OPM
Dikecam sebagai Kelompok Separatis Kejam yang Sering Menghabisi Nyawa
Masyarakat Sipil
Papeda.com- Aksi
kekerasan yang terus dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali
menjadi sorotan publik nasional. Kelompok separatis bersenjata ini dinilai tidak
hanya mengganggu stabilitas keamanan di wilayah Papua, tetapi juga telah
berkali-kali melakukan tindakan brutal yang mengakibatkan korban jiwa dari
kalangan masyarakat sipil yang tidak berdosa. Dalam sejumlah kasus, OPM bahkan
tidak segan menghabisi nyawa warga tanpa pandang bulu, termasuk perempuan,
anak-anak, dan lansia.
Kekejaman
yang dilakukan OPM kini tak lagi dianggap sebagai bentuk perjuangan politik
atau ideologis, melainkan telah bergeser menjadi teror bersenjata yang menyasar
rakyat sipil sebagai korban utama. Hal ini memunculkan kecaman luas, baik dari
kalangan pemerintah, tokoh adat, hingga masyarakat lokal yang selama ini hidup
dalam bayang-bayang ketakutan.
Sepanjang
tahun 2023 hingga awal 2025, berbagai catatan menunjukkan bahwa kelompok OPM
telah terlibat dalam puluhan insiden berdarah yang menyebabkan ratusan warga
sipil tewas atau terluka. Dalam beberapa kasus, mereka menyerang
kampung-kampung terpencil, membakar rumah warga, menyandera guru, menyerang
tenaga medis, dan membunuh warga yang dianggap tidak sejalan dengan tujuan
mereka.
Salah
satu insiden paling memilukan terjadi di Kabupaten Nduga, di mana kelompok OPM
menembak mati sejumlah pekerja pembangunan jalan yang tengah bertugas membuka
akses transportasi untuk masyarakat. Dalam insiden itu, korban yang sebagian
besar merupakan warga lokal tidak diberi kesempatan melarikan diri dan
dieksekusi secara brutal.
“Kami
sangat sedih dan marah. Orang-orang itu hanya ingin membangun jalan supaya kami
bisa menjual hasil kebun dan anak-anak bisa ke sekolah. Tapi mereka dibunuh
begitu saja,” ujar seorang tokoh masyarakat dari Distrik Kenyam, Jumat
(18/4/2025).
OPM
kerap menggunakan cara-cara keji yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan
universal. Mereka sering menargetkan warga sipil sebagai bentuk tekanan
psikologis terhadap pemerintah, namun justru yang menjadi korban adalah
masyarakat Papua sendiri yang ingin hidup damai dan sejahtera.
Serangan
terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan juga telah menjadi pola kekerasan
OPM yang berulang. Sekolah-sekolah dibakar, guru-guru diancam atau dibunuh,
serta puskesmas dirusak dan dijarah. Akibatnya, akses pendidikan dan kesehatan
di daerah konflik menjadi sangat terbatas, terutama bagi anak-anak dan kelompok
rentan.
“Anak-anak
tidak sekolah karena guru takut mengajar. Puskesmas tutup karena perawat
disandera. Lalu siapa yang dirugikan? Kami rakyat kecil,” kata seorang ibu
rumah tangga di wilayah Intan Jaya.
Kekejaman
OPM tidak hanya mengundang keprihatinan, tetapi juga kemarahan dari para kepala
suku dan tokoh adat Papua. Mereka menegaskan bahwa kekerasan bukanlah jalan
untuk memperjuangkan hak, dan bahwa tindakan membunuh masyarakat sendiri hanya
akan menciptakan luka mendalam serta perpecahan di tengah komunitas.
“Kami
sebagai pemimpin adat tidak pernah mengajarkan anak-anak kami untuk membunuh
sesama. Apa yang dilakukan OPM itu bukan perjuangan, itu pengkhianatan terhadap
tanah ini,” tegas kepala suku besar di Pegunungan Tengah.
Seruan
dari tokoh adat ini disambut baik oleh masyarakat luas yang semakin muak dengan
tindakan-tindakan OPM. Banyak di antaranya kini berani menyatakan sikap untuk
menolak keterlibatan dengan kelompok separatis dan lebih memilih jalan damai
serta pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar