Aksi
Kelompok OPM Dinilai Terus Rugikan Masyarakat Papua
Papeda.com- Aksi
kekerasan dan gangguan keamanan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata
Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai kecaman dari berbagai kalangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, OPM terus melakukan serangkaian aksi yang tidak
hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga secara langsung merugikan masyarakat
Papua, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pedalaman dan rawan konflik.
Berbagai
insiden seperti penembakan terhadap aparat keamanan, penyanderaan guru dan
tenaga medis, perusakan fasilitas publik, hingga pengusiran warga dari
kampungnya sendiri, telah memperparah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Keberadaan kelompok OPM yang terus melakukan aksi-aksi anarkis dianggap sebagai
hambatan utama dalam mewujudkan kedamaian dan pembangunan berkelanjutan di Bumi
Cenderawasih.
Meskipun
OPM mengklaim memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak orang Papua, kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari
setiap aksi yang dilakukan kelompok ini. Kampung-kampung di daerah seperti
Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Maybrat telah berkali-kali
mengalami pengungsian massal akibat serangan dan intimidasi dari OPM.
Menurut
data dari lembaga kemanusiaan lokal, sepanjang tahun 2024 saja terdapat lebih
dari 1.500 warga sipil yang terpaksa mengungsi dari kampung halamannya akibat
gangguan keamanan. Banyak di antara mereka kini hidup dalam kondisi serba
kekurangan di tempat-tempat penampungan darurat, tanpa akses layak terhadap
makanan, air bersih, pendidikan, dan layanan kesehatan.
“Warga
yang ingin hidup tenang justru diteror. Mereka takut kembali ke rumah, karena
ancaman dari kelompok bersenjata masih terus ada,” ujar Maria T., seorang
relawan kemanusiaan di wilayah Papua Tengah, Kamis (17/4/2025)
Salah
satu pola yang berulang dalam aksi OPM adalah perusakan fasilitas umum yang
dibangun pemerintah untuk kepentingan masyarakat, seperti sekolah, puskesmas,
kantor distrik, hingga jembatan dan jalan raya. Hal ini berdampak langsung
terhadap kualitas hidup masyarakat yang sangat bergantung pada infrastruktur
dasar, terutama di daerah terpencil.
Baru-baru
ini, kelompok OPM dilaporkan membakar bangunan sekolah dasar di Distrik Homeyo,
Kabupaten Intan Jaya, sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran pemerintah
pusat di wilayah tersebut. Akibatnya, ratusan anak-anak kehilangan akses
pendidikan dan guru-guru memilih meninggalkan daerah tersebut karena alasan
keamanan.
“Kalau
semua fasilitas dihancurkan, lalu bagaimana kami bisa maju? Anak-anak kami
ingin sekolah, bukan hidup dalam ketakutan,” kata seorang kepala kampung dari
Intan Jaya yang tak ingin disebutkan namanya karena alasan keselamatan.
Selain
berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, aksi OPM juga menghambat
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Papua. Banyak proyek pembangunan
infrastruktur, seperti jalan Trans Papua, pembangkit listrik, dan jembatan
penghubung antar-distrik, harus dihentikan karena ancaman dari kelompok
bersenjata.
Kontraktor
dan tenaga kerja lokal enggan melanjutkan proyek di daerah rawan konflik,
sehingga pembangunan pun terhambat. Pemerintah pusat menyatakan bahwa aksi
sabotase yang dilakukan OPM telah menyebabkan kerugian besar, baik dari sisi
anggaran maupun dari aspek waktu.
Tak
hanya itu, OPM juga sering memeras masyarakat lokal dengan meminta “uang
perjuangan” atau logistik. Jika permintaan mereka ditolak, tak jarang terjadi
intimidasi, pemukulan, atau bahkan pembakaran rumah warga.
“Ini
bukan perjuangan, ini pemerasan. Mereka merugikan rakyat yang katanya mereka
bela,” ujar seorang tokoh adat di Kabupaten Puncak.
Di
tengah situasi yang penuh ketidakpastian, banyak tokoh masyarakat dan kepala
suku di Papua yang menyerukan agar kelompok OPM menghentikan kekerasan dan
kembali ke pangkuan NKRI. Mereka menegaskan bahwa Papua membutuhkan kedamaian
dan pembangunan, bukan konflik berkepanjangan.
Kepala
suku besar di wilayah Pegunungan Tengah menyampaikan ajakan terbuka kepada para
anggota OPM agar meninggalkan perjuangan bersenjata dan bergabung dalam upaya
membangun Papua secara damai.
“Cukup
sudah air mata dan darah tertumpah. Sekarang waktunya kita bersatu, bangun
Papua, dan jaga generasi masa depan,” ujarnya dalam sebuah pertemuan adat.
Pemerintah
pun terus mendorong pendekatan persuasif dan dialogis, sembari tetap melakukan
penegakan hukum terhadap tindakan kriminal yang mengganggu ketertiban dan
keselamatan masyarakat.
Ulah
kelompok OPM yang terus menebar teror di Tanah Papua telah memberikan dampak
luas dan mendalam bagi masyarakat lokal. Aksi mereka bukan hanya menghambat
pembangunan, tetapi juga menyengsarakan rakyat yang mereka klaim perjuangkan.
Kini, suara-suara dari akar rumput semakin kuat: rakyat Papua ingin damai,
ingin sejahtera, dan ingin hidup normal tanpa bayang-bayang konflik.
Papua
tidak akan pernah benar-benar maju jika kekerasan terus dibiarkan. Saatnya
semua pihak menanggalkan senjata, duduk bersama, dan membangun Papua yang adil,
aman, dan makmur untuk semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar