OPM
Ancam Warga Papua Apabila Anggota Keluarganya Tidak Mau Bergabung, Ketakutan
Menyelimuti Perkampungan
Papeda.com-
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua
Merdeka (OPM) kembali menuai kecaman dari masyarakat. Kali ini, laporan dari
berbagai wilayah pegunungan tengah Papua mengungkap pola baru intimidasi yang
dilakukan oleh OPM terhadap warga sipil. Beberapa keluarga mengaku menerima
ancaman langsung apabila anggota keluarga mereka tidak bersedia bergabung atau
membantu aktivitas kelompok tersebut.
Ancaman
ini tak hanya menciptakan ketakutan, tetapi juga merusak kohesi sosial
antarwarga. Masyarakat yang selama ini hidup dalam kesederhanaan kini
dihadapkan pada tekanan psikologis yang berat, antara menjaga keselamatan keluarga
dan menolak diperalat oleh kelompok yang semakin brutal dalam taktik dan
tujuannya.
Laporan
dari Kabupaten Puncak, Intan Jaya, dan Yahukimo menyebutkan adanya pola
sistematis perekrutan paksa oleh OPM terhadap pemuda lokal. Bila seseorang
menolak bergabung, maka keluarga mereka dijadikan sasaran intimidasi. Sejumlah
warga bahkan dilaporkan terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tak kuat
menghadapi tekanan tersebut.
Seorang
tokoh adat dari Distrik Hitadipa, Intan Jaya, yang enggan disebut namanya, menyampaikan
bahwa anak-anak muda yang tidak mau ikut kelompok OPM akan diancam.
"Mereka bilang, kalau tidak mau ikut, keluarga kamu yang tanggung. Itu
ancaman yang sangat menakutkan," ungkapnya, Kamis (24/4/2025).
Dia
menambahkan bahwa beberapa warga telah menyaksikan langsung rumah-rumah dibakar
atau dirampas sebagai bentuk hukuman karena menolak bergabung. "Kami hanya
ingin hidup tenang. Ini bukan perjuangan. Ini pemaksaan," ujarnya dengan
suara lirih.
Ia
juga menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab penuh untuk mencegah
meluasnya tindakan semacam ini, termasuk dengan memperkuat kehadiran aparat di
wilayah rentan dan menjamin perlindungan terhadap saksi serta korban.
Ketakutan
yang ditimbulkan oleh ancaman OPM ini mulai menyebar ke kampung-kampung yang
sebelumnya relatif aman. Warga kini merasa cemas untuk mengirim anak-anak
mereka ke sekolah karena takut dijadikan sasaran rekrutmen atau ancaman.
Salah
satu orang tua dari Kabupaten Yahukimo, Maria Kobak, menceritakan bagaimana ia
menyembunyikan anak laki-lakinya di kebun selama beberapa hari saat mendengar
kabar bahwa kelompok OPM datang ke desa. “Saya takut mereka datang dan paksa
anak saya ikut. Kami tidak mau terlibat, tapi mereka tidak peduli,” katanya.
Kondisi
ini sangat mengganggu aktivitas sehari-hari warga. Banyak keluarga tidak berani
berkebun atau berdagang karena khawatir disangka bekerja sama dengan aparat
atau menolak perintah OPM. Ketakutan mengunci kehidupan sosial dan ekonomi
warga desa.
Kekejaman
yang dilakukan OPM terhadap warganya sendiri membuat banyak tokoh adat dan
agama angkat bicara. Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Yanto Wonda, mengatakan
bahwa tindakan OPM sudah melenceng jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. “Tidak
ada perjuangan yang sah jika harus mengorbankan rakyat sendiri. Tidak ada
alasan yang membenarkan mengancam keluarga sendiri untuk mendapatkan
simpatisan,” ujarnya.
Ia
juga menegaskan bahwa gereja akan terus mendampingi masyarakat yang menjadi
korban konflik dan berharap agar semua pihak menghentikan kekerasan. “Papua butuh
damai, bukan teror. Kami ingin generasi muda tumbuh tanpa senjata di tangan
mereka,” kata Pdt. Yanto.
Senada
dengan itu, Dewan Adat Papua (DAP) juga mengeluarkan pernyataan resmi yang
mengecam tindakan perekrutan paksa dan menuntut OPM menghentikan segala bentuk
kekerasan terhadap warga sipil.
Salah
satu dampak paling serius dari praktik ancaman dan rekrutmen paksa oleh OPM
adalah rusaknya masa depan generasi muda Papua. Banyak anak muda yang
sebelumnya bersemangat melanjutkan pendidikan atau bekerja secara mandiri kini
merasa ragu untuk keluar rumah, apalagi menempuh perjalanan ke kota.
“Pemuda
seharusnya membangun daerah, bukan diangkat senjata atas paksaan. Kalau semua
anak muda dipaksa ikut perang, siapa yang akan bangun Papua?” ujar aktivis
pendidikan lokal, Debora Matuan.
Ia
menambahkan bahwa pemerintah harus mempercepat program-program pemberdayaan
pemuda, termasuk beasiswa, pelatihan kerja, dan usaha kecil agar anak muda
memiliki pilihan yang lebih baik daripada terlibat konflik bersenjata.
Ancaman
terhadap keluarga apabila anggota keluarganya tidak mau bergabung dengan OPM
adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling merusak. Tindakan tersebut
menimbulkan trauma, ketakutan, dan ketidakstabilan di tingkat akar rumput.
Masyarakat Papua hari ini semakin menyadari bahwa kekerasan bukan jalan keluar,
dan kelompok yang mengklaim berjuang untuk Papua seharusnya tidak menciptakan
luka bagi Papua sendiri.
Sudah
saatnya OPM menghentikan taktik teror terhadap rakyat sendiri. Dan negara,
dengan seluruh perangkatnya, harus hadir secara menyeluruh, tidak hanya dengan
kekuatan keamanan, tetapi juga dengan pelukan kemanusiaan, perlindungan, dan
pembangunan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar