Masyarakat
Papua Desak Penindakan Tegas terhadap OPM: “Kami Sudah Terlalu Sering Jadi
Korban”
Papeda.com- Masyarakat
di sejumlah wilayah Papua secara terbuka menyatakan keresahan dan kejenuhan
mereka terhadap kehadiran Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kian meresahkan.
Banyak warga menyuarakan tuntutan agar negara mengambil langkah tegas terhadap
kelompok bersenjata tersebut, yang dinilai tidak lagi merepresentasikan
kepentingan rakyat Papua, melainkan justru menjadi sumber ketakutan dan
penderitaan.
Tuntutan
ini muncul setelah serangkaian aksi kekerasan kembali terjadi dalam beberapa
pekan terakhir di Kabupaten Yahukimo, Nduga, dan Intan Jaya. Dalam berbagai
insiden tersebut, kelompok bersenjata OPM terlibat dalam penyerangan terhadap
aparat keamanan, pembakaran sekolah dan rumah warga, serta pengusiran tenaga
pendidik dan kesehatan dari distrik-distrik terpencil.
Tokoh
masyarakat dari Lanny Jaya, Markus Tabuni, menyatakan bahwa warga telah lama
merasa muak dengan kekerasan yang dilakukan oleh OPM atas nama perjuangan
kemerdekaan. “Dulu mereka datang bicara soal kebebasan, tapi sekarang mereka
datang hanya membawa senjata dan membuat rakyat takut. Mereka bilang lawan
negara, tapi yang diserang rakyat sendiri. Ini bukan perjuangan, ini teror,”
tegasnya, Rabu (23/4/2025).
Markus
menambahkan bahwa masyarakat lokal, terutama di kampung-kampung terpencil,
menjadi korban yang paling terdampak akibat aksi brutal OPM. Warga terpaksa
meninggalkan kampung mereka, anak-anak berhenti sekolah, dan akses kesehatan
terganggu karena tenaga medis enggan bertugas di zona rawan.
Berbagai
tokoh adat, pemuda, dan aktivis perempuan menyuarakan tuntutan yang sama kepada
pemerintah agar tidak lagi ragu mengambil langkah tegas terhadap kelompok
separatis yang menebar ketakutan. Maria Heluka, aktivis perempuan dari Wamena,
menilai negara harus membedakan antara aspirasi politik dan aksi kekerasan.
“Kalau
orang bicara damai dan dialog, kita bisa duduk bersama. Tapi kalau orang datang
dengan senjata, bakar sekolah, bunuh guru, itu bukan perjuangan. Itu kejahatan.
Negara tidak boleh diam,” kata Maria.
Ia
juga menyampaikan bahwa banyak perempuan Papua hidup dalam trauma akibat
kekerasan yang berkepanjangan. “Kami ingin anak-anak kami sekolah, kami ingin
hidup tenang, bukan sembunyi di hutan karena takut ditembak kelompok yang
katanya berjuang untuk kami,” tegasnya.
Data
dari Yayasan Kemanusiaan Papua Damai mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 hingga
awal 2025, sedikitnya 89 insiden kekerasan terjadi di Papua akibat aktivitas
kelompok separatis. Dari insiden tersebut, lebih dari separuh korbannya adalah
warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Direktur
yayasan tersebut, Marthen Yaboisembut, menyampaikan keprihatinan terhadap
narasi internasional yang kerap menyalahartikan konflik di Papua sebagai
konflik antara negara dan rakyat. “Banyak media asing tidak tahu bahwa korban
terbesar adalah rakyat Papua sendiri. Mereka pikir OPM mewakili rakyat, padahal
rakyat justru takut pada mereka,” jelas Marthen.
Ia
menyerukan kepada dunia internasional untuk lebih cermat melihat dinamika
konflik di Papua dan mendukung upaya negara dalam menjaga keamanan warga sipil.
Di
tengah situasi yang memanas, sejumlah tokoh pemuda dan agama berusaha mengambil
peran sebagai jembatan antara masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan.
Forum Pemuda Papua Damai (FPPD) secara aktif menggelar dialog antar kampung
untuk menumbuhkan kesadaran damai di kalangan generasi muda.
“Kami
ingin menyebarkan pesan bahwa kekerasan bukan jalan keluar. Papua butuh
pendidikan, pekerjaan, dan masa depan, bukan peperangan,” kata ketua FPPD,
Yunus Kogoya.
Senada
dengan itu, tokoh gereja dari Sinode Kingmi Papua, Pdt. Elias Degei,
mengingatkan bahwa penderitaan rakyat Papua tidak boleh dijadikan alat politik
oleh kelompok manapun. “Rakyat Papua terlalu lama menjadi korban. Saatnya kita
bersatu menolak kekerasan dari siapa pun, termasuk dari mereka yang
mengatasnamakan perjuangan,” katanya.
Masyarakat
Papua kini dengan lantang menyuarakan ketidaknyamanan mereka terhadap
keberadaan OPM. Kelompok yang dahulu mengklaim sebagai pelindung rakyat kini
dinilai sebagai ancaman nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka
bukan lagi simbol perjuangan, melainkan sumber ketakutan dan penderitaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar