan anggota OPM yang ingin kembali.

“Masyarakat tidak menaruh dendam. Kami justru mendukung mereka untuk hidup bersama, membangun kampung, dan menikmati pembangunan yang ada. Yang penting sekarang adalah damai,” ujarnya.

Perpecahan yang terjadi di internal OPM saat ini menjadi cerminan dari rapuhnya fondasi gerakan yang selama ini menggunakan senjata sebagai alat perjuangan. Ketika kepercayaan kepada pimpinan luntur, maka jalan kembali ke NKRI menjadi pilihan realistis bagi banyak anggotanya yang menginginkan kehidupan yang aman dan sejahtera bersama masyarakat Papua lainnya.

 

Retaknya Solidaritas OPM: Sebby Sambom Meminta Egianus Kogoya Minta Maaf Secara Terbuka

Papeda.com- Ketegangan internal di tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dua figur sentral dalam kelompok separatis bersenjata tersebut, yakni Sebby Sambom dan Egianus Kogoya, dikabarkan terlibat perselisihan tajam. Permintaan tersebut bukan hanya sekadar cerminan konflik pribadi antarindividu, tetapi lebih jauh menunjukkan adanya keretakan yang makin nyata di tubuh organisasi yang selama ini mengklaim sebagai representasi perjuangan rakyat Papua.

Dalam pernyataan tertulis yang beredar di sejumlah media daring pro-OPM, Sebby Sambom menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Egianus Kogoya dan kelompoknya di lapangan telah membuat gerakan OPM kehilangan simpati global. Menurutnya, aksi kekerasan membabi buta dan penyanderaan warga sipil telah mengaburkan garis perjuangan yang seharusnya berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.

“Kami tidak bisa membenarkan kekerasan yang tidak terkontrol. Egianus harus meminta maaf secara terbuka karena tindakan-tindakannya telah mempermalukan perjuangan Papua di mata dunia,” tulis Sebby dalam pernyataan tersebut, Sabtu (23/5/2025).

Ketegangan antara Sebby Sambom dan Egianus Kogoya mencerminkan dualisme yang semakin tajam dalam tubuh OPM. Sebby mewakili kubu yang berorientasi pada perjuangan diplomatik dan pendekatan politik melalui jalur internasional. Ia selama ini aktif menyuarakan narasi Papua merdeka di forum-forum dunia, termasuk melalui media asing dan organisasi hak asasi manusia.

Menurut sumber tersebut, Egianus bahkan menganggap Sebby Sambom terlalu “lembek” dan terlalu banyak berharap pada diplomasi internasional yang tidak menghasilkan kemajuan signifikan. Hal ini menambah kedalaman konflik internal yang selama ini hanya tersirat.

Konflik antara dua tokoh utama ini berdampak serius terhadap soliditas dan kepercayaan di kalangan anggota OPM, baik yang berada di lapangan maupun di luar negeri. Beberapa faksi OPM dilaporkan mulai bersikap netral, sementara lainnya menyatakan kesetiaan secara terbuka kepada salah satu dari dua tokoh tersebut.

Masyarakat Papua sendiri menyikapi konflik ini dengan beragam reaksi. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah yang terdampak langsung oleh aksi kekerasan OPM justru berharap konflik internal tersebut bisa menjadi momentum untuk memperlemah pengaruh kelompok separatis.

“Saya harap mereka terus bertengkar saja, karena kami lelah jadi korban,” ujar Bapak Daniel, tokoh masyarakat dari Yahukimo. “Banyak warga yang hanya ingin hidup tenang, tapi terus-menerus hidup dalam bayang-bayang senjata. Kalau mereka berkonflik, mungkin kampung kami bisa lebih aman.”

Perpecahan yang terjadi pada Sebby Sambom terhadap Egianus Kogoya mencerminkan krisis kepercayaan dan perpecahan serius dalam tubuh OPM. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai perjuangan kolektif, kini terpecah menjadi dua arah yang bertentangan. Satu sisi ingin bergerak melalui diplomasi, sementara sisi lain tetap memilih jalur kekerasan.

Bagi masyarakat Papua, konflik ini semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali arah masa depan yang lebih damai dan sejahtera. Harapan rakyat Papua bukanlah kekacauan atau perpecahan, melainkan keamanan, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak. Dan selama OPM terus terjebak dalam konflik internal, harapan itu akan tetap menjadi bayang-bayang yang jauh dari kenyataan.

 

OPM Kodap XI/Dogiyai Kembali Lakukan Gangguan terhadap Warga Sipil Menggunakan Senjata Api dan Anak Panah

Papeda.com- Situasi keamanan di wilayah Dogiyai kembali terganggu setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang mengatasnamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap XI/Dogiyai melakukan aksi teror terhadap masyarakat sipil.

Meski tidak menimbulkan korban jiwa dalam insiden ini, beberapa warga mengalami luka ringan akibat terkena serpihan panah dan harus dilarikan ke puskesmas terdekat. Kejadian ini memicu ketakutan luas dan membuat aktivitas masyarakat lumpuh untuk sementara waktu.

Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Kami tidak bisa lagi beraktivitas dengan tenang. Setiap hari ada saja ancaman dari kelompok itu. Kami hanya ingin hidup damai, tapi mereka terus mengganggu.”

Penyerangan terhadap masyarakat sipil bukanlah hal baru bagi OPM, khususnya kelompok bersenjata di bawah Kodap XI/Dogiyai. Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat berbagai kasus serupa terjadi di wilayah Moanemani dan kampung-kampung sekitar, mulai dari penodongan terhadap pedagang, pemalakan kepada sopir truk logistik, hingga pembakaran rumah-rumah warga.

Penggunaan senjata api oleh OPM memang bukan hal baru, namun penggunaan anak panah dalam aksi teror ini menunjukkan bahwa mereka juga memanfaatkan peralatan tradisional sebagai alat kekerasan. Anak panah yang selama ini identik dengan simbol budaya masyarakat Papua, kini berubah menjadi alat intimidasi yang digunakan untuk menyebarkan ketakutan.

Serangan ini terjadi di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui berbagai program pembangunan infrastruktur dan sosial. Pemerintah daerah Dogiyai bersama dengan pusat tengah berupaya membuka akses jalan, meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan, serta menyalurkan bantuan sosial bagi masyarakat pedalaman.

Namun aksi OPM yang berulang kali menyerang dan menakut-nakuti warga justru menjadi penghambat besar bagi program-program tersebut. Para pekerja pembangunan jalan, guru, tenaga medis, bahkan rohaniwan pun merasa tidak aman untuk menjalankan tugas mereka di daerah-daerah yang menjadi target gangguan.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Dogiyai, Michael Kogoya, menyampaikan keprihatinannya. “Kami ingin membantu warga, tapi tidak bisa bergerak jika ada ancaman senjata. Kami minta aparat menindak tegas kelompok yang merusak ketentraman ini.”

Menanggapi kondisi yang terus memburuk, sejumlah tokoh adat dan gereja di wilayah Meepago menyuarakan penolakan keras terhadap tindakan OPM yang merugikan masyarakat. Mereka menegaskan bahwa perjuangan sejati tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyat.

Pendeta Yonas Tebai, tokoh gereja setempat, dalam khotbah minggunya mengatakan, “Kita tidak bisa membenarkan kekerasan dengan alasan apapun. Masyarakat kita sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Jika benar ingin memperjuangkan Papua, jangan sakiti orang Papua sendiri.”

Insiden penyerangan terhadap masyarakat sipil oleh OPM Kodap XI/Dogiyai kembali menegaskan bahwa kelompok ini telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Papua itu sendiri. Dengan memanfaatkan senjata api dan alat tradisional seperti anak panah, mereka berupaya mempertahankan eksistensi melalui cara-cara kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.

Namun masyarakat kini semakin sadar bahwa tindakan brutal tersebut bukanlah bagian dari perjuangan, melainkan bentuk keputusasaan dari kelompok yang kehilangan arah. Pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat harus terus bersatu menghadapi ancaman ini dengan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan demi mewujudkan Papua yang damai, aman, dan sejahtera.

 

  Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul ...