Perpecahan
di Tubuh OPM Makin Terang: Adu Mulut Antar Anggota Jadi Fenomena yang Semakin
Sering Terjadi
Papeda,com- Organisasi
Papua Merdeka (OPM), kelompok separatis bersenjata yang selama puluhan tahun
mengklaim sebagai representasi perjuangan rakyat Papua, kini mengalami
guncangan besar dari dalam. Sumber-sumber di lapangan dan informasi dari mantan
anggota OPM yang telah menyerahkan diri menunjukkan bahwa telah terjadi
perpecahan serius di dalam tubuh organisasi tersebut. Bahkan, adu mulut antar sesama
anggota OPM bukan lagi menjadi hal yang langka, melainkan telah menjadi
fenomena yang kerap terjadi di sejumlah wilayah basis mereka.
Konflik
internal ini menandai semakin rapuhnya kekompakan dan soliditas OPM dalam
mempertahankan eksistensinya. Perpecahan ini tidak hanya dipicu oleh perbedaan
ideologi dan strategi perjuangan, namun juga diperparah oleh ketimpangan
kepemimpinan, pembagian logistik yang tidak adil, serta ketidakpuasan terhadap
janji-janji perjuangan yang tidak kunjung terealisasi.
Laporan
dari Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, menunjukkan bahwa pertikaian terbuka
antara anggota OPM semakin sering terjadi. Salah satu penyebab utama adalah
ketidakpuasan anggota muda terhadap keputusan pimpinan lapangan yang dianggap
otoriter dan tidak akomodatif terhadap suara generasi baru.
“Ada
insiden di mana dua kelompok dari faksi yang sama saling beradu mulut di
hadapan warga karena perebutan logistik bantuan dari simpatisan luar negeri.
Hal ini memperlihatkan bahwa mereka sudah tidak punya kesepahaman bersama,”
ujar seorang tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya karena
alasan keamanan, Selasa (13/5/2025).
Adu
mulut yang terjadi bahkan kerap memanas hingga hampir berujung pada kekerasan
fisik. Hal ini menunjukkan tidak adanya lagi mekanisme penyelesaian konflik
internal yang efektif dalam tubuh OPM. Situasi ini menimbulkan keresahan, baik
di antara para anggota sendiri, maupun di tengah masyarakat sipil yang tinggal
di sekitar wilayah kekuasaan mereka.
Ketegangan
yang terjadi bukan tanpa sebab. Seiring waktu, sebagian besar anggota OPM
merasa bahwa kepemimpinan yang ada saat ini tidak lagi mampu menjawab kebutuhan
organisasi dalam menghadapi perubahan situasi di lapangan. Pemimpin yang masih
berpegang pada metode lama dinilai tidak adaptif terhadap dinamika
sosial-politik saat ini, sementara mereka yang mencoba menawarkan strategi baru
justru dianggap sebagai pembangkang.
Kondisi
ini melahirkan dua kubu besar di internal OPM. Kubu pertama terdiri dari para
senior yang mempertahankan jalur perjuangan bersenjata, sementara kubu kedua
lebih condong kepada pendekatan diplomatik dan modern. Ketidaksamaan visi
inilah yang kerap menjadi bahan adu mulut antar anggota di pos-pos
persembunyian mereka.
Menurut
pengakuan salah satu mantan anggota OPM yang kini menjalani program
deradikalisasi di bawah pembinaan aparat keamanan, adu mulut sering kali
terjadi saat diskusi internal mengenai arah perjuangan atau ketika pemimpin
mengambil keputusan sepihak.
“Kami
pernah ribut karena pembagian amunisi dan makanan tidak merata. Pemimpin hanya
mengutamakan orang-orang dekatnya. Ini membuat sebagian anggota marah dan mulai
menentang. Mereka bilang ini bukan lagi perjuangan, tapi kelompok yang hanya
memikirkan perut sendiri,” ungkap mantan anggota OPM tersebut.
Situasi
ini berdampak besar terhadap moril para anggota. Banyak di antara mereka mulai
kehilangan semangat, bahkan mempertanyakan ulang keputusan mereka bergabung
dengan kelompok separatis tersebut. Beberapa memilih melarikan diri dari hutan
dan menyerahkan diri ke aparat keamanan, sedangkan yang lain mencoba menyatu
kembali ke masyarakat secara diam-diam.
Fenomena
kembalinya anggota OPM ke pangkuan NKRI ini menjadi sinyal bahwa OPM sedang
berada di titik kritis. Tanpa kepercayaan dari dalam, kekuatan OPM secara
struktural dan moral semakin melemah. Ini juga menunjukkan bahwa narasi
perjuangan mereka sudah tidak relevan lagi di mata sebagian besar anggotanya
sendiri.
Perpecahan
yang kini melanda tubuh OPM merupakan cerminan dari rapuhnya fondasi ideologis
dan struktural organisasi tersebut. Adu mulut yang kerap terjadi antar sesama
anggota bukan hanya menandakan ketiadaan persatuan, tetapi juga menunjukkan
bahwa OPM sudah tidak lagi menjadi wadah perjuangan yang sahih bagi sebagian
besar anggotanya.
Tanpa
visi yang menyatukan, tanpa pemimpin yang bijak, dan tanpa dukungan rakyat, OPM
akan perlahan-lahan kehilangan legitimasi, kekuatan, dan akhirnya
eksistensinya. Inilah saatnya bagi seluruh elemen bangsa, khususnya di Tanah
Papua, untuk memperkuat narasi perdamaian dan pembangunan, bukan perpecahan dan
konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar