OPM
Gunakan Gereja sebagai Markas, Tokoh Agama Papua Mengecam: “Jangan Jadikan
Masyarakat sebagai Tameng Hidup”
Papeda.com- Aksi
terbaru kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai
kecaman keras dari berbagai kalangan di Papua, kali ini dari para tokoh agama.
OPM dilaporkan menggunakan sejumlah rumah ibadah, termasuk gereja di wilayah
pegunungan tengah Papua, sebagai markas sementara dalam operasi bersenjata
mereka. Tindakan ini tidak hanya melanggar nilai-nilai keagamaan, tetapi juga
membahayakan keselamatan masyarakat yang kerap berlindung di sekitar lingkungan
gereja.
Insiden
paling mencolok terjadi di Distrik Yal, Kabupaten Yahukimo, di mana kelompok
bersenjata dilaporkan menduduki sebuah gereja lokal selama hampir dua minggu.
Gereja yang selama ini menjadi tempat ibadah dan pusat komunitas warga justru
dijadikan lokasi logistik dan pos pemantauan kelompok OPM. Pendudukan ini
mengakibatkan terhambatnya kegiatan keagamaan dan memicu ketakutan besar di
tengah masyarakat sekitar.
Ketua
Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt. Yonas Tabuni, secara tegas
mengecam tindakan tersebut. Dalam konferensi pers yang digelar di Jayapura, ia
menyatakan bahwa gereja bukan tempat untuk menyusun kekuatan militer atau
strategi perang, terlebih jika hal itu membahayakan jemaat dan warga sekitar.
“Gereja
adalah tempat suci, tempat orang mencari kedamaian, bukan markas militer. Kami
sangat murka dan kecewa, karena tindakan ini tidak hanya mencoreng nilai-nilai
kekristenan tetapi juga menyeret umat ke dalam pusaran konflik bersenjata,”
tegas Pdt. Tabuni, Rabu (23/4/2025).
Ia
juga menegaskan bahwa menggunakan rumah ibadah sebagai tempat berlindung dalam
konflik bersenjata sama saja dengan menjadikan masyarakat sebagai tameng hidup.
“Ini kejahatan moral. Tidak ada perjuangan yang sah jika harus menjadikan
rakyat sebagai pelindung dari peluru,” ujarnya dengan nada tinggi.
Seorang
warga Distrik Yal yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa mereka
terpaksa mengungsi ke hutan ketika mengetahui kelompok OPM menduduki gereja
desa. “Kami takut kalau nanti aparat datang dan terjadi baku tembak. Kami hanya
ingin beribadah, hidup damai, tapi malah gereja kami jadi tempat mereka bawa
senjata,” keluhnya.
Menurut
laporan dari aparat keamanan, kelompok tersebut juga menggunakan fasilitas
gereja untuk menyimpan logistik dan alat komunikasi. Situasi ini membuat
masyarakat tidak hanya kehilangan tempat ibadah mereka, tetapi juga berada
dalam bahaya besar jika terjadi konfrontasi bersenjata.
Yang
menarik, peristiwa ini memicu solidaritas lintas gereja dan bahkan antaragama.
Tokoh Katolik, Protestan, dan Islam di Papua bersatu menyuarakan penolakan
terhadap penggunaan rumah ibadah untuk kepentingan militer atau politik. Ketua
Keuskupan Jayapura, Uskup Yanuarius Teofilus Matopai You, mengatakan bahwa
semua rumah ibadah harus dijaga kesuciannya. “Kami semua, dari berbagai agama,
berdiri bersama untuk menjaga kesucian tempat ibadah. Ini bukan hanya soal
agama Kristen, ini soal nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Uskup You.
Ia
juga menyerukan agar OPM menghentikan segala bentuk tindakan yang menyeret
masyarakat sipil dan fasilitas keagamaan ke dalam konflik. “Jika perjuangan itu
murni, jangan libatkan rakyat kecil dan rumah Tuhan. Itu bukan jalan yang
benar,” tambahnya.
Gereja-gereja
di Papua selama ini memainkan peran penting dalam proses perdamaian dan
pemulihan trauma konflik. Banyak gereja menjadi tempat pengungsian dan
pelayanan bagi korban kekerasan. Namun, tindakan kelompok bersenjata yang
menjadikan gereja sebagai markas telah merusak fungsi sakral dan sosial gereja
di tengah masyarakat.
Aktivis
perdamaian dan mantan narapidana politik, Filep Karma (alm.), dalam salah satu
tulisannya sebelum wafat, pernah menekankan pentingnya menjauhkan tempat ibadah
dari konflik bersenjata. “Jika kita menghormati rakyat, kita harus mulai dengan
menghormati rumah ibadah mereka. Itu benteng moral terakhir,” tulisnya.
Tokoh
pemuda dari Lembah Baliem, Yonas Wenda, mengatakan bahwa generasi muda Papua
tidak ingin warisan konflik ini terus berlanjut. “Kami ingin gereja kami
kembali menjadi tempat ibadah, bukan arena perang. Kami ingin anak-anak bisa
belajar katekisasi tanpa takut ada senjata di balik mimbar,” ujarnya.
Penggunaan
gereja sebagai markas oleh kelompok OPM adalah bentuk pelanggaran moral dan
hukum yang tidak bisa ditoleransi. Tindakan ini tidak hanya membahayakan
masyarakat, tetapi juga menghancurkan simbol perdamaian yang selama ini dijaga
oleh gereja di Papua. Suara tegas dari para tokoh agama mencerminkan keresahan
mendalam masyarakat Papua, yang mendambakan kedamaian dan perlindungan dari
negara.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar