Masyarakat Papua Menyatakan Kehadiran OPM Membawa Dampak Negatif Bagi Kehidupan

Papeda.com- Kehadiran Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini mengklaim sebagai pembela hak-hak masyarakat Papua, semakin menuai penolakan dari warga Papua itu sendiri. Di berbagai wilayah konflik seperti Kabupaten Puncak, Intan Jaya, dan Nduga, masyarakat mulai bersuara secara terbuka bahwa aktivitas OPM justru memperburuk kondisi sosial, ekonomi, hingga psikologis warga sipil. Banyak warga menilai bahwa OPM bukan lagi simbol perjuangan, melainkan sumber ketakutan, kemunduran, dan penderitaan berkepanjangan.

Berbagai insiden kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata ini telah mengorbankan banyak pihak, termasuk tenaga pendidik, tenaga medis, tokoh adat, hingga anak-anak sekolah. Situasi ini membuat masyarakat semakin sadar bahwa perjuangan bersenjata yang dilakukan OPM tidak lagi sejalan dengan kepentingan rakyat Papua, melainkan justru menghancurkan tatanan kehidupan mereka.

Salah satu warga Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, berinisial YW (35), mengungkapkan bahwa kehidupan mereka menjadi penuh tekanan sejak kelompok OPM aktif di wilayahnya.

“Dulu kami bisa berkebun dengan tenang, anak-anak pergi sekolah, dan pelayanan kesehatan berjalan. Sekarang, kalau OPM muncul, semua orang sembunyi. Kami takut disandera, dituduh mata-mata, atau dipaksa ikut kelompok mereka,” ujarnya, Rabu (30/4/2025).

YW juga menambahkan bahwa kehadiran aparat keamanan justru memberi rasa aman, berbeda dengan propaganda yang sering digaungkan oleh OPM bahwa aparat adalah musuh masyarakat.

“Kami tahu siapa yang jaga kami, dan siapa yang bikin kacau,” tambahnya tegas.

Sektor pendidikan menjadi salah satu yang paling terdampak akibat aktivitas kelompok OPM. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di daerah pedalaman terpaksa ditutup sementara karena guru-guru enggan kembali mengajar setelah menjadi sasaran kekerasan. OPM kerap menuduh para guru sebagai agen pemerintah, lalu mengintimidasi bahkan menyerang mereka.

Hal yang sama terjadi di sektor kesehatan. Di berbagai distrik, petugas kesehatan menjadi target penyanderaan atau kekerasan. Situasi ini membuat layanan kesehatan terhenti dan masyarakat menjadi korban ganda—tak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga akses terhadap layanan vital.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Intan Jaya, dr. Ferry Matuan, menyebut bahwa pihaknya kesulitan mengirim tenaga medis ke wilayah rawan karena ancaman yang terus terjadi.

“Kami ingin menolong, tapi kalau tenaga medis dibunuh atau disandera, bagaimana kami bisa bekerja? OPM membuat pelayanan publik lumpuh,” ujarnya prihatin.

Salah satu praktik yang banyak dikeluhkan masyarakat adalah pemerasan yang dilakukan kelompok OPM terhadap warga maupun perusahaan. Di berbagai tempat, kelompok ini memaksa warga untuk menyumbang “dana perjuangan”, bahkan merampas hasil panen atau ternak masyarakat.

Tak jarang, perusahaan konstruksi atau logistik juga menjadi korban pemalakan dan intimidasi bersenjata. Dampaknya sangat jelas: pembangunan infrastruktur terhambat, distribusi logistik terganggu, dan ekonomi masyarakat melemah.

Tokoh masyarakat di Distrik Gome, Marten Tabuni, menyatakan bahwa tindakan OPM sudah tidak mewakili aspirasi masyarakat.

“Kalau benar berjuang untuk rakyat, kenapa menyusahkan rakyat? Kami tidak ingin hidup dalam tekanan. Biarkan kami bangun daerah kami,” ungkapnya.

Selain kekerasan fisik, OPM juga gencar menyebarkan propaganda melalui media sosial dan saluran informasi internasional. Mereka mencoba membangun narasi seolah-olah seluruh masyarakat Papua mendukung kemerdekaan dan menolak pemerintah pusat. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Generasi muda Papua kini menjadi kelompok yang paling keras menyuarakan penolakan terhadap kekerasan dan hasutan separatisme. Mereka ingin bersekolah, kuliah, bekerja, dan membangun tanah kelahirannya tanpa harus dibayangi ancaman kelompok bersenjata.

Salah satu aktivis muda Papua, Melkianus Wenda, menyatakan bahwa generasi baru Papua tidak ingin hidup seperti generasi sebelumnya yang terus dililit konflik.

“Kami ingin maju seperti saudara kami di kota-kota lain. Kami tidak ingin diperalat oleh orang-orang yang menyebar kebencian dari luar negeri sambil hidup nyaman di sana,” katanya.

Penolakan terhadap OPM tidak hanya datang dari warga biasa atau anak muda, tetapi juga dari tokoh adat dan agama. Mereka mulai bersuara lebih lantang, menyatakan bahwa jalan kekerasan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Papua yang menjunjung tinggi kedamaian dan persaudaraan.

Rapat adat di wilayah Lanny Jaya beberapa waktu lalu menghasilkan seruan bersama agar masyarakat tidak terlibat dalam aktivitas OPM dan menolak ajakan bergabung dengan kelompok separatis. Seruan ini kemudian diikuti dengan penandatanganan pernyataan sikap dari 15 kepala suku.

“Sudah cukup lama kami menderita. Sekarang saatnya kita bangun tanah kita bersama pemerintah, bukan melawannya,” kata Kepala Suku besar Lanny Jaya, Yosias Tabuni.

Dari berbagai kesaksian masyarakat, tokoh adat, hingga pemuka agama, semakin jelas bahwa kehadiran OPM bukan lagi dianggap sebagai harapan perjuangan, melainkan sumber penderitaan. Masyarakat Papua kini lebih menginginkan stabilitas, pembangunan, dan masa depan yang cerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Sebby Sambom: Dalang di Balik Kekisruhan Tanah Papua

Papeda.com- Konflik berkepanjangan di Tanah Papua selama beberapa dekade telah menyebabkan banyak korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta ketertinggalan pembangunan. Di balik berbagai aksi kekerasan, propaganda, dan disinformasi yang beredar, nama Sebby Sambom kian mencuat sebagai sosok yang berperan aktif dalam mengobarkan instabilitas di wilayah timur Indonesia itu. Sebagai juru bicara dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby diduga menjadi otak di balik berbagai kekisruhan yang terjadi, baik dari sisi militerisasi kelompok separatis maupun dari segi narasi propaganda yang menyasar publik internasional.

Sebby Sambom dikenal publik sebagai juru bicara kelompok TPNPB-OPM. Dalam berbagai kesempatan, ia kerap mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan pemerintah Indonesia dan menghasut masyarakat Papua untuk menolak keberadaan negara. Namun, di balik perannya sebagai juru bicara, berbagai laporan intelijen dan investigasi media menyebutkan bahwa Sebby bukan sekadar penyampai pesan, melainkan aktor utama dalam perencanaan dan koordinasi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok separatis.

Selain aktif dalam koordinasi militan OPM, Sebby juga dikenal sebagai penyebar disinformasi dan propaganda di dunia internasional. Ia kerap menuduh pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran HAM tanpa bukti konkret, serta memutarbalikkan fakta-fakta lapangan untuk menarik simpati komunitas internasional.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia beberapa kali harus memberikan klarifikasi kepada negara-negara mitra setelah pernyataan Sebby Sambom beredar luas dan memicu persepsi keliru tentang situasi Papua.

"Setiap kali ada tindakan tegas aparat terhadap kelompok bersenjata, Sebby akan langsung menggiring narasi bahwa ini adalah pelanggaran HAM. Padahal, yang terjadi adalah aparat sedang melindungi warga sipil dari kekerasan separatis," ungkap salah satu diplomat senior Indonesia yang enggan disebutkan Namanya, Rabu (30/4/2025).

Bahkan, dalam beberapa laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), informasi yang disampaikan oleh pihak-pihak pro-OPM yang terafiliasi dengan Sebby sering kali terbukti tidak akurat dan bersifat sepihak. Hal ini menyebabkan terganggunya upaya diplomasi yang seharusnya mengedepankan solusi damai dan objektif.

Sebagai tokoh publik yang berafiliasi dengan kelompok separatis, Sebby Sambom tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moril atas berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Papua. Sejumlah insiden berdarah yang dilakukan oleh kelompok bersenjata OPM, terutama terhadap guru, tenaga kesehatan, pekerja proyek infrastruktur, dan masyarakat sipil, diduga kuat mendapat justifikasi atau dukungan moril dari Sebby.

Pada tahun 2023, dalam kasus pembunuhan brutal terhadap guru honorer dan tenaga kesehatan di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Sebby dengan gamblang menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari “perjuangan revolusioner”.

Pernyataan tersebut sontak menuai kecaman luas, baik dari dalam negeri maupun masyarakat Papua sendiri yang merasa dikorbankan dalam konflik yang tak kunjung usai.

"Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku memperjuangkan hak rakyat Papua, justru membenarkan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri?" tanya Elvira Noken, aktivis perempuan Papua dan pendiri Forum Masyarakat Cinta Damai.

Menurut Elvira, Sebby Sambom telah menyalahgunakan posisi dan pengaruhnya untuk mempertahankan kekerasan, alih-alih mendorong dialog dan rekonsiliasi.

Kehadiran Sebby Sambom dalam forum-forum internasional, baik secara langsung maupun melalui siaran pers, telah menimbulkan distorsi terhadap upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah di Papua.

Ia kerap mengklaim bahwa Papua sedang “dijajah” dan pembangunan yang dilakukan hanyalah kamuflase militerisasi. Padahal, data menunjukkan bahwa anggaran otonomi khusus yang dikucurkan untuk Papua setiap tahunnya terus meningkat, dengan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang berjalan signifikan.

Sebagai contoh, pada tahun 2024, pemerintah Indonesia mengalokasikan dana lebih dari Rp 12 triliun untuk pembangunan Papua dan Papua Barat, termasuk proyek strategis seperti jalan Trans Papua, peningkatan layanan rumah sakit daerah, dan program beasiswa anak Papua ke luar negeri. Namun, semua ini acap kali diabaikan atau dipelintir oleh Sebby dalam narasi anti pemerintah.

Meski Sebby Sambom terus menyuarakan narasi separatis, gelombang kesadaran masyarakat Papua untuk mendukung pembangunan dan kedamaian terus menguat. Banyak tokoh adat, pemuda, dan mantan anggota OPM yang kini menyatakan kembali ke pangkuan NKRI karena menyadari bahwa kekerasan hanya membawa kerugian.

Fenomena penyerahan diri dan ikrar setia kepada NKRI dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masyarakat Papua semakin menolak jalan kekerasan yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Sebby.

"Papua bukan milik satu kelompok atau satu suara. Papua adalah bagian sah dari Indonesia, dan rakyatnya ingin hidup damai dan sejahtera," tegas Kepala Suku di Lanny Jaya, Yonas Wenda.

Sebby Sambom adalah simbol dari upaya destruktif yang terus menghambat perdamaian dan pembangunan di Papua. Perannya sebagai juru bicara TPNPB-OPM bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga memprovokasi kekerasan, menyebar disinformasi, dan merusak citra Indonesia di mata dunia.


 

Sebby Sambom Pelaku Utama yang Mengadu Domba Masyarakat Papua

Papeda.com- Tanah Papua, yang seharusnya menjadi wilayah damai dan sejahtera di ujung timur Indonesia, hingga kini masih dibayangi konflik yang terus berulang. Ketegangan antara kelompok separatis bersenjata dan aparat keamanan, yang diperparah dengan disinformasi serta hasutan politik, menjadi batu sandungan dalam upaya pemerintah membangun wilayah ini. Salah satu tokoh yang berperan besar dalam memperkeruh suasana dan mengadu domba masyarakat Papua adalah Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Sebagai kelompok separatis, Sebby bukan hanya menyampaikan aspirasi kelompoknya, tetapi juga kerap melontarkan pernyataan-pernyataan provokatif yang memecah belah persatuan masyarakat Papua, bahkan memicu konflik horizontal antara sesama warga sipil. Dalam berbagai kesempatan, Sebby memutarbalikkan fakta, menyebarkan narasi penuh kebencian, dan menuduh berbagai pihak tanpa dasar yang jelas.

Dalam beberapa tahun terakhir, Sebby Sambom aktif menggunakan media sosial dan saluran komunikasi luar negeri untuk menyebarkan narasi bahwa Papua sedang dijajah, bahwa rakyat Papua ditindas oleh negara, dan bahwa satu-satunya jalan keluar adalah kemerdekaan. Narasi ini disampaikan berulang kali, seolah-olah mewakili suara keseluruhan masyarakat Papua.

Namun faktanya, masyarakat Papua terdiri dari beragam latar belakang budaya, agama, dan suku yang hidup berdampingan selama puluhan tahun. Upaya Sebby untuk menanamkan benih kebencian antar-kelompok di Papua, dengan menyebut warga non-Papua sebagai “pendatang penjajah” dan mendorong aksi kekerasan terhadap mereka, telah memicu ketegangan horizontal yang tak jarang berujung pada konflik terbuka di beberapa daerah.

Kepala Suku Dani di Lembah Baliem, Yakob Murib, menyatakan bahwa masyarakat Papua tidak ingin terlibat dalam kekerasan yang didorong oleh hasutan elite separatis di luar negeri.

“Kami ingin damai. Kami ingin anak-anak sekolah, kami ingin rumah sakit, jalan yang baik. Tapi Sebby hanya bicara soal perang dan kebencian,” tegasnya, Rabu (30/4/2025).

Salah satu taktik yang digunakan Sebby Sambom dalam mengadu domba masyarakat Papua adalah dengan menyebarkan disinformasi kepada dunia internasional. Ia kerap menyampaikan laporan sepihak tentang situasi HAM di Papua, sering kali tanpa bukti atau data yang akurat. Banyak dari pernyataan yang disebarkannya terbukti menyesatkan, bahkan bertentangan dengan fakta lapangan.

Provokasi yang dilakukan Sebby Sambom terbukti berdampak nyata di lapangan. Dalam sejumlah pernyataan publik, ia secara terbuka membenarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok OPM terhadap masyarakat sipil, khususnya terhadap tenaga kesehatan, guru, dan pekerja pembangunan.

Dalam insiden penyerangan terhadap para guru di Kabupaten Puncak pada 2023, Sebby menyatakan bahwa mereka adalah “agen negara” dan pantas menjadi sasaran. Padahal, para korban adalah warga sipil yang sedang menjalankan tugas pendidikan di daerah pedalaman.

Pernyataan-pernyataan seperti itu menunjukkan bahwa Sebby tidak hanya menjadi provokator, tetapi juga menyokong tindakan teror terhadap rakyat Papua sendiri. Aksi ini menunjukkan bahwa perjuangan yang diklaim sebagai demi rakyat Papua justru menjadi alat pemecah belah dan pelukai masyarakatnya sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Sebby Sambom juga menyasar generasi muda Papua sebagai target utama propaganda separatis. Melalui kanal media sosial dan jaringan mahasiswa yang terafiliasi dengan gerakan pro-OPM, ia menyebarkan narasi negatif tentang pemerintah Indonesia, mendiskreditkan pembangunan, dan menyemai ideologi separatis sejak usia dini.

Badan Intelijen Negara (BIN) mencatat adanya peningkatan penyebaran materi separatis di platform digital sejak 2022, yang sebagian besar berasal dari jaringan luar negeri, termasuk dari Sebby Sambom. Hal ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas jangka panjang, karena generasi muda yang seharusnya menjadi agen pembangunan justru diracuni dengan kebencian dan ajakan untuk memisahkan diri dari negara.

Menyadari bahaya provokasi yang dilakukan oleh tokoh seperti Sebby Sambom, para tokoh adat, agama, dan pemuda Papua kini semakin aktif melawan narasi kebencian tersebut. Mereka menggalang solidaritas lintas komunitas dan menyuarakan pentingnya perdamaian dan pembangunan di Papua dalam bingkai NKRI.

Uskup Jayapura, Mgr. Yanuarius You, dalam sebuah khotbahnya, mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak luar yang tidak hidup di tengah-tengah penderitaan rakyat Papua.

“Jangan percaya kepada mereka yang hanya muncul lewat layar, tapi tidak pernah hadir membantu di tanah ini,” ujarnya.

Keberadaan Sebby Sambom sebagai provokator yang mengadu domba masyarakat Papua tidak dapat dipandang sebelah mata. Melalui propaganda, disinformasi, dan hasutan kebencian, ia menjadi salah satu penghalang terbesar dalam terciptanya kedamaian di Papua.

 

OPM Eksploitasi Pelajar untuk Propaganda: Ancaman Baru bagi Masa Depan Papua

Papeda.com- Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan taktik keji dalam memperjuangkan agenda politiknya. Informasi terbaru dari aparat keamanan dan laporan sejumlah tokoh masyarakat menyebutkan bahwa OPM mulai memanfaatkan pelajar di Papua untuk dijadikan alat propaganda. Tindakan ini dikhawatirkan memperburuk masa depan generasi muda Papua, sekaligus menegaskan bahwa OPM semakin kehilangan legitimasi moral dalam memperjuangkan tujuannya.

Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa OPM sengaja melibatkan anak-anak sekolah dalam berbagai kegiatan berbau politis, mulai dari pawai, pengibaran bendera Bintang Kejora, hingga pembuatan video yang disebarluaskan ke media sosial. Praktik ini jelas melanggar norma hukum nasional dan internasional yang melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam konflik politik dan kekerasan.

Tindakan OPM ini jelas melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak yang telah diatur dalam berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi Hak Anak PBB yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Pakar hukum internasional dari Universitas Padjadjaran, Prof. Hikmahanto Juwana, mengecam keras eksploitasi anak-anak dalam konflik politik.

"Melibatkan anak-anak dalam aktivitas politik, apalagi bersifat separatis, merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak anak. Anak-anak berhak atas pendidikan, keamanan, dan masa depan yang cerah, bukan dijadikan alat kepentingan politik," ujar Prof. Hikmahanto, Selasa (29/4/2025).

Ia menambahkan bahwa praktik ini juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikologis terhadap anak-anak, yang berdampak jangka panjang pada perkembangan mental dan sosial mereka.

Menanggapi situasi ini, pemerintah pusat dan daerah telah mengambil langkah cepat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa pemerintah memperkuat program perlindungan anak di wilayah Papua, termasuk di daerah-daerah rawan konflik.

"Kami mengutuk keras pelibatan anak-anak dalam propaganda separatis. Kami bersama aparat keamanan dan pemerintah daerah sedang memperkuat perlindungan terhadap pelajar, termasuk dengan menghadirkan pendidikan damai di sekolah-sekolah," ujar Menteri Bintang.

Program-program seperti peningkatan kualitas guru, penyuluhan nilai-nilai nasionalisme, serta bantuan psikososial bagi anak-anak korban konflik mulai dijalankan lebih intensif sejak awal tahun 2025.

Salah satu guru di Kabupaten Puncak, yang tidak ingin disebutkan namanya, menceritakan bagaimana anak-anak didesak oleh kelompok separatis untuk mengikuti aksi-aksi propaganda.

"Anak-anak diancam jika tidak mau ikut pawai atau tidak mau menyanyikan lagu-lagu separatis. Mereka ketakutan, tapi tidak bisa melawan karena OPM membawa senjata," kata guru tersebut.

Ia menambahkan bahwa banyak guru di daerah rawan merasa khawatir akan keselamatan mereka dan para murid, mengingat aparat negara tidak selalu bisa hadir di setiap saat.

"Saya berharap pemerintah memperbanyak pengamanan dan mempercepat pembangunan di daerah kami, agar anak-anak bisa belajar dengan aman," tambahnya.

Sebagai bagian dari pendekatan non-kekerasan, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil kini mendorong program-program edukasi damai untuk mencegah radikalisasi anak-anak di Papua.

Program seperti Sekolah Damai Papua telah mulai diterapkan di beberapa distrik. Program ini mengajarkan nilai-nilai toleransi, cinta tanah air, serta resolusi konflik tanpa kekerasan kepada para pelajar.

Direktur Yayasan Harapan Papua, Maria Mandowen, mengatakan bahwa pendidikan damai menjadi kunci untuk memutus siklus kekerasan di Papua.

"Kalau sejak kecil anak-anak sudah dijejali narasi kebencian, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang penuh luka. Tapi kalau sejak kecil mereka diajarkan tentang damai, masa depan Papua akan lebih cerah," ujarnya.

Eksploitasi pelajar oleh OPM untuk kepentingan propaganda separatis tidak hanya mencederai hak-hak anak, tetapi juga menunjukkan bahwa kelompok ini semakin kehilangan basis perjuangan yang bermartabat.

Masa depan Papua ada di tangan anak-anaknya. Tidak boleh ada satu pun pihak yang mencuri harapan mereka dengan kekerasan dan propaganda sesat.

 

OPM Masuk Paksa ke Sekolah, Rekrut Pelajar untuk Dijadikan Anggota: Ancaman Serius terhadap Pendidikan Papua

Papeda.com- Kekhawatiran terhadap dunia pendidikan di Papua kembali mencuat setelah laporan terbaru menunjukkan bahwa kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan aksi pemaksaan terhadap pelajar. Dengan masuk secara paksa ke sekolah-sekolah di daerah pedalaman, OPM merekrut siswa untuk dijadikan anggota kelompok mereka, mencederai hak anak atas pendidikan dan masa depan yang layak.

Peristiwa ini dilaporkan terjadi di beberapa distrik rawan konflik seperti di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, dan Puncak. Aksi ini memperlihatkan betapa kelompok separatis kini menghalalkan segala cara untuk

Pendidikan di Papua, terutama di daerah terpencil, sudah sejak lama menghadapi berbagai tantangan mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga kekurangan tenaga pengajar. Kini, ancaman dari kelompok separatis seperti OPM semakin memperparah kondisi tersebut.

Direktur Lembaga Pendidikan Anak Papua (LPAP), Samuel Matuan, menyayangkan tindakan OPM yang memperalat pelajar demi kepentingan politik bersenjata mereka.

"Anak-anak seharusnya berada di ruang kelas, belajar untuk membangun masa depan yang lebih baik. Bukan dipaksa mengangkat senjata. Ini adalah kejahatan kemanusiaan," tegas Samuel.

Ia menambahkan bahwa trauma yang dialami anak-anak akibat intimidasi tersebut bisa berdampak jangka panjang, mengganggu perkembangan psikologis dan sosial mereka.

Sejumlah guru yang berhasil dievakuasi dari Distrik Kenyam menceritakan ketakutan mereka saat OPM memasuki lingkungan sekolah. Seorang guru yang enggan disebutkan namanya mengaku sempat disekap oleh kelompok tersebut.

"Mereka datang tiba-tiba, membawa senjata. Kami disuruh kumpul semua murid laki-laki. Mereka berbicara tentang perjuangan, lalu memaksa beberapa siswa ikut mereka. Kami tidak bisa berbuat banyak, karena kami takut akan keselamatan anak-anak," ceritanya dengan suara bergetar.

Seorang siswa kelas VIII yang berhasil selamat mengatakan bahwa teman-temannya yang diambil paksa dibawa masuk ke hutan dan belum diketahui keberadaannya hingga kini.

"Kami semua takut. Sekarang kami tidak berani datang ke sekolah lagi," ujar siswa tersebut.

Dalam menghadapi situasi ini, para pemerhati Papua menekankan pentingnya solusi jangka panjang melalui pendidikan dan rekonsiliasi sosial.

Pemerintah daerah bersama organisasi masyarakat sipil mulai menginisiasi program "Papua Tanpa Kekerasan", yang bertujuan membangun ketahanan sosial masyarakat terhadap propaganda separatis dan kekerasan.

Program ini berfokus pada pendidikan toleransi, pelatihan vokasional untuk remaja, serta penyediaan beasiswa untuk mendorong anak-anak Papua melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Masuknya OPM secara paksa ke sekolah dan perekrutan pelajar sebagai anggota menunjukkan bahwa kelompok ini semakin terdesak dan nekat dalam mempertahankan eksistensinya. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum nasional dan internasional, tetapi juga menghancurkan masa depan anak-anak Papua.

 

Ironi Besar: Mengklaim HAM, Namun OPM Melanggar HAM

Papeda.com- Selama ini, OPM kerap mengangkat isu pelanggaran HAM sebagai dalih untuk menuntut kemerdekaan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tindakan menyerang Kepala Komnas HAM lembaga negara yang justru berdedikasi untuk mengadvokasi hak-hak warga Papua membuktikan bahwa OPM tidak memahami esensi HAM itu sendiri.

Berdasarkan laporan dari pihak Komnas HAM dan aparat keamanan setempat, insiden bermula ketika rombongan Komnas HAM melakukan perjalanan darat menuju Distrik Moskona pada Minggu sore. Di tengah perjalanan, sekitar pukul 07.00 WIT, mereka dihentikan oleh sekelompok orang bersenjata di jalan kecil yang mengarah ke kampung-kampung terpencil.

Tanpa memberikan kesempatan berdialog, kelompok tersebut langsung melepaskan tembakan ke arah rombongan. Beruntung, tidak ada korban jiwa pada insiden tersebut, rombongan langsung bersembunyi di tempat yang aman dan terhindar dari tembakan kelompok OPM. Senin (28/4/2025).

Ketua Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro, mengutuk keras serangan tersebut. Ia menegaskan bahwa kehadiran Komnas HAM di Papua semata-mata untuk mendengar, mendokumentasikan, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua.

"Kami datang untuk membawa suara mereka ke tingkat nasional dan internasional. Namun ironisnya, justru kami diserang. Ini menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang tidak menginginkan adanya transparansi dan keadilan," ujar Atnike dalam konferensi pers di Jakarta.

Lebih jauh, Atnike menambahkan bahwa insiden ini tidak akan menghentikan Komnas HAM dalam menjalankan tugasnya di Papua. "Kami tetap berkomitmen untuk mendampingi masyarakat Papua, dengan atau tanpa ancaman," katanya.

Pengamat HAM dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Bivitri Susanti, mengatakan bahwa serangan terhadap Komnas HAM merupakan bukti nyata bahwa sebagian kelompok di Papua tidak benar-benar memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia.

"Kalau mereka sungguh-sungguh memperjuangkan HAM, maka aparat-aparat seperti Komnas HAM seharusnya dilindungi, bukan dijadikan target kekerasan," ujar Bivitri.

Senada dengan itu, tokoh masyarakat Papua, Albert Yoku, mengecam tindakan OPM tersebut. Ia menegaskan bahwa kekerasan hanya akan semakin menjauhkan Papua dari kedamaian dan kesejahteraan.

"Kekerasan tidak pernah menjadi jalan menuju keadilan. Yang menjadi korban adalah rakyat biasa," kata Albert.

Sejumlah organisasi internasional, seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, turut memantau perkembangan situasi ini. Meskipun HRW belum mengeluarkan pernyataan resmi, sumber internal menyebutkan bahwa mereka "sangat prihatin" terhadap keselamatan pekerja kemanusiaan di Papua.

Pemerintah Australia, melalui Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), juga mengeluarkan pernyataan resmi yang menyerukan penghormatan terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan di wilayah konflik.

"Kami mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan dan menyerukan semua pihak untuk menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan," demikian kutipan dari pernyataan tersebut.

Insiden penyerangan terhadap Kepala Komnas HAM di Distrik Moskona menjadi pukulan telak terhadap kredibilitas moral OPM di mata nasional maupun internasional. Tindakan brutal ini menunjukkan ketidakmatangan mereka dalam memperjuangkan hak-hak politik dan sosial masyarakat Papua secara bermartabat.

 OPM semakin terdesak dengan kedatangan Apkam, OPM berlari berhamburan kedalam hutan

Papeda.com- Situasi keamanan di wilayah Papua kembali memanas setelah aparat keamanan gabungan TNI dan Polri melakukan operasi penegakan hukum terhadap kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Operasi yang dilakukan di beberapa distrik rawan, termasuk Distrik Bibida dan Homeyo di Kabupaten Intan Jaya, berhasil memukul mundur OPM hingga kelompok itu lari berhamburan ke dalam hutan.

Kondisi ini menandai kemajuan signifikan dalam upaya pemerintah untuk menegakkan kedaulatan dan menjaga stabilitas di Bumi Cenderawasih. Data sementara menunjukkan, banyak anggota OPM meninggalkan pos-pos persembunyian mereka setelah tidak mampu menghadapi kekuatan terkoordinasi dari aparat keamanan.

Sejak operasi ini digencarkan, serangkaian kontak tembak terjadi di beberapa titik, namun aparat keamanan berhasil menguasai situasi. OPM yang tidak siap menghadapi kekuatan gabungan, memilih melarikan diri ke dalam hutan-hutan lebat di pegunungan Papua.

Pelarian OPM ke hutan bukanlah hal baru. Namun, saat ini pola tersebut semakin teridentifikasi oleh aparat keamanan. Berbekal peta operasi dan informasi dari masyarakat lokal, aparat mampu memperkirakan jalur pelarian serta lokasi-lokasi persembunyian yang biasa digunakan.

Menurutnya, keberhasilan operasi ini juga tidak lepas dari peran serta masyarakat yang semakin berani melaporkan pergerakan kelompok separatis.

Fenomena lain yang semakin nyata adalah berkurangnya dukungan masyarakat lokal terhadap OPM. Selama ini, kelompok tersebut kerap memanfaatkan ketakutan warga untuk mendapatkan logistik maupun tempat berlindung. Namun, dengan pendekatan humanis aparat serta program-program kesejahteraan yang dijalankan pemerintah, simpati masyarakat kini mulai bergeser.

Sejumlah tokoh adat dan pemuda di Intan Jaya dan Puncak Jaya menyatakan dukungan mereka terhadap operasi yang dilakukan pemerintah. Mereka menilai kehadiran aparat justru membawa rasa aman yang selama ini hilang akibat teror kelompok bersenjata.

"Kami ingin hidup damai. Anak-anak harus bisa sekolah tanpa takut. Ekonomi harus berjalan. Kalau ada kelompok yang mau mengacau, wajar kalau negara bertindak," kata Yulius Tabuni, salah satu tokoh pemuda di Distrik Sugapa, Senin (28/4/2025).

Saat ini, keberadaan OPM di beberapa wilayah tinggal berupa kelompok-kelompok kecil tanpa komando yang jelas. Informasi dari lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini terpecah-pecah dan mengalami kesulitan logistik.

Meski keberhasilan sementara telah dicapai, aparat keamanan tetap mewaspadai kemungkinan perubahan taktik dari OPM menjadi perang gerilya dengan memanfaatkan kondisi geografis Papua yang sulit.

"Memang tidak mudah menghabisi seluruh potensi ancaman dalam waktu singkat. Kita butuh strategi jangka panjang, tidak hanya operasi militer, tetapi juga pendekatan kesejahteraan dan edukasi," kata Kolonel Inf Wahyu Widiantoro.

Pemerintah pusat pun telah mengantisipasi hal ini dengan melanjutkan pembangunan infrastruktur, layanan pendidikan, serta memperluas program-program ekonomi berbasis masyarakat di Papua.

"Pendekatan keamanan tetap penting, tetapi pembangunan adalah kunci jangka panjang," tambah Kolonel Wahyu.

Keberhasilan sementara aparat keamanan dalam menggempur dan memukul mundur OPM menjadi titik balik penting dalam upaya menciptakan Papua yang damai dan sejahtera. Pelarian kelompok separatis ke hutan menandakan lemahnya kekuatan mereka saat ini, namun aparat tetap harus siaga terhadap potensi ancaman yang masih tersisa.


 

OPM Panik, Warga Papua Bersatu Melawan Keberadaan OPM

Papeda.com- Situasi keamanan di berbagai wilayah Papua menunjukkan perkembangan positif dengan semakin solidnya sikap masyarakat dalam menolak keberadaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masyarakat dari berbagai latar belakang, mulai dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, hingga warga biasa, kini bersatu padu mendukung aparat keamanan untuk melawan dan mengakhiri aksi-aksi separatis OPM yang telah lama mengganggu ketenteraman Tanah Papua.

Solidaritas rakyat Papua ini menyebabkan kepanikan di kalangan anggota OPM yang kian kehilangan dukungan sosial dan basis operasional di banyak daerah.

Dalam beberapa bulan terakhir, gerakan kolektif penolakan terhadap OPM semakin menguat di berbagai kabupaten di Papua. Masyarakat mulai menyadari bahwa keberadaan OPM tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat Papua, melainkan justru membawa penderitaan, kekerasan, dan keterbelakangan bagi daerah mereka.

Tokoh adat asal Puncak Jaya, Bapak Yance Murib, menyatakan bahwa masyarakat kini melihat jelas bahwa kekerasan yang dilakukan oleh OPM hanya merugikan rakyat sendiri.

"Kami sudah cukup menderita. Banyak keluarga kehilangan anggota keluarganya karena kekerasan. OPM tidak lagi berbicara untuk rakyat. Mereka hanya membawa ketakutan dan kehancuran. Sekarang, kami berdiri bersama untuk melawan mereka," tegas Yance Murib saat menghadiri forum musyawarah adat di Distrik Mulia, Minggu (27/4/2025).

Selain tokoh adat, pemuka agama di Papua juga aktif menyerukan pentingnya menjaga perdamaian. Pendeta Samuel Tabuni dari Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menyampaikan bahwa tindakan separatisme dan kekerasan yang dilakukan oleh OPM bertentangan dengan nilai-nilai iman dan kasih.

"Agama mengajarkan kita untuk mengasihi, bukan membunuh. Tidak ada tempat untuk kekerasan di tanah yang diberkati ini. Kita harus bersama-sama menghapuskan segala bentuk kekerasan agar Papua dapat maju," kata Pendeta Samuel dalam khotbahnya di Wamena.

Tokoh adat dan agama kini aktif mengunjungi kampung-kampung, menyosialisasikan pentingnya persatuan, perdamaian, dan dukungan terhadap upaya penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok bersenjata.

Generasi muda Papua tampil menjadi motor penggerak utama dalam melawan propaganda dan tindakan OPM. Di berbagai wilayah, forum-forum diskusi pemuda diselenggarakan untuk memperkuat pemahaman tentang nasionalisme dan pentingnya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketua Forum Pemuda Papua Bersatu, Markus Pigai, menegaskan bahwa pemuda Papua memiliki masa depan cerah yang tidak boleh dikorbankan oleh aksi-aksi kekerasan OPM.

"Kami ingin membangun Papua. Kami ingin mengejar pendidikan, membangun usaha, dan berkontribusi untuk kemajuan daerah kami. OPM hanya membawa keterbelakangan dan kehancuran. Kami menolak keras keberadaan mereka," ujar Markus dalam deklarasi pemuda di Nabire.

Solidaritas masyarakat Papua yang semakin menguat menimbulkan kepanikan di tubuh OPM. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa OPM mulai kehilangan basis dukungan, bahkan di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi kantong kekuatan mereka.

Beberapa anggota OPM bahkan dikabarkan menyerahkan diri kepada aparat keamanan, menyadari bahwa perjuangan mereka tidak lagi mendapat legitimasi dari rakyat. Di sejumlah wilayah seperti Puncak, Intan Jaya, dan Nduga, terjadi gelombang pembelotan anggota OPM yang memilih kembali ke pangkuan NKRI.

Menurut sumber di lapangan, OPM kini kesulitan merekrut anggota baru. Banyak warga yang dulunya dipaksa bergabung kini berani menolak, berkat perlindungan yang diberikan oleh aparat keamanan dan dukungan komunitas lokal.

Semangat baru di Papua kini mengarah kepada satu tujuan besar: mewujudkan Tanah Papua yang damai, maju, dan sejahtera. Dengan semakin luasnya penolakan terhadap OPM dan semakin kuatnya solidaritas rakyat Papua, masa depan cerah kini terbentang di depan mata.

Masyarakat Papua sadar bahwa masa depan yang damai hanya bisa dibangun dengan persatuan, bukan dengan perpecahan. Mereka kini menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI di ujung timur Indonesia.

 

Seluruh Elemen Masyarakat Tanah Papua Menolak Keberadaan OPM

Papeda.com- Di tengah upaya pemerintah dan aparat keamanan (Apkam) dalam menjaga stabilitas di wilayah Papua, dukungan dari seluruh elemen masyarakat terus mengalir untuk menolak keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penolakan ini mencerminkan kesadaran kolektif warga Papua bahwa OPM bukanlah representasi aspirasi rakyat, melainkan sumber kekacauan, ketakutan, dan penderitaan di Bumi Cenderawasih.

Dalam berbagai pertemuan, deklarasi, hingga aksi damai, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan masyarakat umum menyatakan sikap tegas: Papua membutuhkan perdamaian, bukan kekerasan; pembangunan, bukan perpecahan.

Berbagai komunitas di Papua, mulai dari wilayah pesisir hingga pedalaman, secara terbuka mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kehadiran OPM. Salah satu deklarasi penting dilakukan di Wamena, di mana perwakilan adat dari berbagai suku membacakan pernyataan bersama yang menolak segala bentuk aksi kekerasan dan separatisme.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) wilayah Lapago, Markus Telenggen, menegaskan bahwa warga Papua saat ini menginginkan hidup damai dan fokus pada pembangunan. "Kami lelah dengan kekerasan. OPM tidak mewakili kami. Yang kami inginkan adalah anak-anak kami bisa sekolah dengan aman, petani bisa bekerja tanpa takut, dan pembangunan terus berjalan," ujar Markus, Minggu (27/4/2025).

Penolakan ini tidak hanya datang dari kalangan tua. Generasi muda Papua, melalui organisasi kepemudaan, juga gencar menyuarakan hal serupa. Ketua Pemuda Adat Papua, Yonas Wenda, menyebut bahwa masa depan Papua terletak pada pendidikan dan pembangunan, bukan konflik bersenjata. "Cukup sudah darah tumpah di tanah ini. Kita ingin bergerak maju bersama Indonesia," tegasnya.

Berbagai insiden penyerangan terhadap warga sipil, pembakaran fasilitas umum, dan teror bersenjata yang dilakukan oleh kelompok OPM dalam beberapa tahun terakhir telah memperparah penderitaan masyarakat Papua. Di banyak daerah, OPM kerap memaksa warga untuk mendukung gerakan mereka dengan ancaman kekerasan.

Salah seorang warga dari Kabupaten Intan Jaya, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan bahwa kelompok OPM sering datang ke kampung-kampung untuk meminta logistik secara paksa. "Kalau tidak diberi, mereka ancam bakar rumah. Kami hidup dalam ketakutan," ujarnya.

Kondisi ini memperjelas bahwa OPM telah kehilangan legitimasi di mata masyarakat. Aksi-aksi mereka lebih banyak membawa ketakutan daripada memperjuangkan aspirasi rakyat Papua. Masyarakat kini sadar bahwa kekerasan hanya memperburuk keadaan dan menghambat kemajuan daerah mereka.

Tokoh-tokoh agama di Papua juga mengambil peran aktif dalam meredakan ketegangan dan mengajak masyarakat untuk menolak kekerasan. Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, dalam beberapa kesempatan menyerukan agar masyarakat menjauhi aksi-aksi separatis dan fokus pada upaya perdamaian.

"Kekerasan tidak pernah membawa solusi. Kami, gereja-gereja di Papua, mengajak semua umat untuk menjadi pelaku damai dan menolak segala bentuk tindakan yang memecah belah persaudaraan kita," ujarnya dalam khotbahnya di Jayapura.

Seruan damai dari tokoh agama ini mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan masyarakat yang mendambakan kehidupan yang aman dan tenteram.

Dukungan penuh masyarakat Papua terhadap penolakan OPM memperlihatkan bahwa masa depan Papua berada di jalan damai, bukan jalan kekerasan. Banyak warga kini memahami bahwa membangun tanah kelahiran mereka lebih penting daripada terjebak dalam konflik tak berujung.

Berbagai komunitas di Papua kini aktif dalam program pemberdayaan masyarakat, penguatan pendidikan, dan usaha kecil menengah (UKM). Anak-anak muda Papua, dengan semangat baru, memilih jalur pendidikan tinggi dan usaha mandiri daripada terlibat dalam gerakan separatisme.

Harapan besar pun tumbuh di seluruh pelosok Papua, bahwa tanah penuh keindahan ini akan menjadi wilayah yang damai, maju, dan sejahtera, di mana semua warga hidup berdampingan tanpa rasa takut.

Masyarakat Papua telah berbicara dengan jelas, mereka menolak OPM dan segala bentuk kekerasan. Kini saatnya semua pihak bersatu membangun Papua yang lebih baik, demi masa depan yang cerah untuk generasi yang akan datang.

 

Berbagai Kalangan di Papua Dukung Aparat untuk Tindak Tegas Keberadaan OPM

Papeda.com- Dukungan terhadap aparat keamanan (Apkam) dalam menindak tegas keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meluas di berbagai wilayah Papua. Berbagai kalangan masyarakat, mulai dari tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, hingga warga sipil, menyuarakan keinginan bersama untuk mengembalikan kedamaian dan ketertiban di Tanah Papua.

Mereka menilai bahwa tindakan tegas terhadap kelompok separatis bersenjata tersebut merupakan langkah penting untuk memastikan stabilitas, keamanan, dan percepatan pembangunan di seluruh wilayah Papua.

Tokoh adat dari wilayah Meepago, Simon Telenggen, menyampaikan bahwa masyarakat Papua sudah terlalu lama menjadi korban konflik yang diciptakan oleh kelompok OPM. Ia menegaskan bahwa tindakan tegas perlu diambil untuk melindungi masyarakat sipil dari ancaman kekerasan.

“Kami sebagai pemilik tanah ini tidak mau lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Kami ingin anak-anak kami sekolah dengan tenang, para petani bisa berkebun tanpa dihantui rasa takut. Aparat keamanan harus bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang masih mengganggu ketenangan ini," ujarnya dalam sebuah pertemuan komunitas di Paniai, Minggu (27/4/2025).

Seruan yang sama juga datang dari berbagai suku besar di Papua. Mereka menganggap tindakan tegas bukanlah bentuk pelanggaran hak, melainkan upaya perlindungan hak-hak dasar warga untuk hidup aman dan damai di tanah kelahiran mereka.

Selain tokoh adat, kalangan pemuka agama di Papua juga menyuarakan dukungan terhadap langkah tegas aparat. Pendeta Lukas Wonda dari Gereja Kristen Injili di Papua (GKI Papua) menekankan bahwa kekerasan, baik dalam bentuk apapun, bertentangan dengan nilai-nilai iman dan kemanusiaan.

"Kekerasan yang terus-menerus tidak akan pernah membawa perdamaian. Kami mendukung pemerintah dan aparat keamanan untuk menegakkan hukum. OPM harus dihentikan agar masyarakat tidak terus-menerus menjadi korban," tegasnya.

Menurutnya, gereja-gereja di Papua siap mendukung upaya rekonsiliasi dan pemulihan sosial pasca tindakan hukum terhadap kelompok-kelompok bersenjata. Gereja juga mengajak seluruh umat untuk tidak mudah terprovokasi oleh propaganda yang memecah belah persatuan.

Generasi muda Papua juga tidak tinggal diam. Ketua Forum Pemuda Nusantara Papua, Yulius Tabuni, mengatakan bahwa pemuda Papua mendukung tindakan tegas terhadap OPM demi masa depan Papua yang lebih baik.

"Kalau kita terus membiarkan kelompok separatis beroperasi, maka Papua tidak akan pernah maju. Kita butuh ketenangan untuk membangun. Kami, pemuda Papua, ingin menjadi bagian dari Indonesia yang kuat dan sejahtera," kata Yulius dalam diskusi pemuda di Timika.

Ia juga menambahkan bahwa banyak program pemberdayaan pemuda yang terhambat akibat gangguan keamanan dari kelompok bersenjata. Oleh karena itu, tindakan tegas dinilai sangat penting demi keberlanjutan program-program pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia Papua.

Selain pendekatan keamanan, pemerintah pusat dan daerah juga terus menjalankan program deradikalisasi bagi anggota OPM yang menyerahkan diri. Program ini meliputi pelatihan keterampilan, bantuan ekonomi, serta reintegrasi sosial agar mereka dapat kembali hidup normal di tengah masyarakat.

Gelombang dukungan terhadap tindakan tegas aparat keamanan ini menunjukkan perubahan besar dalam kesadaran kolektif masyarakat Papua. Semakin banyak warga yang memahami bahwa kekerasan dan separatisme tidak membawa kemajuan, melainkan keterbelakangan dan penderitaan.

"Dulu kami jauh dari segalanya. Sekarang jalan sudah tembus ke kampung kami. Anak-anak bisa belajar dengan lebih baik. Ini semua hanya bisa terwujud kalau ada keamanan. Jadi kami mendukung penuh tindakan aparat dalam menjaga ketertiban," ujar Maria.

Dukungan luas masyarakat terhadap tindakan tegas terhadap OPM adalah sinyal kuat bahwa Papua menginginkan perubahan yang nyata. Bukan lagi narasi konflik dan separatisme, melainkan narasi tentang pembangunan, persatuan, dan masa depan cerah bersama Indonesia.

 

Tokoh Masyarakat Papua Siap Bantu Pemerintah Bujuk Kelompok OPM Kembali ke Pangkuan NKRI

Papeda.com- Dalam upaya membangun Papua yang damai dan sejahtera, peran tokoh masyarakat menjadi semakin strategis, terutama dalam merangkul kelompok separatis bersenjata yang masih berada di hutan dan wilayah konflik. Sejumlah tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemuda di Papua menyatakan kesiapan mereka untuk membantu pemerintah dalam membujuk anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) agar menghentikan aksi kekerasan dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pernyataan tersebut disampaikan dalam berbagai forum dialog yang digelar bersama aparat keamanan, pemerintah daerah, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan. Para tokoh menilai bahwa pendekatan kekeluargaan, budaya, dan agama bisa menjadi jembatan untuk membuka ruang dialog dengan anggota OPM yang selama ini menjauhi pemerintah karena luka sejarah dan persoalan sosial yang belum selesai.

Salah satu tokoh adat dari wilayah Lapago, Yulianus Wenda, menyampaikan bahwa pendekatan kekerasan bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua. Ia mengajak seluruh elemen untuk mengedepankan cara-cara damai dan persuasif yang berbasis pada kearifan lokal dan nilai-nilai kemanusiaan.

"Kami ini saudara. Tidak ada anak Papua yang ingin terus hidup dalam penderitaan dan ketakutan. Kalau ada jalan pulang bagi mereka yang masih berada di gunung atau hutan, maka kami sebagai tokoh masyarakat bersedia membuka komunikasi dan menjadi jembatan antara mereka dan pemerintah," ujarnya dalam sebuah pertemuan adat di Kabupaten Puncak, Sabtu (26/42025).

Yulianus menambahkan bahwa beberapa mantan anggota OPM sebelumnya berhasil diyakinkan untuk kembali ke NKRI bukan karena tekanan, tetapi karena pendekatan yang penuh rasa hormat, pengakuan terhadap hak-hak mereka sebagai manusia, dan jaminan keselamatan dari aparat keamanan.

Tokoh agama juga tidak tinggal diam. Pendeta Simon Mote, perwakilan gereja di wilayah Pegunungan Tengah, menegaskan bahwa peran gereja adalah menjadi penyejuk dan pembawa damai. Ia menyatakan siap menjadi perantara untuk membuka pintu hati para anggota OPM agar kembali kepada jalan damai.

"Kekerasan tidak akan membawa kemerdekaan batin. Kami dari lembaga keagamaan berkomitmen untuk mengajak semua umat kembali pada kehidupan damai dan saling mengasihi. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan kalau hati kita terbuka," ujar Pendeta Simon.

Sementara itu, organisasi pemuda seperti KNPI Papua juga menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah persuasif yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat. Ketua KNPI Kabupaten Intan Jaya, Frengky Murib, menilai bahwa generasi muda Papua memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kedamaian di tanah kelahiran mereka.

"Papua bukan milik kekerasan. Papua milik kita semua yang ingin membangun masa depan yang lebih baik. Kalau masih ada saudara kita di OPM, mari kita ajak dengan hati. Jangan kita tinggalkan mereka dalam kebencian dan dendam," katanya.

Salah satu mantan anggota OPM yang telah kembali ke NKRI, menceritakan pengalamannya saat masih berada di kelompok bersenjata. Ia mengakui bahwa semangat perjuangan yang dulu dipegangnya perlahan memudar ketika melihat penderitaan rakyat Papua yang terus berlanjut.

"Di sana saya melihat tidak ada masa depan. Hanya pelarian, ketakutan, dan rasa kehilangan. Saya akhirnya menyerahkan diri karena sadar bahwa yang saya perjuangkan tidak sebanding dengan penderitaan yang saya sebabkan untuk orang lain," tuturnya.

Dengan semakin banyaknya tokoh masyarakat yang mengambil peran aktif dalam upaya perdamaian, harapan untuk Papua yang damai dan maju semakin terbuka. Pendekatan yang inklusif, berbasis budaya, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan diyakini mampu menjadi jalan keluar dari konflik yang telah lama menyelimuti tanag Papua.

 

Ancaman Membayangi: Banyak Warga Papua Terpaksa Bergabung dengan OPM

Papeda.com- Situasi keamanan di sejumlah wilayah Papua masih dibayangi oleh tekanan dan ancaman dari kelompok separatis bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam beberapa tahun terakhir, laporan demi laporan menunjukkan bahwa tidak sedikit masyarakat Papua yang menjadi anggota OPM bukan karena kemauan sendiri, melainkan karena tekanan dan intimidasi yang terus-menerus.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa eksistensi OPM bukan hanya menciptakan keresahan, tetapi juga telah merusak tatanan sosial dan memaksakan pilihan hidup yang berat bagi masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi. Dalam banyak kasus, masyarakat di daerah pedalaman terpaksa memilih untuk tunduk atau bergabung dengan kelompok bersenjata, karena takut akan keselamatan diri dan keluarganya.

Salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, yang enggan disebutkan namanya demi alasan keamanan, menyatakan bahwa beberapa keluarga di kampungnya telah kehilangan anggota keluarga karena dipaksa ikut OPM. “Mereka tidak punya pilihan lain. Kalau menolak, mereka diancam. Kalau lapor ke aparat, mereka dianggap pengkhianat dan disiksa. Jadi banyak yang memilih diam dan ikut saja walau hati menolak,” katanya, Sabtu (26/4/20205).

Fenomena ini bukan hal baru. Beberapa laporan dari lembaga HAM lokal dan aparat keamanan menyebut bahwa OPM kerap menggunakan taktik kekerasan untuk memperluas pengaruhnya, terutama dengan menyasar pemuda dan kepala keluarga di kampung-kampung terpencil. Mereka yang menolak sering kali menjadi korban kekerasan, atau keluarganya dijadikan tameng hidup dalam konflik bersenjata.

Seorang mantan anggota OPM berinisial Y.M. yang kini telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan, mengungkapkan bahwa dirinya semula tidak punya keinginan untuk bergabung. “Saya hanya petani biasa. Tapi mereka datang ke kampung, ancam akan bakar rumah dan bunuh keluarga kalau saya tidak ikut. Mau bagaimana? Saya akhirnya ikut, tapi hati saya tidak tenang,” ujarnya saat ditemui di lokasi pembinaan eks kombatan.

Ia menceritakan bagaimana OPM menjalankan sistem kontrol melalui kekerasan dan ketakutan. Para pemuda yang bergabung tak diberi ruang untuk mundur, bahkan tidak diizinkan pulang ke kampung jika tidak mendapatkan "hasil" dari aksi-aksi mereka. Banyak yang akhirnya mengalami trauma dan stres berat.

“Bukan kami tidak cinta tanah ini, tapi kami takut. Sekarang saya sudah kembali, dan saya harap teman-teman saya yang masih di sana bisa pulang juga. Tidak ada masa depan di hutan, hanya kematian dan kesepian,” katanya dengan suara bergetar.

Warga yang telah kembali dari OPM kini menjadi agen perubahan di kampungnya. Mereka menyuarakan damai, mengajak teman-teman yang masih di hutan untuk pulang, dan membuktikan bahwa kehidupan yang bermartabat masih bisa diraih.

Pemerintah Indonesia pun memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa mereka yang kembali tidak hanya diberi pengampunan, tetapi juga diberikan masa depan. Papua tidak akan damai jika rakyatnya terus dibayangi ketakutan dan ancaman. Perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk memaafkan, membangun kembali, dan menciptakan ruang bagi setiap anak bangsa untuk hidup dengan penuh rasa aman.

 

Kehadiran Aparat Keamanan di Papua: Upaya Melindungi Masyarakat dari Ancaman OPM

Papeda.com- Keamanan dan kedamaian merupakan kebutuhan dasar yang menjadi hak seluruh warga negara Indonesia, termasuk masyarakat di wilayah Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika keamanan di Papua menghadapi tantangan berat akibat aktivitas kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Dalam situasi ini, kehadiran Aparat Keamanan (Apkam) di berbagai wilayah Papua menjadi langkah strategis dan konkret pemerintah dalam upaya melindungi masyarakat dari ancaman dan gangguan tersebut.

Aparat keamanan yang terdiri dari unsur TNI dan Polri, selama ini tidak hanya menjalankan tugas menjaga stabilitas keamanan, tetapi juga aktif berinteraksi dengan masyarakat secara humanis melalui pendekatan sosial, kemanusiaan, dan budaya. Di tengah opini publik yang kadang terbelah, peran Apkam di Papua sejatinya merupakan bentuk nyata dari komitmen negara dalam memastikan setiap warga Papua dapat hidup dalam suasana aman, damai, dan bermartabat.

Sejak lama, Papua telah menjadi kawasan yang rentan terhadap berbagai bentuk konflik, terutama yang berkaitan dengan aksi separatisme bersenjata. Kelompok-kelompok seperti OPM secara terang-terangan menolak kehadiran pemerintah Indonesia dan memilih jalur kekerasan dalam menyuarakan keinginannya. Sayangnya, kelompok ini tak jarang menjadikan masyarakat sipil sebagai tameng hidup, bahkan kerap kali menjadi korban dalam konflik bersenjata.

Serangan terhadap aparat negara, pembakaran fasilitas umum, penyanderaan guru dan tenaga medis, serta ancaman terhadap warga sipil yang dianggap tidak mendukung perjuangan mereka menjadi catatan kelam yang tidak bisa dikesampingkan. Dalam kondisi seperti inilah peran Apkam sangat vital: tidak hanya sebagai penjaga kedaulatan, tetapi juga sebagai pelindung warga sipil dari kekerasan dan intimidasi kelompok bersenjata.

Salah satu fungsi utama kehadiran aparat keamanan di Papua adalah memberikan rasa aman kepada masyarakat. Berbagai operasi pengamanan dan pendekatan teritorial dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Apkam juga ditugaskan untuk membangun komunikasi dan kepercayaan dengan tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat demi menciptakan stabilitas di daerah yang rawan konflik.

Dalam sejumlah distrik, termasuk di wilayah Pegunungan Tengah dan Papua Selatan, pos-pos aparat keamanan dibangun bukan untuk menciptakan ketakutan, tetapi sebagai pusat penjagaan keamanan masyarakat. Di banyak tempat, pos tersebut juga berfungsi sebagai pusat layanan sosial, mulai dari bantuan kesehatan, pendidikan, hingga distribusi logistik saat terjadi bencana atau gangguan transportasi.

“Tujuan utama kami adalah menjaga masyarakat agar tetap merasa aman. Kami datang bukan untuk menakuti, tetapi untuk melindungi. Kami ingin anak-anak Papua bisa sekolah tanpa takut, petani bisa bekerja tanpa merasa terancam, dan masyarakat bisa beribadah dengan tenang,” ujar salah satu Komandan Pos di Distrik Ilaga, Papua Tengah, Jumat (25/4/2025).

Tidak sedikit warga Papua yang memberikan apresiasi terhadap peran Apkam di tengah masyarakat. Terutama di wilayah-wilayah terpencil yang sebelumnya terisolasi dan kerap menjadi sasaran intimidasi kelompok separatis, kehadiran aparat justru menjadi harapan baru.

Maria Magai, seorang warga Distrik Sinak, menyatakan bahwa kehadiran aparat telah membawa rasa tenang bagi keluarga dan lingkungan sekitar. “Sebelum ada pos aparat di sini, kami sering takut untuk keluar rumah. OPM kadang datang malam-malam, meminta logistik, mengancam warga yang dianggap mendukung pemerintah. Sekarang kami bisa beraktivitas lebih tenang,” ungkap Maria.

Hal senada juga disampaikan oleh Pendeta Markus Telenggen, tokoh agama dari wilayah Nduga, yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap masyarakat sipil merupakan tanggung jawab negara yang tidak bisa ditawar. “Kekerasan bukan solusi. Rakyat harus dilindungi. Kehadiran aparat harus dimaknai sebagai bentuk hadirnya negara. Selama aparat bersikap humanis, masyarakat tentu akan mendukung.”

Konflik di Papua bukan hanya urusan aparat dan pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, dan pemerintah harus bersatu dalam menolak kekerasan dan membangun masa depan Papua yang lebih baik.

Kehadiran Apkam bukan untuk menciptakan ketakutan, tetapi sebagai bentuk nyata hadirnya negara. Dengan terus memperkuat sinergi antara aparat dan masyarakat, memperluas program kesejahteraan, serta menegakkan hukum terhadap kelompok-kelompok yang menebar teror, Papua bisa kembali menjadi tanah yang damai, sejuk, dan bermartabat.

  Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul ...