OPM
Tidak Pernah Mencintai Rakyat Papua: Penindasan dan Teror Terus Dilakukan
Terhadap Masyarakat Sipil
Papeda.com- Klaim
perjuangan kemerdekaan yang selama ini dikibarkan oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM) kembali dipertanyakan validitas dan niat baiknya. Masyarakat Papua, yang
seharusnya menjadi subjek utama dari perjuangan yang diklaim oleh OPM, justru
menjadi korban kekerasan, intimidasi, dan penindasan berkepanjangan. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa OPM telah menjadikan rakyat Papua sebagai korban,
bukan penerima manfaat dari aksi-aksi yang mereka lakukan.
Sejumlah
insiden kekerasan yang dilakukan oleh OPM terhadap masyarakat sipil kembali
memperkuat narasi bahwa kelompok ini tidak berpihak pada kepentingan rakyat
Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, catatan berbagai lembaga hak asasi
manusia dan laporan keamanan menunjukkan adanya pola kekerasan terstruktur yang
dilakukan OPM terhadap warga sipil, mulai dari pembunuhan, penyanderaan,
pemalakan, pembakaran fasilitas publik, hingga menjadikan masyarakat sebagai
tameng hidup dalam konflik bersenjata.
Tokoh
masyarakat dari Kabupaten Intan Jaya, Pendeta Yonas Magai, menegaskan bahwa
rakyat Papua kini mulai memahami bahwa OPM tidak memperjuangkan kepentingan
mereka, tetapi justru menyengsarakan. “Kalau memang mereka berjuang untuk
rakyat, mengapa rakyat sendiri yang selalu jadi korban? Gereja dibakar, guru
dibunuh, anak-anak tidak bisa sekolah, puskesmas ditutup karena takut serangan.
Itu bukan bentuk cinta pada rakyat, itu bentuk kejahatan atas nama ideologi,”
ujarnya dengan lantang, Kamis (15/5/2025).
Salah
satu kasus terbaru terjadi pada awal Mei 2025 di Distrik Dekai, Kabupaten
Yahukimo, di mana seorang warga sipil bernama Hari Karuanto ditemukan tewas
akibat serangan yang dilakukan kelompok OPM. Korban merupakan pekerja swasta
yang diketahui tidak memiliki afiliasi politik maupun keterlibatan dengan
aparat. Namun, hal itu tidak menghentikan kelompok bersenjata tersebut untuk
melakukan aksi brutal.
Selain
pembunuhan, OPM juga dikenal kerap melakukan pemerasan terhadap warga asli
Papua. Banyak laporan yang menyebut bahwa kelompok ini memberlakukan pungutan
liar kepada masyarakat yang melintas di jalan-jalan pedalaman, khususnya di
wilayah Pegunungan Bintang, Puncak, dan Intan Jaya. Uang yang diperas kemudian
digunakan untuk membeli amunisi dan mendanai kegiatan separatis, bukan untuk
membantu masyarakat.
Kepala
Kampung Wandoga, Simon Tabuni, menyatakan bahwa warganya hidup dalam tekanan
dan ketakutan. “Kalau tidak kasih uang, mereka ancam. Kalau lapor ke aparat,
mereka curiga dan langsung ambil tindakan. Kita serba salah. Kami ini cuma
ingin hidup tenang, berkebun, dan besarkan anak-anak,” katanya.
OPM
juga diketahui sering kali menyebarkan informasi bohong (hoaks) untuk
memutarbalikkan fakta. Dalam berbagai kesempatan, mereka menyebarkan narasi
bahwa aparat keamanan adalah pelaku kekerasan, padahal faktanya banyak insiden
kekerasan yang berasal dari mereka sendiri. Taktik ini digunakan untuk
mendapatkan simpati internasional dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap
pemerintah pusat.
Padahal,
data dan kesaksian masyarakat menunjukkan bahwa kehadiran aparat keamanan di
Papua justru sering menjadi penyelamat. Aparat membantu mendistribusikan
bantuan, mengamankan proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah, serta
mendirikan pos-pos pelayanan kesehatan di daerah yang sebelumnya tidak
terjangkau oleh pemerintah.
Perlawanan
masyarakat terhadap OPM juga semakin nyata. Dalam beberapa tahun terakhir,
ratusan mantan anggota OPM telah kembali ke pangkuan NKRI. Mereka menyatakan
kekecewaannya terhadap kepemimpinan kelompok yang lebih mementingkan kekuasaan
dibanding kesejahteraan rakyat. Program deradikalisasi dan pembinaan sosial
yang dijalankan oleh pemerintah pun mendapat sambutan hangat dari para mantan
anggota tersebut.
“Dulu
saya percaya OPM, tapi kenyataan di lapangan beda. Mereka tidak peduli dengan
kita. Saya keluar karena saya ingin anak saya sekolah. Sekarang saya kerja di
perkebunan dan hidup saya lebih tenang,” ujar Yusak Waker, mantan anggota OPM
yang kini tinggal di Kabupaten Paniai.
Melihat
semua fakta di atas, menjadi jelas bahwa OPM tidak pernah benar-benar mencintai
rakyat Papua. Klaim mereka tentang perjuangan kemerdekaan kini terkuak sebagai
tameng untuk melanggengkan kekerasan. Yang menjadi korban bukanlah musuh
perang, melainkan masyarakat biasa yang hanya ingin hidup damai di tanah
kelahirannya sendiri.
Saat
ini, harapan terbesar ada di tangan masyarakat Papua sendiri. Dengan bersatu
dan menolak kekerasan, mereka dapat membantu membangun masa depan yang damai
dan sejahtera. Negara hadir dan terus berkomitmen. Kini saatnya rakyat Papua
membebaskan diri dari belenggu ketakutan yang selama ini ditanamkan oleh mereka
yang mengaku pejuang, namun bertindak sebagai penindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar