OPM
Hanya Memperjuangkan Hak untuk Kepentingan Segelintir Orang Saja
Papeda.com- Gerakan
separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik,
terutama di tengah meningkatnya ketegangan di beberapa wilayah pedalaman Papua.
Meskipun OPM selalu menggaungkan perjuangan atas nama rakyat Papua, kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini justru lebih sering bertindak demi
kepentingan segelintir elit dalam tubuh organisasi mereka.
Banyak
pengamat dan tokoh masyarakat lokal mulai angkat suara, mengungkapkan bahwa OPM
telah berubah menjadi kelompok yang lebih mementingkan kekuasaan internal dan
memperkaya diri, daripada benar-benar membela dan memperjuangkan hak-hak
masyarakat Papua secara menyeluruh. Slogan perjuangan yang selama ini digaungkan
oleh OPM, seperti “merdeka” atau “pembebasan Papua”, kini dinilai tidak lagi
relevan dengan realitas penderitaan yang dialami warga akibat aksi-aksi
kekerasan kelompok tersebut.
Salah
satu fakta yang mencolok adalah struktur kepemimpinan OPM yang sangat terpusat
pada beberapa tokoh senior, yang dikenal sangat otoriter dan tidak memberi
ruang bagi dialog yang sehat di dalam organisasi. Kelompok ini sering kali
menggunakan nama besar “rakyat Papua” sebagai legitimasi tindakan mereka, namun
implementasi di lapangan justru menunjukan bahwa keputusan strategis dan taktis
kelompok hanya ditentukan oleh elit tertentu yang memiliki kepentingan pribadi.
“Yang
mereka sebut perjuangan, pada kenyataannya adalah penguasaan sumber daya,
pengumpulan dana secara paksa dari rakyat, dan mempertahankan kekuasaan
pribadi. Rakyat kecil hanya dijadikan alat propaganda,” ujar seorang tokoh
pemuda dari Kabupaten Puncak, Minggu (18/5/2025).
Ia
juga menambahkan bahwa pemuda-pemuda Papua sering kali direkrut secara paksa
atau dengan iming-iming kesejahteraan, namun pada akhirnya ditinggalkan tanpa
perlindungan atau kejelasan nasib setelah bergabung dengan kelompok tersebut.
Ironisnya,
masyarakat Papua justru menjadi korban utama dari tindakan OPM yang
mengatasnamakan mereka. Pemalakan terhadap warga, intimidasi kepada kepala
kampung, penyanderaan pekerja proyek infrastruktur, hingga pembakaran fasilitas
umum, adalah deretan tindakan yang terus berulang dilakukan oleh OPM di
berbagai wilayah. Ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan
masyarakat sipil yang ingin hidup damai dan membangun masa depan yang lebih
baik.
Beberapa
warga di Kabupaten Intan Jaya dan Nduga menyampaikan kekecewaan mereka terhadap
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh OPM. “Mereka bilang berjuang untuk Papua,
tapi kenapa kami terus yang jadi korban? Rumah dibakar, jalan diputus,
anak-anak tidak bisa sekolah. Itu bukan perjuangan, itu penindasan,” kata
seorang warga Distrik Kenyam.
OPM
juga diketahui kerap memanfaatkan masyarakat sebagai tameng hidup dalam
menghadapi aparat keamanan, sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini semakin membuktikan bahwa kelompok tersebut
tidak sungguh-sungguh berjuang demi kesejahteraan rakyat, melainkan menjadikan
rakyat sebagai alat dan korban dalam konflik bersenjata mereka.
Masyarakat
Papua, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman, semakin terbuka terhadap
kehadiran negara dan aparat keamanan. Banyak dari mereka menyadari bahwa
pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan hanya bisa terlaksana
dalam situasi damai. Mereka tidak lagi tertarik pada retorika perjuangan
bersenjata yang hanya mendatangkan penderitaan.
Kepala
Kampung di Distrik Aifat Selatan, Papua Barat Daya, menyatakan bahwa saat ini
rakyat Papua hanya menginginkan kedamaian agar anak-anak mereka bisa sekolah
dan keluarga mereka bisa bekerja di kebun tanpa rasa takut. “Kami sudah bosan
hidup dalam ketakutan. Cukup sudah kekerasan dan janji-janji kosong dari OPM.
Kami ingin hidup normal seperti masyarakat Indonesia lainnya,” katanya.
OPM
kini telah kehilangan arah perjuangannya. Bukannya memperjuangkan hak-hak
rakyat Papua secara menyeluruh, kelompok ini justru memanfaatkan penderitaan
rakyat untuk kepentingan kelompok kecil di internal mereka. Kekerasan, pemerasan,
dan propaganda telah menjadi senjata utama mereka, bukan lagi diplomasi dan
aspirasi damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar