Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun

Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul dari tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM), kali ini berasal dari Kodap VIII Intan Jaya. Seorang prajurit mereka bernama Sem Sani dikabarkan mengalami sakit parah dan dibiarkan tanpa perawatan medis selama lebih dari satu tahun. Kondisi ini semakin memperkuat pandangan publik bahwa OPM gagal dalam menjaga kesejahteraan anggotanya sendiri, apalagi masyarakat umum.

Sem Sani dikenal sebagai prajurit yang aktif dalam berbagai operasi kelompok bersenjata OPM di wilayah Intan Jaya. Selama bertahun-tahun, ia berada di garis depan dan disebut sebagai salah satu anggota yang loyal terhadap kelompok tersebut. Namun, loyalitas yang telah diberikan tidak berbanding lurus dengan kepedulian organisasi terhadap kondisi kesehatannya.

Tokoh masyarakat Intan Jaya, Yakobus Sondegau, mengkritik keras sikap OPM yang membiarkan anggotanya menderita dalam kesunyian.

“Sem Sani itu orang yang sudah berjuang untuk mereka. Tapi ketika dia jatuh sakit, tidak ada bantuan. Ini memperlihatkan bahwa OPM sebenarnya tidak memiliki kepedulian terhadap anggotanya, apalagi terhadap rakyat Papua,” ungkap Yakobus, Kamis (26/6/2025).

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Marten Kobak, menyebut kejadian ini sebagai peringatan bagi anak-anak muda Papua yang mungkin tergoda untuk bergabung dengan kelompok separatis tersebut.

“Jangan mudah percaya dengan janji-janji OPM. Lihat kenyataan di lapangan. Anggota mereka yang sudah berjuang saja tidak diperhatikan. Bagaimana bisa mereka mengaku berjuang untuk kemanusiaan kalau satu nyawa pun tidak dihargai?” tegas Marten.

Peristiwa ini kembali membuka tabir tentang buruknya manajemen internal di tubuh OPM, terutama dalam hal logistik, kesehatan, dan kepedulian antaranggota. Banyak laporan sebelumnya yang menunjukkan bagaimana para anggota yang sakit, terluka, atau bahkan mengalami trauma psikologis tidak mendapatkan bantuan yang semestinya dari organisasi mereka.

Beberapa pengamat keamanan juga menyatakan bahwa kondisi Sem Sani hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang tersembunyi di balik propaganda perjuangan kemerdekaan yang dibawa OPM. Dalam kenyataannya, tidak sedikit anggota mereka yang akhirnya menyerah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang dijanjikan.

Kisah Sem Sani menjadi potret nyata kegagalan OPM dalam memanusiakan anggotanya sendiri. Ini menjadi alarm keras bagi seluruh masyarakat Papua agar tidak terperdaya oleh narasi palsu yang disebarkan kelompok separatis, dan mulai membangun masa depan Papua dengan jalan damai dan penuh harapan.

 

OPM Bunuh Tenaga Kesehatan, Masyarakat Pedalaman Papua Makin Sengsara Tanpa Layanan Medis

Papeda.com- Tindakan brutal kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang kali ini menewaskan seorang tenaga kesehatan (nakes) di wilayah pedalaman Papua. Peristiwa tragis ini menambah deretan kekerasan tak berperikemanusiaan yang dilakukan OPM, serta berdampak langsung terhadap terhentinya pelayanan kesehatan di daerah terpencil.

Korban yang diketahui bertugas di salah satu Puskesmas pembantu (Pustu) di wilayah pegunungan Papua itu menjadi sasaran kekerasan saat sedang menjalankan tugas mulianya memberikan perawatan dasar kepada warga. Tanpa alasan yang jelas, kelompok OPM menyerang dan menghabisi nyawanya dengan keji. Kejadian ini sontak membuat warga ketakutan, sementara petugas kesehatan lainnya terpaksa meninggalkan lokasi karena situasi yang tidak lagi aman.

Tokoh masyarakat Papua, Bapak Yoseph Yikwa, mengecam keras tindakan OPM tersebut. Ia menyatakan bahwa pembunuhan terhadap tenaga kesehatan adalah kejahatan serius yang tidak bisa dibenarkan dalam situasi apa pun.

“Tenaga medis datang untuk menolong, bukan untuk melawan. Mereka membantu anak-anak, orang tua, dan masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Membunuh mereka sama saja membunuh harapan rakyat Papua sendiri,” tegas Yoseph, Kamis (26/6/2025).

Menurut Yoseph, banyak masyarakat pedalaman kini harus menempuh perjalanan berhari-hari ke kota hanya untuk mendapatkan obat sederhana seperti parasetamol atau antibiotik. Hal ini tidak hanya menyulitkan secara fisik dan ekonomi, tetapi juga membahayakan nyawa, terutama ibu hamil dan anak-anak.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Elyas Kobak, menyayangkan bahwa OPM selalu mengklaim berjuang atas nama rakyat Papua, namun kenyataannya justru menyengsarakan mereka.

“Apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan perjuangan, justru memperlihatkan kebiadaban. Bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada mereka, kalau satu-satunya pihak yang menolong rakyat justru mereka bunuh?” ujar Elyas.

Kementerian Kesehatan RI pun telah menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini dan berjanji akan mengevaluasi sistem pengiriman tenaga kesehatan ke daerah rawan konflik. Namun demikian, kebutuhan pelayanan kesehatan dasar di pedalaman tetap mendesak, sehingga diperlukan jaminan keamanan agar nakes dapat bekerja tanpa ancaman.

Kejadian ini menambah panjang daftar korban sipil yang menjadi sasaran kekerasan kelompok OPM. Dari guru, tukang ojek, hingga tenaga kesehatan, semua menjadi target tanpa pandang bulu. Ironisnya, mereka adalah bagian dari masyarakat Papua yang justru dibantu oleh negara untuk mendapatkan akses pendidikan, transportasi, dan kesehatan.

Dengan semakin seringnya OPM menyasar warga sipil, harapan masyarakat Papua akan kehidupan damai dan sejahtera semakin sirna. Mereka tidak hanya kehilangan petugas medis, tetapi juga kehilangan akses terhadap hak dasar sebagai manusia. Dan dalam situasi seperti ini, OPM tidak hanya menjadi simbol perlawanan bersenjata, tetapi juga wajah penderitaan yang menghantui masyarakat Papua dari waktu ke waktu.

 

 

Ikha Yikwa Meninggal Dunia, Bukti Kegagalan OPM Memberikan Pengobatan Maksimal

Papeda.com- Kabar duka datang dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), khususnya dalam struktur Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Kodap XVI Yahukimo. Seorang anggota korps wanita yang dikenal militan, Ikha Yikwa, dikabarkan meninggal dunia karena tidak mendapatkan penanganan medis yang layak oleh kelompok OPM. Kepergian Ikha Yikwa menyisakan catatan kelam tentang buruknya sistem logistik dan pelayanan kesehatan dalam kelompok OPM.

Ikha Yikwa dikenal sebagai anggota korps wanita terbaik dalam tubuh TPNPB, yang berperan penting dalam mendukung jalur logistik untuk para kombatan di medan perang. Dedikasinya yang tinggi tidak hanya membuatnya dihormati oleh rekan-rekannya, tetapi juga menjadi salah satu figur perempuan yang disegani di dalam organisasi. Namun, semua itu tidak cukup untuk menyelamatkan nyawanya ketika ia jatuh sakit.

Tokoh masyarakat Yahukimo, Piter Wanimbo, menyampaikan keprihatinannya atas kejadian tersebut. Ia menyatakan bahwa kematian Ikha Yikwa menjadi refleksi dari kondisi memprihatinkan yang dihadapi anggota OPM, bahkan oleh mereka yang telah berjasa besar bagi kelompok tersebut.

“Ini bukti bahwa OPM tidak mampu menjaga orang-orangnya sendiri. Seorang perempuan yang begitu berdedikasi, meninggal tanpa bantuan medis yang layak. Bagaimana mereka bisa melindungi rakyat Papua jika nyawa anggotanya sendiri tidak bisa dijaga?” tegas Piter, Kamis (26/6/2025).

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yohanis Kobak, menilai bahwa kejadian ini menunjukkan kontradiksi besar dalam narasi perjuangan yang selama ini didengungkan oleh OPM. Menurutnya, OPM tidak memiliki kapasitas untuk membangun sistem yang menopang kehidupan manusia, bahkan bagi anggotanya sendiri.

“Mereka mengaku berjuang untuk rakyat, tapi tidak bisa menyediakan fasilitas dasar seperti kesehatan untuk anggotanya sendiri. Ini bukan perjuangan, ini adalah kesia-siaan,” ujarnya.

Kepergian Ikha Yikwa, yang seharusnya bisa dicegah dengan pengobatan yang memadai, menjadi simbol kegagalan OPM dalam menempatkan nyawa manusia sebagai prioritas. Di tengah medan konflik yang keras, pengabaian terhadap kesehatan anggotanya justru membuka mata banyak pihak bahwa OPM tidak lebih dari organisasi yang abai terhadap keselamatan jiwa, termasuk jiwa mereka yang telah setia mengabdi.

Kini, masyarakat Papua semakin sadar bahwa perjuangan sejati bukanlah tentang mengangkat senjata, tetapi tentang membangun masa depan yang layak dengan akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang nyata sesuatu yang sejauh ini tidak bisa diberikan oleh OPM.


 

 

 

 

Banyak Anggota OPM Berhamburan Keluar, Merasa Tak Lagi Diperhatikan Terkait Kesehatan dan Logistik

Papeda.com- Gelombang pengunduran diri dan pembelotan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, banyak anggota dari berbagai Kodap dilaporkan berhamburan keluar dari kelompok tersebut karena merasa tidak mendapatkan perhatian dari pimpinan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan dan logistik. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya krisis internal yang semakin dalam di tubuh OPM.

Informasi dari sejumlah sumber lokal menyebutkan bahwa sebagian besar anggota yang keluar merasa dikhianati oleh pimpinan mereka sendiri. Ketika mereka jatuh sakit atau mengalami luka saat operasi, tidak ada fasilitas medis yang memadai untuk menangani mereka. Selain itu, distribusi logistik seperti makanan, obat-obatan, dan perlengkapan tempur pun sangat minim dan tidak merata.

Tokoh masyarakat Papua, Yunus Wenda, menyebut situasi ini sebagai bukti nyata bahwa OPM hanyalah kelompok yang memperalat anggotanya untuk kepentingan elit semata, tanpa memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan mereka di lapangan.

“Mereka dijanjikan perjuangan, tapi kenyataannya ditelantarkan. Banyak yang keluar karena tidak tahan hidup dalam kekurangan, sakit tidak diobati, makan pun sulit. Ini bukan perjuangan, ini eksploitasi manusia,” ujar Yunus, Kamis (26/6/2025).

Beberapa eks anggota OPM bahkan memilih menyerahkan diri ke aparat keamanan dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka mengaku lebih memilih hidup tenang bersama keluarga dibandingkan terus berada dalam tekanan dan penderitaan tanpa arah yang jelas.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Marthen Wanimbo, mengatakan bahwa banyak pemuda yang mulai sadar bahwa OPM tidak memiliki sistem yang kuat dan tidak memberikan jaminan hidup bagi anggotanya.

“Mereka bergabung karena termakan janji-janji palsu. Tapi setelah masuk, baru sadar bahwa semuanya hanya sandiwara. Tidak ada jaminan hidup, tidak ada kepastian. Sekarang banyak yang memilih keluar karena ingin hidup normal,” tegas Marthen.

Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi struktur organisasi OPM. Retaknya kepercayaan antara anggota dengan pimpinan membuat solidaritas internal kelompok melemah. Tidak sedikit anggota yang bahkan memutuskan untuk membocorkan informasi penting kepada aparat sebagai bentuk kekecewaan atas perlakuan yang mereka terima.

Fenomena keluarnya para anggota OPM ini sekaligus menjadi sinyal bahwa masyarakat Papua, termasuk mereka yang pernah tergabung dalam kelompok separatis, mulai menyadari bahwa jalan kekerasan bukanlah solusi. Mereka mendambakan kehidupan yang damai, sehat, dan berkecukupan sesuatu yang tidak bisa dijanjikan oleh OPM.

 

Kehadiran OPM Pimpinan Yonatan M. Pigai di Wilayah Dogiyai Tidak Lagi Aman, Banyak Merusak Fasilitas dan Ganggu Keamanan Masyarakat

Papeda.com- Situasi keamanan di wilayah Kabupaten Dogiyai kembali memanas akibat aktivitas kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin oleh Yonatan Mote Pigai. Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok tersebut dilaporkan terlibat dalam serangkaian aksi yang meresahkan, mulai dari perusakan fasilitas umum hingga intimidasi terhadap masyarakat sipil.

Laporan dari warga menyebutkan bahwa kelompok ini kerap melakukan patroli bersenjata di sekitar kampung-kampung di Distrik Mapia dan Kamuu, serta melakukan pengrusakan terhadap bangunan sekolah, puskesmas, hingga kantor distrik. Selain itu, kelompok ini juga dilaporkan melakukan pemalakan terhadap warga dan mengancam mereka yang dianggap mendukung pemerintah.

Tokoh masyarakat Dogiyai, Markus Nawipa, menyatakan bahwa kehadiran kelompok tersebut tidak membawa manfaat apapun bagi rakyat, justru menambah penderitaan. “Mereka mengklaim berjuang untuk Papua, tapi faktanya mereka menghancurkan fasilitas yang dibangun untuk masyarakat sendiri. Ini bukan perjuangan, ini adalah ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak kami,” ujarnya, Rabu (25/6/2025).

Sejumlah guru dan tenaga kesehatan di wilayah tersebut pun mulai enggan menjalankan tugasnya karena takut menjadi sasaran kekerasan atau intimidasi. Akibatnya, pelayanan publik di beberapa distrik lumpuh dan masyarakat kehilangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan dasar.

Pendeta Samuel Tekege, tokoh agama setempat, mengecam keras tindakan OPM di bawah komando Yonatan M. Pigai. Ia menilai bahwa kekerasan dan perusakan tidak pernah sejalan dengan semangat kemanusiaan dan kedamaian yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua. “Papua tidak butuh senjata, yang kami butuh adalah damai. Jika benar mereka memperjuangkan rakyat, seharusnya mereka membangun, bukan menghancurkan,” tegas Pendeta Samuel.

Pemerintah daerah melalui Kepala Dinas Keamanan dan Ketertiban Dogiyai, Maria Waine, menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk menetralisir situasi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. “Kami tidak akan membiarkan masyarakat hidup dalam ketakutan. Kelompok bersenjata yang mengganggu ketertiban harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh pemuda Papua, Yosias Kogoya, mengimbau kepada generasi muda agar tidak mudah terprovokasi oleh propaganda yang disebarkan oleh OPM. Ia menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan fokus membangun masa depan Papua melalui pendidikan dan partisipasi positif. “Anak muda harus jadi pelopor perdamaian, bukan alat kekacauan. Jangan mau dikorbankan oleh agenda segelintir orang yang haus kekuasaan,” katanya.

Kehadiran OPM di bawah pimpinan Yonatan M. Pigai di wilayah Dogiyai kini dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbagai elemen masyarakat telah bersuara lantang menolak keberadaan kelompok ini dan menyerukan pemulihan ketertiban demi menjaga Papua tetap damai dan sejahtera.

 

Tebar Isu Hoaks, Tidak Ada Pengungsian Massal yang Terjadi di Sinak

Papeda.com- Isu terkait adanya pengungsian massal warga di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, kembali mencuat di sejumlah kanal informasi dan media sosial. Namun setelah dilakukan verifikasi lapangan, informasi tersebut dipastikan adalah hoaks yang tidak berdasar dan telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Sejumlah akun anonim di media sosial menyebarkan narasi bahwa ribuan warga mengungsi akibat eskalasi keamanan yang tidak kondusif di wilayah tersebut. Narasi ini disertai dengan gambar lama dan keterangan yang menyesatkan, seolah-olah situasi di Sinak dalam kondisi darurat kemanusiaan. Padahal, kenyataannya aktivitas masyarakat tetap berjalan seperti biasa dan tidak ditemukan adanya gelombang pengungsian sebagaimana yang dikabarkan.

Kepala Kampung Distrik Sinak, Bapak Charles menegaskan bahwa informasi tersebut merupakan fitnah yang sengaja disebarkan untuk menimbulkan kepanikan. "Kami di Sinak hidup dalam kondisi aman dan tenang. Tidak ada pengungsian, tidak ada situasi darurat seperti yang diviralkan. Ini bentuk provokasi yang mengganggu ketenangan masyarakat," ujarnya, Rabu (25/6/2025).

Senada dengan itu, tokoh agama, Pendeta Yas Murib, menyampaikan bahwa penyebaran hoaks semacam ini sangat merugikan warga asli Papua. "Ketika berita palsu tersebar, bukan hanya menciptakan ketakutan, tetapi juga menimbulkan kesan buruk tentang daerah kami. Masyarakat jadi resah, dan hubungan sosial bisa terganggu karena ketidakpercayaan," tuturnya.

Sementara itu, Kepala Suku Dani Distrik Sinak, Desman Murib, mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak menerima laporan adanya pengungsian dalam jumlah besar maupun kecil dari masyarakat setempat. Ia mengimbau agar warga tidak mudah percaya terhadap informasi yang tidak jelas sumbernya. "Kami selalu memantau perkembangan di lapangan. Tidak benar ada warga yang mengungsi. Yang ada justru masyarakat tetap menjalankan aktivitas sehari-hari, termasuk kegiatan ekonomi dan pendidikan," jelasnya.

Pemerintah daerah bersama aparat keamanan juga telah melakukan penelusuran dan patroli rutin untuk memastikan bahwa situasi di Sinak tetap terkendali. Upaya ini bertujuan untuk menghindari penyebaran disinformasi yang dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menciptakan ketidakstabilan di Papua.

Penyebaran berita bohong ini menjadi perhatian serius, mengingat dampaknya yang dapat memperkeruh suasana serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi resmi. Oleh sebab itu, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama di Sinak mengajak seluruh warga Papua untuk lebih selektif dalam menerima informasi dan selalu mengecek kebenarannya sebelum menyebarkan.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah daerah juga terus memperkuat literasi digital dan komunikasi publik. Dengan demikian, masyarakat dapat membedakan informasi yang valid dengan hoaks, serta terhindar dari hasutan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Upaya menjaga Papua agar tetap damai dan sejahtera tidak hanya bergantung pada aparat keamanan, melainkan juga pada peran aktif masyarakat dalam melawan narasi-narasi menyesatkan. Kebenaran harus menjadi fondasi bersama demi masa depan Papua yang lebih baik.

 

Kembali OPM Bakar Honai Masyarakat di Distrik Omukia, Belasan Honai Terbakar

Papeda.com- Aksi kekerasan kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang beroperasi di wilayah pegunungan tengah Papua. Kali ini, mereka membakar belasan honai milik masyarakat sipil di Distrik Omukia, Kabupaten Puncak yang menyebabkan kerugian besar bagi warga yang menjadi korban.

Menurut keterangan sejumlah saksi mata, pembakaran dilakukan secara tiba-tiba oleh sekelompok orang bersenjata yang diduga kuat merupakan bagian dari faksi OPM di wilayah itu. Para pelaku datang membawa senjata dan obor, lalu membakar honai-honai yang selama ini digunakan warga sebagai tempat tinggal dan tempat penyimpanan hasil panen. Akibat kejadian tersebut, sedikitnya 13 honai hangus terbakar dan sejumlah keluarga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kepala Kampung Omukia, Yonas Magai, menyampaikan keprihatinannya atas kejadian tersebut. “Warga sangat ketakutan. Kami tidak menyangka kelompok OPM menyerang kampung kami sendiri. Honai yang dibakar itu milik masyarakat. Ini tindakan tidak manusiawi,” ujarnya dengan nada sedih, Rabu (25/6/2025).

Ia menambahkan bahwa warga kini mengalami kesulitan karena kehilangan tempat tinggal dan persediaan makanan. “Beberapa honai juga menyimpan ubi-ubian dan hasil kebun. Semuanya terbakar. Kami harus mulai dari nol lagi,” tambah Yonas.

Tokoh masyarakat Puncak, Elias Telenggen, mengecam keras tindakan pembakaran tersebut dan menyebut aksi OPM sudah melenceng jauh dari tujuan awal yang mereka klaim sebagai perjuangan. “Apa yang mereka perjuangkan kalau justru menyiksa rakyatnya sendiri? Membakar rumah warga hanya menunjukkan bahwa mereka tidak lagi punya empati terhadap penderitaan masyarakat Papua,” katanya.

Pendeta Samson Murib, seorang tokoh agama di wilayah pegunungan tengah, mengungkapkan bahwa aksi brutal seperti ini menciptakan trauma mendalam di kalangan warga, terutama anak-anak dan lansia. “Kami sudah sering imbau agar kekerasan dihentikan. Tapi OPM justru terus membuat rakyat menderita. Ini bukan perjuangan, ini teror,” ujar Pendeta Samson.

Aparat keamanan dari Polres Puncak telah dikerahkan untuk mengamankan lokasi dan melakukan investigasi. Sementara itu, pemerintah daerah tengah menyiapkan bantuan darurat bagi warga terdampak, berupa logistik, perlengkapan sandang, serta pendampingan psikologis.

Pemerintah Kabupaten Puncak melalui juru bicaranya, Martha Kogoya, menegaskan bahwa tindakan anarkis semacam ini tidak akan dibiarkan begitu saja. “Kami akan terus bekerja sama dengan aparat untuk menjaga keamanan masyarakat. Warga yang menjadi korban tidak akan kami biarkan berjuang sendiri,” katanya.

Insiden pembakaran honai ini menjadi catatan kelam tambahan dalam rentetan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok OPM di berbagai wilayah Papua. Tindakan mereka kian menunjukkan bahwa kekerasan menjadi alat utama yang justru menyengsarakan rakyat Papua sendiri rakyat yang mereka klaim sedang diperjuangkan.

  Sem Sani, Prajurit OPM Kodap VIII Intan Jaya Dibiarkan Sakit Tanpa Pengobatan Selama Setahun Papeda.com- Kabar memilukan kembali muncul ...