Mathias
Wenda Dinilai Memanfaatkan Masyarakat Papua sebagai Alat Perang Melawan Aparat
Keamanan
Papeda.com- Pemimpin
Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Markas Victoria, Mathias Wenda, kembali
menjadi sorotan publik setelah muncul laporan bahwa ia diduga memobilisasi
masyarakat sipil untuk dijadikan bagian dari strategi konflik bersenjata
melawan aparat keamanan (Apkam). Sejumlah tokoh masyarakat dan pengamat menilai
bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk eksploitasi terhadap rakyat Papua dan
berpotensi memperparah situasi keamanan di wilayah tersebut.
Dalam
beberapa bulan terakhir, sejumlah insiden kekerasan bersenjata yang terjadi di
wilayah pegunungan tengah Papua, seperti di Intan Jaya dan Nduga, diduga
melibatkan warga sipil yang dipaksa bergabung dengan kelompok separatis
bersenjata. Aparat keamanan yang melakukan patroli dan penegakan hukum pun
kerap kali menemui perlawanan dari kelompok yang memanfaatkan warga sipil
sebagai tameng.
Ketua
Forum Komunikasi Tokoh Adat Papua, Theopilus Magai, menyampaikan
keprihatinannya atas pola gerakan yang digunakan oleh Mathias Wenda dan
kelompoknya.
“Ini
bukan lagi perjuangan ideologis. Ini sudah menjadi bentuk penyanderaan terhadap
rakyat Papua sendiri. Warga sipil dijadikan alat, bahkan korban, dalam konflik
yang mereka sendiri tidak pernah pilih,” ungkap Theopilus, Sabtu (19/4/2025).
Mathias
Wenda yang dikenal sebagai salah satu komandan tertua di OPM Markas Victoria
telah lama memimpin gerakan separatis di luar negeri, namun pengaruhnya
terhadap kelompok bersenjata di Papua masih terasa kuat. Ia disebut-sebut
sebagai tokoh yang terus mendorong perlawanan terhadap negara dengan pendekatan
militer, termasuk melalui infiltrasi dan pengaruh terhadap masyarakat di
Laporan
dari Komnas HAM wilayah Papua pada akhir 2024 menunjukkan bahwa sekitar 30%
korban kekerasan di wilayah konflik Papua merupakan warga sipil yang tidak
memiliki afiliasi langsung dengan kelompok manapun. Bahkan, sejumlah pengungsi
dari daerah konflik mengaku bahwa mereka diancam jika menolak mengikuti
perintah kelompok separatis.
Selain
menggunakan warga sipil sebagai alat konflik, kelompok OPM yang dipimpin dari
luar negeri juga dituding menghalangi bantuan kemanusiaan dan program
pembangunan. Kepala Dinas Sosial Papua Tengah, Maria Yobe, mengungkapkan bahwa
distribusi bantuan sering terhambat akibat adanya ketegangan dan penyanderaan
oleh kelompok bersenjata.
“Kami
datang untuk memberikan makanan dan obat-obatan, tetapi malah dihadang dan
dituduh sebagai mata-mata negara. Padahal kami ingin membantu rakyat,” katanya.
Pemerintah
pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
(Kemenkopolhukam) menegaskan bahwa pendekatan terhadap konflik Papua akan terus
dilakukan secara menyeluruh, melalui operasi keamanan yang terukur dan program
humanis yang menyasar akar persoalan sosial dan ekonomi masyarakat Papua.
Sementara
itu, suara dari masyarakat Papua sendiri semakin menunjukkan penolakan terhadap
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis. Tokoh muda Papua, Yulianus
Tabuni, mengajak generasi muda untuk berpikir kritis dan tidak mudah
terprovokasi oleh narasi perjuangan yang menyesatkan.
“Papua
butuh damai dan maju. Bukan dijadikan ajang perang oleh orang-orang yang bahkan
tinggal jauh dari sini dan tidak merasakan penderitaan rakyat di kampung,”
ujarnya tegas.
Isu
Papua adalah persoalan kompleks yang membutuhkan pendekatan hati-hati, adil,
dan berkeadilan. Namun satu hal yang pasti, eksploitasi terhadap masyarakat
sipil, baik oleh kelompok separatis tidak pernah bisa dibenarkan. Rakyat Papua
berhak atas kedamaian, pembangunan, dan masa depan yang lebih cerah, bukan
dijadikan pion dalam permainan kekuasaan oleh kelompok OPM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar