Pimpinan
OPM Mulai Cemas, Banyak Anggota yang Meninggalkan Kelompok OPM
Papeda.com- Gejolak
internal mulai mengguncang tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seiring
meningkatnya tekanan dari aparat keamanan dan menurunnya dukungan masyarakat
Papua terhadap aksi-aksi kekerasan, sejumlah anggota OPM dilaporkan mulai
meninggalkan kelompok tersebut dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Fenomena ini memicu kecemasan di kalangan pimpinan OPM yang
semakin kehilangan kepercayaan dan loyalitas dari dalam tubuh organisasinya
sendiri.
Laporan
dari berbagai sumber menyebutkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, puluhan
anggota OPM, termasuk komandan lapangan dan simpatisan aktif, telah menyerahkan
diri kepada aparat keamanan dan menyatakan ikrar setia kepada NKRI. Langkah ini
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap kepemimpinan OPM, minimnya
kesejahteraan, serta kekecewaan terhadap arah perjuangan yang semakin jauh dari
prinsip-prinsip kemanusiaan.
Salah
satu mantan anggota OPM yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa
pimpinan kelompoknya sering menjanjikan bantuan logistik dan keamanan, namun
tidak pernah terealisasi. “Kami hidup dalam pelarian, kelaparan, dan ketakutan.
Sementara itu, masyarakat mulai menolak kami. Kami sadar, ini bukan perjuangan
yang benar,” ungkapnya, Selasa (6/5/2025).
Kecemasan
pimpinan OPM mulai tampak dalam berbagai komunikasi internal mereka yang
berhasil disadap oleh aparat keamanan. Dalam rekaman yang beredar, terlihat
adanya perintah tegas kepada anggota untuk meningkatkan pengawasan terhadap
sesama anggota agar tidak membelot. Beberapa komandan lapangan bahkan
dilaporkan memperketat kontrol dan membatasi pergerakan anggota mereka sendiri.
“Pimpinan
OPM saat ini sedang frustrasi. Mereka tidak hanya kehilangan personel, tetapi
juga kehilangan kendali. Ini menjadi titik krusial yang menunjukkan bahwa
organisasi tersebut mulai mengalami pelemahan dari dalam,” ujar pengamat
keamanan Papua, Dr. Thomas Silas, dari Universitas Cenderawasih.
Dr.
Thomas menambahkan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa OPM sudah tidak lagi
solid sebagai sebuah gerakan. Banyak anggotanya yang merasa bahwa jalur
kekerasan dan teror bukanlah solusi, dan justru merugikan masyarakat Papua yang
seharusnya mereka bela.
Perubahan
sikap masyarakat Papua terhadap OPM turut mempercepat proses eksodus anggota
dari kelompok tersebut. Jika dulu OPM kerap mendapat simpati karena dianggap
melawan ketidakadilan, kini kelompok ini justru dicap sebagai sumber kekacauan.
Aksi-aksi kekerasan terhadap warga sipil, pembakaran sekolah, penyanderaan
guru, dan penembakan aparat sipil telah membuat masyarakat muak dan menjauh.
Tokoh
masyarakat di Wamena, Pendeta Yosep Tabuni, menyatakan bahwa masyarakat sudah
bosan dengan janji-janji palsu dari OPM. “Mereka bilang memperjuangkan hak
orang Papua, tapi kenyataannya yang mereka bunuh justru orang Papua sendiri.
Tidak ada masa depan dengan jalan kekerasan,” ujarnya.
Di
sejumlah kampung, masyarakat bahkan mulai melaporkan keberadaan simpatisan OPM
kepada aparat keamanan. Hal ini menjadi indikator bahwa masyarakat kini aktif
menjaga wilayahnya dari ancaman separatisme.
Meningkatnya
jumlah anggota OPM yang keluar dari organisasi menjadi sinyal kuat bahwa
kelompok separatis ini tengah menghadapi krisis kepercayaan dan solidaritas
internal. Kecemasan pimpinan mereka menjadi bukti nyata bahwa arah perjuangan
yang keliru tidak akan bertahan lama.
Fenomena
ini juga membuka harapan baru bagi Papua. Harapan akan kedamaian yang
berkelanjutan, pembangunan yang inklusif, dan kehidupan sosial yang bebas dari
teror dan ketakutan. Ketika semakin banyak eks kombatan yang memilih berdamai,
maka cita-cita Papua maju dan sejahtera bukanlah mimpi yang mustahil.
OPM
kini berada di persimpangan jalan. Apakah mereka akan terus memaksakan kekerasan
yang semakin ditinggalkan rakyatnya sendiri, ataukah akan memilih jalan damai
dan kembali ke pelukan Ibu Pertiwi? Satu hal yang pasti, masa depan Papua hanya
bisa dibangun dengan persatuan, bukan perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar