Pemerasan
dan Pemalakan, Modus OPM dalam Mendanai Aksi Separatisme di Papua
Papeda.com- Di
tengah intensitas pengawasan keamanan yang semakin tinggi di Papua, kelompok
separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus berusaha mempertahankan
eksistensinya melalui berbagai cara. Salah satu metode utama yang digunakan OPM
dalam mendanai kegiatan operasional mereka adalah praktik pemerasan dan
pemalakan terhadap masyarakat sipil, pelaku usaha lokal, hingga aparat desa.
Tindakan tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga memunculkan
ketakutan dan tekanan psikologis yang mendalam bagi warga yang terpaksa menjadi
korban aksi sepihak kelompok tersebut.
Laporan
dari berbagai wilayah di Papua Pegunungan dan Papua Tengah menyebutkan bahwa
aksi pemerasan ini dilakukan secara sistematis. OPM menyasar individu maupun
kelompok yang memiliki usaha ekonomi, terutama pendatang, kontraktor, hingga
pedagang lokal. Mereka diintimidasi agar membayar “uang keamanan” dalam jumlah
yang tidak sedikit, sebagai syarat agar dapat menjalankan aktivitas bisnis
tanpa gangguan.
Pemerasan
bukanlah hal baru dalam pola pergerakan OPM. Sejak beberapa dekade lalu,
kelompok ini dikenal menggunakan taktik tersebut untuk membiayai kegiatan
separatisme bersenjata. Namun, pada tahun-tahun terakhir, frekuensi dan tingkat
kekerasannya meningkat signifikan. Dalam beberapa kasus, mereka tak segan
melukai korban yang menolak memberikan uang, atau bahkan membakar fasilitas
usaha sebagai bentuk tekanan.
Salah
satu pelaku usaha di Kabupaten Intan Jaya yang meminta identitasnya
dirahasiakan mengaku harus membayar sejumlah uang kepada kelompok bersenjata
setiap bulan agar kiosnya tetap aman. “Kalau tidak bayar, mereka datang bawa
senjata. Mereka bilang ini wilayah mereka, dan kami harus bayar iuran. Kalau
tidak, siap-siap saja kios dibakar,” tuturnya, Rabu (7/5/2025).
Modus
ini kerap dilakukan dengan dalih mendukung perjuangan kemerdekaan Papua. Namun,
pada praktiknya, dana tersebut digunakan untuk membeli senjata, amunisi, dan
logistik, sekaligus membiayai kehidupan para pimpinan OPM yang berada di hutan
maupun luar negeri.
Dampak
dari praktik pemerasan ini sangat terasa di kalangan masyarakat. Selain
menurunkan produktivitas ekonomi lokal, aksi pemalakan ini juga membuat banyak
pelaku usaha memilih hengkang dari daerah tersebut. Akibatnya, sirkulasi barang
dan jasa terhambat, harga kebutuhan pokok melonjak, dan lapangan kerja
menyempit.
Salah
satu tokoh adat di Kabupaten Nduga, Yonas Tabuni, menyatakan bahwa masyarakat
kini hidup dalam ketakutan karena OPM telah menjadikan mereka sebagai sumber
dana. “Mereka datang bukan untuk perjuangan. Mereka datang untuk meminta uang.
Kalau tidak diberi, kita diancam. Ini bukan perjuangan, ini pemerasan,” tegas
Yonas.
Ia
juga menambahkan bahwa masyarakat adat Papua sejatinya ingin hidup damai,
membangun kehidupan yang lebih baik bersama negara, namun tindakan brutal OPM
membuat warga tidak bisa bergerak bebas, apalagi mencari nafkah dengan tenang.
Menariknya,
di tengah kondisi sulit tersebut, kesadaran masyarakat Papua untuk melaporkan
tindakan pemerasan yang dilakukan OPM semakin meningkat. Banyak warga yang
diam-diam memberikan informasi kepada aparat tentang keberadaan kelompok
bersenjata dan pola pemalakan yang dilakukan.
Sikap
ini menjadi indikator bahwa dukungan terhadap OPM mulai menurun. Masyarakat
menyadari bahwa tindakan OPM tidak lagi mencerminkan perjuangan, melainkan
sekadar menjadi organisasi kriminal bersenjata yang menyengsarakan rakyat.
Tokoh
pemuda Papua di Kabupaten Yahukimo, Deni Wanimbo, menyampaikan bahwa sudah
saatnya masyarakat bersatu melawan aksi pemerasan ini. “Kalau kita diam, mereka
akan terus menindas. Kita harus bersuara dan mendukung aparat untuk bertindak.
Papua bukan ladang pemerasan,” ujarnya tegas.
Aksi
pemerasan dan pemalakan yang dilakukan OPM membuktikan bahwa kelompok ini
semakin kehilangan arah perjuangan. Tidak ada lagi idealisme, yang tersisa
hanyalah tekanan dan kekerasan terhadap masyarakatnya sendiri. Dengan menyasar
warga sipil dan merampas hak ekonomi mereka, OPM telah menunjukkan wajah
aslinya sebagai kelompok yang tak lagi layak disebut sebagai pejuang.
Momentum
ini harus dimanfaatkan oleh seluruh komponen bangsa untuk memperkuat kehadiran
negara di Papua, baik melalui pendekatan keamanan yang terukur, pembangunan
yang berkeadilan, maupun penguatan peran tokoh adat dan agama dalam menjaga
stabilitas sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar