OPM
Kian Gencar Tebar Berita Hoaks demi Pengaruh di Papua
Papeda.com- Organisasi
Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan akibat aktivitas penyebaran
informasi yang menyesatkan atau hoaks yang ditujukan untuk memengaruhi opini
masyarakat Papua. Di tengah upaya pemerintah mempercepat pembangunan dan
menumbuhkan kesejahteraan masyarakat di tanah Papua, propaganda OPM melalui
penyebaran kabar bohong menjadi ancaman serius terhadap stabilitas sosial,
keamanan, serta upaya menciptakan perdamaian jangka panjang di wilayah
tersebut.
Hoaks
yang dilontarkan OPM tidak hanya memecah belah masyarakat, tetapi juga
mengaburkan fakta-fakta nyata tentang kemajuan Papua di bawah bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai isu mulai dari tuduhan pelanggaran
HAM yang tak berdasar, fitnah terhadap aparat keamanan, hingga distorsi
terhadap proyek pembangunan, disebarkan secara masif untuk menciptakan rasa
ketakutan, kebencian, dan ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Dalam
beberapa tahun terakhir, modus penyebaran informasi bohong oleh OPM semakin
canggih dan sistematis. Mereka memanfaatkan media sosial, pesan berantai di
aplikasi perpesanan, hingga jaringan simpatisan di dalam dan luar negeri untuk
menyebarluaskan kabar palsu. Dengan membungkus narasi hoaks dalam bahasa yang
menyentuh emosi dan identitas kultural, OPM mencoba membangun sentimen negatif
terhadap pemerintah pusat dan aparat keamanan.
Salah
satu contoh terbaru adalah beredarnya narasi palsu pada April 2025 yang
menyebutkan bahwa aparat keamanan menyerang warga sipil di Kabupaten Puncak
Jaya. Setelah dilakukan verifikasi oleh lembaga independen dan media lokal,
ternyata kabar tersebut tidak sesuai fakta dan merupakan hasil rekayasa pihak
yang terafiliasi dengan OPM. Kejadian sebenarnya adalah upaya aparat dalam
menangani serangan bersenjata dari kelompok separatis di area rawan konflik.
Kepala
Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Papua, Fransiskus Uamang, dalam
keterangannya mengatakan, "Masyarakat perlu waspada. OPM menggunakan
teknik disinformasi untuk menciptakan ilusi bahwa pemerintah adalah musuh
rakyat Papua. Padahal, pemerintah terus berkomitmen untuk membangun
infrastruktur, meningkatkan pendidikan, dan memperkuat ekonomi di Papua”, Jumat
(9/5/2025).
Penyebaran
hoaks OPM sebagian besar menyasar dua kelompok rentan: generasi muda dan
masyarakat di wilayah pedalaman. Generasi muda, khususnya yang aktif di media
sosial, menjadi target utama karena dinilai mudah terpengaruh oleh konten
emosional yang bersifat provokatif. Di sisi lain, masyarakat pedalaman yang
terbatas akses informasinya sering kali menjadi korban karena tidak memiliki
referensi yang dapat digunakan untuk membandingkan kebenaran suatu berita.
Lembaga
swadaya masyarakat lokal, Yayasan Literasi Papua, mencatat bahwa dalam enam
bulan terakhir terdapat lebih dari 50 kasus penyebaran hoaks yang berhasil
diidentifikasi, sebagian besar berasal dari akun-akun media sosial yang berpola
serupa dan terhubung dengan simpatisan kelompok separatis. Dalam banyak kasus,
informasi yang disebarkan menimbulkan keresahan dan memicu ketegangan
antarwarga.
"Serangan
informasi ini adalah bentuk lain dari perang modern. Jika kita tidak
menanggulanginya dengan pendidikan, literasi digital, dan pendekatan sosial,
maka hoaks bisa menjadi pemicu konflik horizontal maupun vertikal," ujar
Direktur Yayasan Literasi Papua, Maria Abisay.
Salah
satu agenda utama OPM dalam menyebarkan hoaks adalah menciptakan narasi
kebencian terhadap simbol-simbol negara. Mereka berusaha menggiring opini bahwa
pemerintah pusat tidak peduli terhadap Papua, dan bahwa segala bentuk kehadiran
negara diidentikkan dengan penindasan. Hal ini sangat berbahaya karena mampu
memutarbalikkan fakta dan menciptakan jurang pemisah antara rakyat Papua dan
pemerintahnya sendiri.
Narasi
anti-NKRI yang disebarkan OPM kerap mengabaikan capaian-capaian nyata yang
telah diraih oleh Papua berkat kehadiran negara. Misalnya, proyek pembangunan
jalan Trans Papua, program beasiswa afirmatif, serta penyediaan layanan
kesehatan gratis di daerah terpencil, hampir tidak pernah disebut dalam
propaganda mereka. Sebaliknya, OPM justru menyebarkan potongan video lama atau
kejadian yang dimanipulasi untuk memperkuat narasi seolah-olah Papua tidak
mengalami kemajuan.
Dalam
konteks ini, sejumlah tokoh adat dan agama di Papua mulai angkat bicara. Uskup
Jayapura, Mgr. Yanuarius You, dalam wawancaranya menyebutkan, "Kita tidak
boleh menutup mata terhadap upaya kelompok tertentu yang ingin memecah belah
persaudaraan kita. Jangan mudah percaya pada informasi yang tidak jelas asal-usulnya.
Kita harus bersatu menjaga kedamaian dan membangun Papua yang lebih baik."
Secara
lebih luas, penyebaran hoaks oleh OPM merupakan bagian dari strategi perang
informasi (information warfare) yang bertujuan menggoyahkan legitimasi
pemerintah dan memupuk simpati terhadap gerakan separatis. Ini bukan sekadar
perbuatan kriminal digital, tetapi juga tindakan yang mengandung muatan
ideologis dan politis yang mengancam integrasi bangsa.
Tindakan
semacam ini tidak bisa dibiarkan. Aparat penegak hukum perlu menindak tegas
pelaku penyebaran hoaks yang terbukti berafiliasi dengan kelompok separatis. Di
sisi lain, lembaga pendidikan dan tokoh agama di Papua harus lebih aktif dalam
membina generasi muda agar tidak menjadi korban manipulasi informasi.
Masa
depan Papua terletak pada kemampuan seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama
membangun wilayah ini secara inklusif, adil, dan damai. OPM dengan segala upaya
hoaksnya tidak akan pernah bisa menghapus kenyataan bahwa Papua adalah bagian
sah dari Indonesia, dan bahwa rakyat Papua berhak hidup tenang tanpa hasutan
dan kebohongan.
Papua
membutuhkan pembangunan, pendidikan, dan persatuan bukan propaganda. Hoaks yang
ditebarkan OPM adalah bentuk perlawanan terhadap kemajuan itu sendiri. Oleh
karena itu, membentengi masyarakat dari hoaks bukan hanya tugas pemerintah,
tetapi juga tugas moral seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Papua
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar