Mathias
Wenda Dinilai Hanya Bersembunyi di Balik Penderitaan Rakyat Papua
Papeda.com- Sosok
Mathias Wenda, salah satu pimpinan senior Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang
berbasis di luar negeri, kembali menuai kritik tajam dari berbagai elemen
masyarakat Papua. Ia dinilai tidak lagi relevan sebagai simbol perjuangan, dan
justru hanya menjadikan penderitaan rakyat Papua sebagai tameng untuk
mempertahankan narasi separatisme yang tidak membawa perubahan nyata bagi
kehidupan masyarakat di Bumi Cenderawasih.
Tokoh
adat dari Kabupaten Yahukimo, Hendrik Murib, menilai bahwa Wenda dan para
pemimpin OPM di luar negeri hanya aktif membangun narasi perjuangan di balik
layar, tanpa benar-benar merasakan kesulitan yang dihadapi oleh warga Papua di
lapangan.
“Mereka
tinggal di luar negeri, hidup aman dan nyaman, tapi terus mengatasnamakan
penderitaan rakyat Papua. Ini bukan perjuangan, tapi manipulasi penderitaan
untuk kepentingan pribadi dan politik,” ujar Hendrik, Minggu (20/4/2025).
Mathias
Wenda dikenal sebagai salah satu tokoh senior yang pernah memimpin sayap
militer OPM, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun sejak
beberapa tahun terakhir, keberadaannya lebih banyak dilaporkan di luar wilayah
Indonesia, sementara konflik dan kekerasan terus terjadi di Papua dengan warga
sipil sebagai korban utama.
Pengamat
keamanan dari Universitas Cenderawasih, menyebut bahwa pola gerakan separatisme
yang dipimpin dari luar negeri kini telah bergeser jauh dari semangat
perjuangan rakyat, dan lebih kepada upaya mempertahankan citra personal di mata
komunitas internasional.
“Mathias
Wenda tidak lagi berada di medan perjuangan. Ia kini memainkan peran sebagai
simbol perlawanan yang menggantungkan legitimasi pada penderitaan rakyat.
Padahal, masyarakat Papua saat ini lebih membutuhkan pembangunan dan
perdamaian, bukan konflik yang terus diperpanjang,” jelas Pengamat Keamanan.
Data
dari Komnas HAM Papua menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 120
kasus pelanggaran hak asasi manusia terjadi di wilayah konflik Papua, dengan
sebagian besar korban berasal dari masyarakat sipil yang terjebak di antara
konflik aparat keamanan dan kelompok bersenjata.
Salah
satu korban, Maria Lobuin (37), warga asli Nduga yang kini mengungsi di Wamena,
mengungkapkan kesedihannya karena harus meninggalkan kampung halaman akibat
aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata yang mengaku sebagai bagian dari
perjuangan.
“Mereka
bilang berjuang untuk kami, tapi kami yang terus menderita. Rumah dibakar,
sekolah ditutup, dan kami harus lari ke hutan,” kata Maria dengan mata
berkaca-kaca.
Meskipun
narasi perjuangan kemerdekaan masih disuarakan oleh kelompok OPM di luar
negeri, sebagian besar masyarakat Papua kini lebih mendambakan stabilitas,
akses pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi yang nyata.
Tokoh
gereja dari Lanny Jaya, Pendeta Yoseph Tabuni, mengajak seluruh elemen
masyarakat Papua untuk tidak lagi terjebak pada narasi yang menyesatkan dan
mempertahankan konflik tanpa ujung.
“Kami
tidak butuh pahlawan yang bersembunyi di luar negeri dan bicara atas nama kami.
Kami butuh kedamaian, kehadiran negara, dan pembangunan yang merata. Jangan
lagi jadikan penderitaan rakyat sebagai panggung politik,” tegasnya.
Realitas
hari ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua semakin cerdas dalam melihat siapa
yang benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka, dan siapa yang hanya
memanfaatkan penderitaan sebagai alat propaganda. Sosok seperti Mathias Wenda,
yang terus berbicara dari kejauhan tanpa menghadirkan solusi nyata, kini mulai
kehilangan legitimasi di mata rakyat Papua sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar