Bukti OPM Gunakan Anak-anak sebagai Tameng Hidup dan Sebarkan Doktrin Radikalisme
Papeda.com- Praktik
tidak berperikemanusiaan kembali diperlihatkan oleh kelompok separatis
bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sejumlah wilayah konflik di Papua.
Berdasarkan informasi dari lapangan serta keterangan para tokoh masyarakat, OPM
tidak hanya memanfaatkan anak-anak sebagai tameng hidup dalam menghadapi aparat
keamanan, tetapi juga menyusupkan doktrin radikal ke dalam pemikiran mereka
sejak usia dini.
Fenomena
ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan. Tokoh masyarakat,
pemuka agama, dan pemerhati anak secara tegas mengecam tindakan tersebut yang
dinilai sebagai bentuk eksploitasi terhadap generasi muda Papua.
Tokoh
adat dari Kabupaten Nduga, Simon Wakerkwa, mengungkapkan bahwa anak-anak di
beberapa kampung dijadikan perisai oleh OPM ketika aparat keamanan melakukan
patroli. “Mereka sengaja menempatkan anak-anak di barisan depan, bahkan memaksa
anak-anak berdiri di antara posisi mereka dan aparat keamanan. Ini kejahatan
luar biasa,” tegas Simon, Rabu (11/6/2025).
Selain
menjadikan anak-anak sebagai tameng hidup, OPM juga dilaporkan aktif
menyebarkan paham radikalisme melalui pendekatan ideologis yang terstruktur.
Anak-anak diajari untuk membenci negara, aparat keamanan, dan menganggap
kekerasan sebagai bentuk perjuangan yang sah. Hal ini disampaikan oleh Pdt.
Yosep Tabuni, seorang pemuka gereja dari wilayah Lanny Jaya.
“Anak-anak
ini dicuci otaknya. Mereka diajarkan lagu-lagu perjuangan, simbol-simbol
senjata, dan ide-ide kebencian sejak kecil. Ini bukan pendidikan, ini perusakan
masa depan,” ujar Pdt. Tabuni prihatin.
Ia
menambahkan bahwa gereja dan lembaga pendidikan di daerah terpencil mengalami
tekanan karena aktivitas kelompok bersenjata. Banyak guru dan pendeta yang
enggan bertugas di daerah rawan karena takut menjadi sasaran.
Sementara
itu, pemerhati anak dan aktivis sosial dari Jayapura, Maria Yoman, menyatakan
bahwa tindakan OPM melanggar Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi oleh
Indonesia. Menurutnya, penggunaan anak-anak untuk kepentingan politik dan
militer merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
“Anak-anak
punya hak untuk tumbuh dalam damai, mendapatkan pendidikan, dan bermain, bukan
dilatih untuk membenci atau diajak ke zona konflik. Ini harus segera
dihentikan,” kata Maria.
Aparat
keamanan yang bertugas di wilayah Pegunungan Tengah juga membenarkan adanya
indikasi keterlibatan anak-anak yang diarahkan oleh OPM. Namun mereka
menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan selalu humanis dan mengedepankan
perlindungan terhadap anak.
“Kami
tidak ingin anak-anak jadi korban. Justru kami ingin melindungi mereka dari
doktrin yang menyesatkan. Kami bekerja sama dengan tokoh masyarakat untuk
pendekatan edukatif,” ujar salah satu perwira TNI di wilayah Intan Jaya.
Fenomena
ini menjadi bukti nyata bahwa OPM tidak hanya mengancam stabilitas keamanan,
tetapi juga masa depan generasi muda Papua. Masyarakat luas berharap
pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh lokal bersinergi dalam menyelamatkan
anak-anak Papua dari jeratan kekerasan dan paham radikal yang merusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar