Masyarakat
Papua Menyatakan Kehadiran OPM Membawa Dampak Negatif Bagi Kehidupan
Papeda.com- Kehadiran
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini mengklaim sebagai pembela
hak-hak masyarakat Papua, semakin menuai penolakan dari warga Papua itu
sendiri. Di berbagai wilayah konflik seperti Kabupaten Puncak, Intan Jaya, dan
Nduga, masyarakat mulai bersuara secara terbuka bahwa aktivitas OPM justru
memperburuk kondisi sosial, ekonomi, hingga psikologis warga sipil. Banyak
warga menilai bahwa OPM bukan lagi simbol perjuangan, melainkan sumber
ketakutan, kemunduran, dan penderitaan berkepanjangan.
Berbagai
insiden kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata ini telah
mengorbankan banyak pihak, termasuk tenaga pendidik, tenaga medis, tokoh adat,
hingga anak-anak sekolah. Situasi ini membuat masyarakat semakin sadar bahwa
perjuangan bersenjata yang dilakukan OPM tidak lagi sejalan dengan kepentingan
rakyat Papua, melainkan justru menghancurkan tatanan kehidupan mereka.
Salah
satu warga Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, berinisial YW (35), mengungkapkan
bahwa kehidupan mereka menjadi penuh tekanan sejak kelompok OPM aktif di
wilayahnya.
“Dulu
kami bisa berkebun dengan tenang, anak-anak pergi sekolah, dan pelayanan
kesehatan berjalan. Sekarang, kalau OPM muncul, semua orang sembunyi. Kami
takut disandera, dituduh mata-mata, atau dipaksa ikut kelompok mereka,”
ujarnya, Rabu (30/4/2025).
YW
juga menambahkan bahwa kehadiran aparat keamanan justru memberi rasa aman,
berbeda dengan propaganda yang sering digaungkan oleh OPM bahwa aparat adalah
musuh masyarakat.
“Kami
tahu siapa yang jaga kami, dan siapa yang bikin kacau,” tambahnya tegas.
Sektor
pendidikan menjadi salah satu yang paling terdampak akibat aktivitas kelompok
OPM. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di daerah pedalaman
terpaksa ditutup sementara karena guru-guru enggan kembali mengajar setelah
menjadi sasaran kekerasan. OPM kerap menuduh para guru sebagai agen pemerintah,
lalu mengintimidasi bahkan menyerang mereka.
Hal
yang sama terjadi di sektor kesehatan. Di berbagai distrik, petugas kesehatan
menjadi target penyanderaan atau kekerasan. Situasi ini membuat layanan
kesehatan terhenti dan masyarakat menjadi korban ganda—tak hanya kehilangan
rasa aman, tetapi juga akses terhadap layanan vital.
Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya, dr. Ferry Matuan, menyebut bahwa pihaknya
kesulitan mengirim tenaga medis ke wilayah rawan karena ancaman yang terus
terjadi.
“Kami
ingin menolong, tapi kalau tenaga medis dibunuh atau disandera, bagaimana kami
bisa bekerja? OPM membuat pelayanan publik lumpuh,” ujarnya prihatin.
Salah
satu praktik yang banyak dikeluhkan masyarakat adalah pemerasan yang dilakukan
kelompok OPM terhadap warga maupun perusahaan. Di berbagai tempat, kelompok ini
memaksa warga untuk menyumbang “dana perjuangan”, bahkan merampas hasil panen
atau ternak masyarakat.
Tak
jarang, perusahaan konstruksi atau logistik juga menjadi korban pemalakan dan
intimidasi bersenjata. Dampaknya sangat jelas: pembangunan infrastruktur
terhambat, distribusi logistik terganggu, dan ekonomi masyarakat melemah.
Tokoh
masyarakat di Distrik Gome, Marten Tabuni, menyatakan bahwa tindakan OPM sudah
tidak mewakili aspirasi masyarakat.
“Kalau
benar berjuang untuk rakyat, kenapa menyusahkan rakyat? Kami tidak ingin hidup
dalam tekanan. Biarkan kami bangun daerah kami,” ungkapnya.
Selain
kekerasan fisik, OPM juga gencar menyebarkan propaganda melalui media sosial
dan saluran informasi internasional. Mereka mencoba membangun narasi
seolah-olah seluruh masyarakat Papua mendukung kemerdekaan dan menolak
pemerintah pusat. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Generasi
muda Papua kini menjadi kelompok yang paling keras menyuarakan penolakan
terhadap kekerasan dan hasutan separatisme. Mereka ingin bersekolah, kuliah,
bekerja, dan membangun tanah kelahirannya tanpa harus dibayangi ancaman
kelompok bersenjata.
Salah
satu aktivis muda Papua, Melkianus Wenda, menyatakan bahwa generasi baru Papua
tidak ingin hidup seperti generasi sebelumnya yang terus dililit konflik.
“Kami
ingin maju seperti saudara kami di kota-kota lain. Kami tidak ingin diperalat
oleh orang-orang yang menyebar kebencian dari luar negeri sambil hidup nyaman
di sana,” katanya.
Penolakan
terhadap OPM tidak hanya datang dari warga biasa atau anak muda, tetapi juga
dari tokoh adat dan agama. Mereka mulai bersuara lebih lantang, menyatakan
bahwa jalan kekerasan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Papua yang
menjunjung tinggi kedamaian dan persaudaraan.
Rapat
adat di wilayah Lanny Jaya beberapa waktu lalu menghasilkan seruan bersama agar
masyarakat tidak terlibat dalam aktivitas OPM dan menolak ajakan bergabung
dengan kelompok separatis. Seruan ini kemudian diikuti dengan penandatanganan
pernyataan sikap dari 15 kepala suku.
“Sudah
cukup lama kami menderita. Sekarang saatnya kita bangun tanah kita bersama
pemerintah, bukan melawannya,” kata Kepala Suku besar Lanny Jaya, Yosias
Tabuni.
Dari
berbagai kesaksian masyarakat, tokoh adat, hingga pemuka agama, semakin jelas
bahwa kehadiran OPM bukan lagi dianggap sebagai harapan perjuangan, melainkan
sumber penderitaan. Masyarakat Papua kini lebih menginginkan stabilitas,
pembangunan, dan masa depan yang cerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.